Konten dari Pengguna

Dobrakan Egosentris dari Naskah Drama 'Pintu Tertutup' Karya Jean Paul Sartre

Chantigi Mutiara
Mahasiswi Universitas Pamulang, Program Studi Sastra Indonesia
20 Desember 2022 10:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chantigi Mutiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://unsplash.com/photos/PWjA3zA497I?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
zoom-in-whitePerbesar
https://unsplash.com/photos/PWjA3zA497I?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
ADVERTISEMENT
Sastra merupakan alat pengajaran yang efektif, melalui karya sastra seseorang dapat menuangkan segala pikiran, pengalaman, maupun kritik sosial yang dapat direfleksikan dalam kehidupan. Kali ini saya akan mengulas salah satu karya sastra yaitu naskah drama Prancis yang sangat mendobrak egosentris seseorang. Naskah ini berjudul "pintu tertutup" karya dari salah satu filsuf eksistensialis yaitu Jean Paul Sartre. "Eksistensi mendahului esensi" kata itu yang selalu saya ingat dari pemikiran Sartre, yang saya artikan bahwa segala sesuatu yang kita maknai atau makna pada diri kita tidaklah ada jika tidak ada eksistensinya.
ADVERTISEMENT
Jean Paul Sartre merupakan filsuf eksistensialisme abad ke-20. Lahir pada 21 Juni 1905 dan meninggal pada 15 April 1980. Sartre telah melahirkan beberapa karya tulis maupun naskah drama. Naskah drama "pintu tertutup" yang pada kali ini akan saya ulas. Naskah ini berjudul Huis Cos yang telah di terjemahkan oleh Asrul Sani dan telah di pentaskan oleh beberapa kelompok.
Pintu Tertutup bercerita tiga orang yang masuk ke dalam neraka dalam kondisi tidak saling mengenal. Mereka adalah seorang laki-laki bernama Garcin yang mati karena ditembak dua belas peluru, seorang wanita bernama Inez yang mati karena gas dan seorang wanita bernama Estelle dari Prancis yang mati karena radang paru-paru. Tokoh Estelle menjadi orang yang terakhir masuk ke dalam neraka dan tidak menerima jika dirinya disebut orang mati. Estelle memiliki rasa takut yang amat dalam karena dirinya telah membunuh anaknya yang baru lahir dan membuat orang yang memberinya anak bunuh diri Estelle tidak ingin jika Garcin dan Inez tahu bahwa dirinya melakukan hal tersebut. Di hadapan mereka, Estelle berusaha sekuat tenaga untuk menutupi kesalahannya dan bersikap acuh seperti wanita kaya yang harus dilayani.
ADVERTISEMENT
Tokoh Garcin dan Estelle memiliki masalah karena tidak ingin mengakui dosa-dosanya dan terus berada dalam kecemasan. Tokoh Inez sendiri menyadari betul dirinya sudah mati dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Inez merasa tenang dan menerima dirinya masuk ke neraka karena sudah menjadi pilihannya untuk menjadi yang dia inginkan. Nah, dalam penggalan cerita ini dapat saya katakan bagaimana tokoh Inez telah menyadari pilihannya untuk masuk neraka, maka dirinya lebih tenang tidak ada kecemasan dalam dirinya. Sebaliknya, Garcin dan Estelle masih tidak bisa menerima dirinya dan selalu menutupi kesalahannya yang membuat dirinya merasa cemas yang berlebihan.
Naskah ini menggambarkan persoalan-persoalan hidup yang sering kita alami. Seperti persoalan tokoh Garcin yang tidak ingin dikatakan pengecut oleh orang-orang di bumi sebab masalah yang telah ia lakukan, dan masalah Estelle yang takut nama baiknya jatuh sebab masalah yang ia sudah ia lakukan. Begitulah terkadang egosentris manusia.
ADVERTISEMENT
Seperti pada dialog ketika Inez menanyakan kepada Estelle, "apa kau menderita sekali?" Lalu Estelle hanya menjawab bahwa dirinya hanya separuh sadar. Estelle menyembunyikan kecemasannya karena pada saat kematiannya sang suami dan sahabatnya tidak merasa kehilangan terhadap dirinya. Hal ini memunculkan kesadaran Estelle akan dosa-dosanya. Ketika ego dipaksa mengetahui kelemahannya, lalu ego berubah menjadi kecemasan.
Lalu pada dialog ketika Inez menanyakan "apa yang telah kau lakukan?" Kepada Estelle, namun dirinya justru menyalahkan orang lain "Itulah. Aku sendiri tidak tahu. Sedikitpun aku tidak tahu. Malahan aku berfikir, barangkali orang sudah khilaf". Kecemasan Estelle semakin berlebihan karena pertanyaan-pertanyaan yang mendesaknya. Selama hidupnya Estelle menggunakan hasratnya yang harus selalu terpenuhi, hal ini yang membuat tokoh Estelle menjadikan dirinya cenderung menjadi narsisme dan egoisme secara bersamaan. Estelle sendiri memiliki data bahwa sejak kecil harus bekerja sehingga tidak ada pendidik atau orang tua yang mengajarinya norma-norma sehingga menjadi Super ego. Kehidupan orang kaya juga membuat Estelle menjadi pribadi yang selalu yakin akan kebenaran dirinya.
ADVERTISEMENT
Tidak memiliki super ego membuat psikologis Estelle sangat terganggu, karena super ego tidak dapat mengalahkan hasratnya. Hal inilah yang dapat kita ambil pelajaran, bahwa pentingnya norma-norma yang sejak kecil maupun pengetahuan yang kita dapat dalam lingkungan sekitar. Sebab ketika hasrat muncul, lalu ego akan menimbang sesuatu yang akan kita lakukan lewat super ego.
Pada cerita di atas dapat saya simpulkan bahwa egosentris akan menyakiti diri kita pada akhirnya. Dalam naskah ini Sartre juga memberikan solusi sebuah proyek diri. Yang berarti Pandangan tentang masa depan memiliki pengaruh yang lebih besar ketimbang masa lalu. Masa lalu merupakan kenyataan yang telah terjadi dan hanya bisa dimaknai. Sedangkan masa depan belum terjadi. Hal inilah yang dapat kita refleksikan dalam hidup. Sering kali kita terjebak dalam masa lalu, sehingga membuat kecemasan dalam diri semakin larut. Sebagai manusia yang hidup seharusnya bebas, tanpa kecemasan dan selalu berusaha membuat diri yang lebih baik untuk masa depan.
ADVERTISEMENT