Konten dari Pengguna

Siswa Bingung Soal MPR dan Negara Eropa: Wajah Pendidikan Kita di Ujung Tanduk?

chalista clio
Mahasiswi Universitas Negeri Surabaya
16 November 2024 17:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari chalista clio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto :  https://pixabay.com/users/jhondl-10089056/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=3670453
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto : https://pixabay.com/users/jhondl-10089056/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=3670453
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, jagat media sosial diramaikan dengan video viral yang menampilkan seorang anak SMP kebingungan saat diminta menyebutkan singkatan MPR dan menyebut negara-negara di Eropa. Fenomena ini bukan hanya menjadi bahan perbincangan ringan, tetapi juga mencerminkan tantangan mendasar dalam sistem pendidikan kita. Bagaimana mungkin anak-anak yang seharusnya dibekali dengan pengetahuan dasar mengenai lembaga tinggi negara dan geografi dunia masih merasa bingung dan gagap menjawab pertanyaan sederhana tersebut? Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
Fenomena anak-anak yang kesulitan menjawab pertanyaan sederhana seperti singkatan MPR dan negara di Eropa bukan hanya memperlihatkan kekurangan dalam sistem pendidikan formal, tetapi juga mencerminkan masalah yang lebih luas terkait kesenjangan pendidikan di Indonesia. Salah satu masalah utama adalah ketimpangan akses terhadap pendidikan berkualitas di berbagai daerah. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas memadai, guru yang kompeten, atau materi pembelajaran yang relevan. Sekolah-sekolah di daerah terpencil sering kali kekurangan sarana seperti perpustakaan, laboratorium, dan akses internet yang stabil, sehingga siswa di daerah tersebut sulit untuk memperoleh pengetahuan yang memadai.
Selain itu isu yang paling mencolok dari kejadian ini adalah kurangnya relevansi antara kurikulum yang diajarkan dan kebutuhan nyata untuk memahami dunia di sekitar kita. Menurut seorang pakar dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), salah satu faktor yang memengaruhi rendahnya pengetahuan siswa adalah metode pembelajaran yang masih terfokus pada hafalan dan bukan pada pemahaman konsep yang mendalam. Hal ini diperparah dengan minimnya waktu yang dialokasikan untuk diskusi interaktif yang bisa memperdalam wawasan siswa tentang isu-isu global maupun nasional. Ketika siswa hanya dihadapkan pada metode hafalan, mereka cenderung mengingat informasi untuk jangka pendek tanpa benar-benar memahami maknanya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ketergantungan pada gadget dan akses informasi yang begitu mudah melalui media sosial juga dapat menjadi penyebab mengapa generasi muda kurang memiliki pengetahuan mendasar. Anak-anak cenderung lebih asyik dengan konten-konten hiburan di media sosial dibandingkan dengan memanfaatkan teknologi untuk memperluas wawasan mereka. Video viral ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua, terutama para pendidik dan orang tua, untuk mengawasi dan membimbing anak-anak dalam memanfaatkan teknologi secara bijak. Tantangan lainnya adalah soal implementasi kurikulum. Menurut beberapa pakar pendidikan, kurikulum yang ada saat ini masih belum memberikan porsi yang cukup untuk pengetahuan umum seperti geografi dan ilmu sosial. Padahal, pemahaman yang baik mengenai institusi negara dan kondisi dunia sangat penting dalam membentuk generasi yang sadar akan perannya sebagai warga negara yang berpengetahuan luas. Kurikulum yang terlalu fokus pada teori-teori akademis tanpa mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari membuat siswa kehilangan minat dan merasa pelajaran menjadi tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini semakin diperparah dengan kondisi banyak sekolah yang belum menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pembelajaran yang interaktif dan kontekstual. Sebagian besar proses belajar mengajar masih berkutat pada metode konvensional yang cenderung monoton dan membuat siswa jenuh. Guru yang seharusnya berperan sebagai fasilitator juga sering kali terjebak dalam metode mengajar yang kaku dan kurang responsif terhadap perkembangan zaman. Tidak kalah penting adalah rendahnya minat baca di kalangan siswa Indonesia. Berdasarkan berbagai survei, minat baca siswa di Indonesia tergolong sangat rendah, bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara. Kurangnya minat baca ini tentunya berdampak pada rendahnya pengetahuan siswa tentang topik-topik dasar seperti geografi, politik, dan sejarah. Banyak siswa yang lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain game atau berselancar di media sosial daripada membaca buku atau artikel yang bermanfaat untuk memperluas wawasan mereka.
ADVERTISEMENT
Permasalahan lain yang muncul adalah kurangnya keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan anak. Banyak orang tua yang masih berpikir bahwa pendidikan anak adalah sepenuhnya tanggung jawab sekolah. Padahal, peran orang tua sangat penting dalam membentuk pola pikir dan pengetahuan anak sejak dini. Orang tua yang terlibat aktif dalam pendidikan anak akan cenderung mendorong mereka untuk belajar lebih banyak di luar kelas, termasuk pengetahuan umum seperti geografi dan sistem politik. Ketika anak-anak hanya mengandalkan sekolah untuk belajar, hasilnya adalah ketidaktahuan seperti yang kita saksikan dalam video viral tersebut.
Namun, kita tidak bisa hanya menyalahkan anak-anak atau teknologi. Sistem pendidikan yang ada juga harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Pembelajaran tidak bisa hanya mengandalkan buku teks dan hafalan semata. Guru harus lebih inovatif dalam mengajar, misalnya dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis proyek atau diskusi kelompok yang memotivasi siswa untuk berpikir kritis dan eksploratif. Selain itu, pengajaran juga harus relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa agar mereka bisa melihat pentingnya pengetahuan yang mereka dapatkan. Solusi lain yang bisa diterapkan adalah dengan memperkuat pendidikan karakter sejak dini. Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan akademik, tetapi juga tentang membentuk karakter yang kuat dan rasa ingin tahu yang tinggi. Melalui pendidikan karakter, siswa bisa diajarkan untuk menjadi lebih mandiri dalam belajar dan tidak hanya mengandalkan apa yang diajarkan di kelas. Pendidikan karakter juga bisa membantu siswa dalam memahami pentingnya pengetahuan umum dan berperan sebagai warga negara yang baik.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, video viral ini menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan hanya soal lulus ujian atau naik kelas, tetapi juga soal mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan global. Jika kita tidak segera bertindak untuk memperbaiki sistem pendidikan, bukan tidak mungkin kita akan kehilangan potensi besar dari generasi penerus bangsa.