Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Di Balik Plaza Accord: Dampak Kesepakatan 1985 Dalam Hubungan Ekonomi Jepang-AS
7 Maret 2025 16:22 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Chantiqa Azzahra Nabila Tambunan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada tanggal 22 September 1985, perwakilan dari lima negara besar Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat, Prancis, dan Inggris berkumpul di Plaza Hotel di New York. Mereka mencapai kesepakatan bersejarah yang dikenal sebagai Plaza Accord, yang bertujuan untuk mendevaluasi dolar AS terhadap yen Jepang dan mark Jerman untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan global.
ADVERTISEMENT
Bagi Amerika Serikat, yang menghadapi defisit perdagangan besar-besaran, khususnya dengan Jepang, perjanjian ini merupakan alat untuk meningkatkan ekspornya. Namun, bagi Jepang, dampaknya jauh lebih kompleks mulai dari apresiasi tajam yen hingga restrukturisasi ekonomi yang membentuk kembali hubungan perdagangan dan investasi Jepang-AS hingga saat ini.
Pada awal tahun 1980an, perekonomian Jepang sedang booming. Produk-produk Jepang mulai dari mobil hingga elektronik membanjiri pasar AS, memperburuk defisit perdagangan Amerika, yang mencapai sekitar $46 miliar pada tahun 1985, dengan setengahnya berasal dari perdagangan dengan Jepang (Funabashi, 1988).
Pada saat yang sama, dolar AS menguat secara signifikan karena kebijakan moneter ketat yang diterapkan oleh Federal Reserve untuk mengendalikan inflasi (Krugman, 1991). Dolar yang kuat membuat barang-barang Amerika menjadi mahal di pasar global dan membuat impor, termasuk barang-barang dari Jepang, menjadi lebih murah. Hal ini memperburuk ketidakseimbangan perdagangan dan meningkatkan ketegangan antara Washington dan Tokyo.
ADVERTISEMENT
AS menekan Jepang untuk membiarkan mata uangnya terapresiasi, dengan asumsi bahwa penguatan yen akan mengurangi keunggulan harga produk Jepang dan membantu ekspor Amerika menjadi lebih kompetitif. Meskipun awalnya enggan, Jepang akhirnya menyetujui Plaza Accord di bawah tekanan yang meningkat dari Amerika Serikat dan sekutunya (Bergsten & Henning, 1996).
Setelah Plaza Accord, yen menguat tajam terhadap dolar AS. Sebelum perjanjian, nilai tukarnya adalah ¥1 = $0,0043 (240 yen per dolar). Dalam dua tahun, yen telah menguat menjadi ¥1 = $0,0071 (140 yen per dolar), menjadikannya sekitar 50% lebih kuat dibandingkan sebelum kesepakatan (Sobel, 1994).
Apresiasi yang pesat ini sangat berdampak pada sektor ekspor Jepang yang merupakan tulang punggung perekonomiannya. Perusahaan seperti Toyota, Sony, dan Honda menghadapi lonjakan biaya ekspor, yang menyebabkan stagnasi ekonomi dalam jangka pendek. Sebagai tanggapannya, Bank of Japan secara agresif menurunkan suku bunga untuk merangsang permintaan domestik, yang secara tidak sengaja menyebabkan gelembung aset besar-besaran di pasar real estate dan saham.
ADVERTISEMENT
Pada akhir tahun 1980-an, Jepang mengalami ledakan spekulatif: harga tanah di Tokyo meroket, dan indeks saham Nikkei mencapai rekor tertinggi pada tahun 1989. Namun, ketika gelembung tersebut pecah pada awal tahun 1990-an, Jepang memasuki periode stagnasi ekonomi berkepanjangan yang dikenal sebagai “Dekade Hilang”, yang ditandai dengan pertumbuhan yang lamban dan gejolak keuangan (Ito, 2002).
Plaza Accord tidak hanya mengubah nilai tukar tetapi juga memaksa Jepang untuk merestrukturisasi strategi ekonominya. Ketika biaya produksi meningkat karena penguatan yen, banyak perusahaan Jepang melakukan ekspansi ke luar negeri, khususnya ke Amerika Serikat dan Asia Tenggara.
Investasi asing langsung (FDI) Jepang di AS melonjak pada akhir tahun 1980an dan 1990an. Produsen mobil seperti Toyota, Honda, dan Nissan mendirikan pabrik di Amerika Serikat, khususnya di negara bagian seperti Kentucky dan Ohio, yang menawarkan insentif pajak dan tenaga kerja lebih murah dibandingkan Jepang (Frieden, 2006).
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, Jepang meningkatkan investasinya di Asia Tenggara, membentuk apa yang dikenal sebagai “Jaringan Produksi Asia”. Negara-negara seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia menjadi pusat manufaktur utama bagi perusahaan-perusahaan Jepang, dengan rantai pasokan yang semakin terintegrasi secara regional (Lincoln, 2001).
Dari perspektif Ekonomi Politik Internasional (IPE), Plaza Accord dapat dianalisis melalui beberapa kerangka teori:
ADVERTISEMENT
Dari perspektif Teori Stabilitas Hegemonik, Plaza Accord menyoroti bagaimana AS, sebagai kekuatan dominan di era Perang Dingin, dapat mendikte kebijakan ekonomi global, bahkan dengan mengorbankan sekutunya.
Plaza Accord tahun 1985 bukan sekadar perjanjian mata uang—tetapi merupakan titik balik dalam hubungan ekonomi Jepang-AS. Apresiasi tajam terhadap yen menyebabkan stagnasi ekonomi Jepang namun juga memaksa Jepang untuk beradaptasi dengan mengalihkan fokusnya ke investasi asing dan ekspansi global.
Saat ini, banyak dampak dari Plaza Accord yang masih terlihat. Jepang telah bertransisi dari negara pengekspor manufaktur menjadi investor global, dengan perusahaan-perusahaannya mengintegrasikan rantai pasokan di seluruh dunia. Sementara itu, Plaza Accord dapat menjadi pembelajaran bagi negara-negara lain mengenai bagaimana kebijakan ekonomi global dapat berdampak besar terhadap stabilitas perekonomian dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Dengan meninjau kembali peristiwa ini, kita dapat lebih memahami bagaimana intervensi ekonomi global membentuk hubungan perdagangan internasional sekaligus memberikan wawasan tentang bagaimana kebijakan serupa dapat mempengaruhi perekonomian global di masa depan.