Konten dari Pengguna

Seandainya Kita Begini, Tak Ada Risau Lalui Globalisasi

Chairunisa Rohadi
Pemerhati Sosial, Politik, dan Pendidikan untuk sebuah Negeri di ujung tanduk.
6 Januari 2022 16:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chairunisa Rohadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak-anak sepatutnya sudah ditanamkan rasa bangga atas identitas tanah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan (sumber : pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak sepatutnya sudah ditanamkan rasa bangga atas identitas tanah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan (sumber : pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Bicara soal hegemoni budaya, barangkali yang terlintas di benak masyarakat umum sekarang bahkan termasuk saya sendiri adalah budaya asing di luar Indonesia yang mengancam kebudayaan di negara ini lewat jalan globalisasi. Globalisasi yang tidak bisa ditampik tak berlepas dari sistem kapitalis yang berkuasa sekarang.
ADVERTISEMENT
Kapitalisme akan selalu mencari jalan bagi kepentingan baik dengan cara halus maupun secara kasar, seiring datangnya era globalisasi menyebabkan eksploitasi besar-besaran di segala bidang. Hegemoni tidak hanya menunjukkan dominasi ekonomi dan politik, tetapi juga kemampuan kelas penguasa untuk menampilkan pandangan dunianya, yang dilihat oleh kita sebagai masyarakat awam sebagai "akal sehat" atau perspektif yang benar. Ketika pandangan hidup kita mulai terwarnai dengan hal baru, mau tak mau ada beberapa hal yang perlahan hilang.
Di era modern saat ini, proses hegemoni budaya oleh kapitalis telah dilakukan lewat segala elemen kehidupan terutama melalui peradaban, fashion, sinema, media, dll. Di Indonesia sendiri baik saya maupun anda harus mengakui, bahwa orang Indonesia cenderung mudah terbawa pengaruh lewat ramainya penggunaan media digital. Hal viral yang beberapa mungkin sangat penting untuk dibahas, hingga hal yang seringkali begitu aneh namun memberi dampak besar. Lewat media digital yang semakin pesat inilah kapitalis berhasil melancarkan usahanya mengais keuntungan dari bangsa kita.
ADVERTISEMENT
Coba anda perhatikan seksama, berapa banyak produk anak bangsa namun justru memasarkannya menggunakan figur publik asal "negeri gingseng" sebagai brand ambassador produk tersebut?
Hal ini sangat menunjukkan besarnya konsumsi masyarakat Indonesia terutama kaum millennial dan generasi Z terhadap budaya negara yang dimaksud. Pasar besar menjanjikan bagi hallyu untuk terus bercokol di dalamnya (read: Indonesia). Di mana sebenarnya proses "jual-beli" antara para artis dan penggemar dilakukan cukup lewat internet.
Terpisahkan jarak tak menjadikan kedekatan tak terbangun. Globalisasi nyata yang membuat generasi saya semakin luput mendalami peran sebagai buruh digital dan beberapa bahkan abai dengan kondisi sekitar.
Namun apakah bicara kengerian serangan tersebut harus selalu membahas bagaimana sepak terjang budaya asing menggeser budaya ibu? Memangnya apa saja yang sudah kita upayakan sebenarnya untuk menahan goncangan ini?
ADVERTISEMENT
Semut di seberang lautan nampak jelas, gajah di pelupuk mata tak terlihat.
Budaya, Ikatan Batin Manusia dan Tempat Ia Dilahirkan
Bicara soal budaya yang dalam pengertian Ki Hajar Dewantara dalam Kebudayaan (1994) pernah menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan hasil usaha manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman dan alam. Sebuah bukti bahwa manusia dapat mengatasi berbagai rintangan hidup dan penghidupannya demi meraih kedamaian. Sementara Selo Soemarjan dalam Sosiologi: Suatu Pengantar (2009) bahkan menyebutkan kebudayaan meliputi tujuh unsur, yaitu: peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan berupa tatanan sosial, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan kepercayaan.
Berapa banyak suku adat di Indonesia? Menghitung banyaknya pulau-pulau baik itu yang besar hingga yang terkecil dipisahkan lautan, wajar Indonesia terdiri dari beragam bentuk budaya sebagai cara masyarakat mempertahankan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Namun apakah jati diri tersebut pada akhirnya benar-benar dipertimbangkan secara umum lewat pendidikan yang digaungkan pemerintah yang disebut untuk mengisi kehidupan masyarakat berbagai adat tersebut?
Sederhana saja, Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan maritim. Hamparan tanah yang luas bahkan subur maupun lautan yang mengelilingi ratusan pulau di dalamnya. Wajar jika pekerjaan terbanyak di negara ini adalah petani maupun nelayan. Menjadikan padi serta palawija dan hasil laut sebagai bahan pangan yang seharusnya mudah di dapatkan dari negeri sendiri. Namun benarkah demikian? Sebuah fitrah yang seharusnya berharga benarkah ditempatkan secara istimewa oleh para makhluknya?
Upah yang rendah, pandangan yang juga miring terhadap pekerjaan tradisional seperti petani seolah bertentangan dengan fakta geografi negara ini. Menjadi negara dengan tanah subur seharusnya bisa meningkatkan minat anak muda untuk mengembangkannya secara benar lewat jalan pengetahuan. Memberi hasil yang maksimal dengan eksploitasi yang seimbang diiringi pelestarian lewat ilmu yang seharusnya bangga untuk digali. Ikatan batin seorang manusia dengan tempat ia lahir seolah putus arang melintang tergerus zaman.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, seharusnya anak-anak Orang Rimba yang tinggal di hutan dan ingin bersekolah tidak selayaknya dijauhkan dari konteks budaya mereka sehari-hari. Berapa banyak pendidikan formal yang mempertahankan pemahaman lingkungan alami para siswanya, seperti pembahasan mengenai hutan hujan tempat mereka hidup. Padahal, di tengah hutan hujan tersebut terdapat berbagai kekayaan yang patut dilestarikan dan dikembangkan pengelolaan entitasnya.
Satu Asa yang Mampu Membesarkan Bangsa
Padahal, mendermakan diri di lingkungan sekitar lebih dulu adalah implementasi awal dari agen perubahan yang disematkan kepada mahasiswa. Rasa cinta terhadap tanah kelahiran dan budaya yang seharusnya dipahami setiap anak sejak kecil hingga terbentuk kelak ia dewasa. Tak ada yang namanya merasa malu lahir dari lingkungan yang dikelilingi hutan atau laut sekalipun jauh dari kehidupan metropolis. Peradaban yang maju bukan dinilai dari seberapa keren pakaian kita saat bekerja, melainkan cara memberdayakannya kekayaan milik bangsa dengan tepat.
ADVERTISEMENT
Sudah waktunya adik-adik kecil kita, anak-anak kita kelak ditanamkan rasa bangga lahir di tepi pantai. Membangun cita-cita menjadikan lautan sebagai tambak tiada batas yang digali dan dipelihara. Penyusunan teknologi yang tak merusak habitat perairan, namun membantu masyarakat mencari nafkah dengan penuh senyuman.
Sudah waktunya kita mempersiapkan generasi anak-cucu kita dipupuki syukur. Berkeinginan mengembangkan pertanian sehingga tak perlu lagi masyarakat kita risau bilamana musim hujan tiba mereka harus kehilangan benih tanaman yang hanyut. Masyarakat petani sangat pantas mendapati fakta bahwa mereka bukan hanya bisa membudidayakan satu-dua tanaman saja, melainkan banyak substitusinya.
Seandainya itu semua kita berdayakan dengan segera, niscaya kita tak terganggu dengan hegemoni budaya asing sebagai sebuah hal yang pasti dalam era globalisasi. Kita tak perlu iri dan bercita-cita pergi ke negara lain. Kita akan menikmati era globalisasi ini dengan identitas kita sendiri, menjadikannya tambahan ilmu, bukan pergeseran bahkan pemunahan jati diri. *****
ADVERTISEMENT