Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
'Toxic Masculinity' di Indonesia: Lelaki Juga Boleh Menangis
16 Oktober 2022 17:51 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Chantigi Mutiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya toxic masculinity dalam ruang lingkup masyarakat di seluruh dunia ini ternyata nyata adanya. Hampir semuanya menganggap bahwa laki-laki harus memiliki tingkat maskulinitas yang tinggi. Hal tersebut karena laki-laki dianggap sebagai ‘kepala’ dalam segala hal, dimana mereka harus selalu siap siaga memimpin, dimanapun, dan kapanpun. Sebuah kebiasaan seperti itu akhirnya membuat sebagian besar laki-laki merasa terbebani, beban yang mereka pikul seakan sangat banyak. Mereka dituntut untuk menjadi kuat, gagah, berani, tidak boleh lemah sedikitpun, apalagi sampai terlihat seperti layaknya perempuan.
ADVERTISEMENT
Budaya toxic masculinity ini ternyata memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap mental laki-laki, walaupun secara kasat mata tanda-tanda utama seperti kekuasaan, kontrol, maupun kekerasan sekilas memberikan prestise tersendiri bagi kaum adam tersebut.
Sebagai buktinya, dilansir dari jurnal yang penulis baca mengenai toxic masculinity, terdapat satu hasil riset dari WHO yang menyebutkan bahwa 80% pria melakukan bunuh diri di Amerika, atau 2,9% orang dari 100.000 orang melakukan bunuh diri (dimana pria mendominasi angka tersebut) disebabkan oleh rasa tidakmampuannya pria menjalani peran sosial sebagai pria yang dibebankan oleh masyarakat kepadanya. Sifat pria yang lebih impulsif membuat dorongan emosional untuk melakukan tindakan bunuh diri lebih kuat dibandingkan pada wanita.
Dampak dari toxic masculinity ini bukan hanya dirasakan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan sebagai korbannya. Dimana mereka akhirnya menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Toxic masculinity memiliki beberapa efek buruk yang diterima oleh laki-laki ketika mereka harus bertahan dalam standar maskulinitasnya. Dua diantaranya adalah rentannya melakukan kekerasan dan kurangnya kemauan untuk meminta pertolongan orang lain. Untuk menutup kelemahan dan perasaan yang sedang sedih, seringkali pria harus memilih jalan melakukan kekerasan demi terlihat baik-baik saja. Kekerasan tersebut mereka anggap sebagai bentuk adanya kekuasaan penuh atas diri mereka sebagai seorang laki-laki, sehingga masyarakat tidak akan menganggap bahwa mereka lemah. Hal tersebut tentu berdampak buruk bagi perempuan sebagai korbannya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya perempuan yang menjadi korban dari kekerasan laki-laki, namun juga anak kecil, bahkan anak mereka sendiri yang juga terkena dampak kekerasan tersebut. Banyaknya beban yang mereka pikul yaitu dengan menjadi tulang punggung keluarga, membiayai semua kebutuhan hidup keluarganya, dan mereka dituntut untuk terlihat tetap tegar menjalani itu semua. Stress yang menumpuk itu akhirnya ditumpahkannya kepada anak dan istri mereka yang tidak bersalah.
Toxic masculinity atau maskulinitas beracun ini ada kaitannya dengan budaya patriarki di Indonesia. Budaya patriarki tersebut membuat penduduk di Indonesia memiliki pandangan yang salah terhadap sifat maskulin yang kemudian hal tersebut membuat terjadinya toxic masculinity (maskulinitas beracun). Dari zaman dahulu, bahkan zaman Nabi, laki-laki sudah diperlihatkan sebagai sosok yang kuat, tahan banting, memiliki jiwa pemimpin, dan tidak pernah terlihat lemah sedikitpun, mereka menganggap bahwa yang boleh lemah hanyalah kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Budaya patriarki itu juga membuat laki-laki harus menghindari hal-hal yang bersifat feminim seperti memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, membersihkan tempat tidur, mencuci baju, menjemur, dan hal-hal yang berhubungan dengan feminim. Hal lainnya yaitu adanya stigma masyarakat bahwa yang harus sukses dan memiliki prestasi yaitu laki-laki, sehingga beban sebagai tulang punggung keluarga diberikan kepada laki-laki. Padahal, hal-hal tersebut berlaku bagi semua gender. Semua manusia memiliki hak mereka masing-masing dalam menjalankan aktivitasnya. Bahkan, sudah banyak pekerjaan memasak yang sekarang dilakukan oleh laki-laki. Sudah banyak juga wanita yang menjadi tulang punggung keluarga.
Menurut saya, budaya toxic masculinity ini harus ditinggalkan mulai dari sekarang. Karena tidak hanya laki-laki yang menerima dampak buruk tersebut, tetapi perempuan juga terkena imbasnya. Laki-laki tidak harus terus menerus terlihat kuat, mereka adalah manusia yang juga memiliki berjuta ekspresi dan perasaan yang tidak selamanya harus mereka pendam. Bahkan dari beberapa kasus, cukup banyak laki-laki yang memiliki sifat “kemayu”, dan itu menjadi titik lemah bagi mereka, karena banyak yang menjadikan sifat kemayu mereka sebagai bahan candaan atau olokan dari teman-teman sekitarnya. Tak jarang juga mereka dikucilkan hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk berteman dengan perempuan.
ADVERTISEMENT
Pada kasus lainnya, maraknya “transgender” menjadikan banyaknya pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Padahal, awal mula terbentuknya pemikiran untuk mengganti jenis kelamin yaitu karena mereka merasa tidak diterima oleh masyarakat ketika seksualitasnya tidak sejalan dengan yang digariskan oleh masyarakat itu sendiri. Mereka merasa bahwa dirinya yang “kemayu” tersebut tidak diterima oleh masyarakat, kemudian mereka akhirnya memutuskan untuk mengganti jenis kelamin agar sifat kemayu mereka tersalurkan. Begitu juga dengan perempuan. Maka dari itu, kita harus menerima bahwa sifat mereka memang seperti itu, namun kita juga harus tetap memiliki batasan agar tidak berjalan kearah yang tidak seharusnya.
Seseorang yang lahir ke dunia tidak dapat memilih bagaimana wujud, suara, sifat, sikap, dan lain sebagainya. Mereka hanya dapat menerima apa yang sudah Sang Pencipta berikan kepadanya. Meskipun kebanyakan laki-laki terlahir memiliki suara yang berat, sikap yang tegas dan berjiwa pemimpin. Namun sebagian lainnya tidak ditakdirkan memiliki hal yang serupa, mereka memiliki suara yang lebih lembut, dan sifat yang lebih feminim. Hal tersebut jangan kita jadikan sebagai hal yang wajar untuk dikucilkan.
ADVERTISEMENT
Setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan juga mengekspresikan perasaannya, bukan hanya perempuan saja yang dapat terlihat “lemah”, bukan perempuan saja yang boleh menangis, bukan perempuan saja yang memiliki suara lembut. Karena pada dasarnya, manusia terlahir dengan berbagai macam perbedaan, dan kita harus menghargai perbedaan yang sudah diberikan oleh Tuhan Kepada umatnya.