Konten dari Pengguna

Masalah Struktural Kesetaraan Pendidikan dan Mimpi Indonesia Emas 2045

Charlen Maureta Davrina
Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
29 Juni 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Charlen Maureta Davrina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Syahrul Alamsyah Wahid dari Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Syahrul Alamsyah Wahid dari Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pentingnya pendidikan sudah tercantum sebagai amanat konstitusi dengan adanya Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Demi memastikan kemudahan akses pendidikan bagi setiap warga negara, pasal 31 Ayat (2) menegaskan bahwa, ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
ADVERTISEMENT
Namun nyatanya hingga hari ini masih terdapat ketimpangan dalam mendapatkan pendidikan dan kemudahan akses, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Ketimpangan tersebut berkaitan dengan persoalan geografis, infrastruktur, hingga terbatasnya tenaga pendidik. Seperti yang diakui oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Puan Maharani, “Salah satu tantangan utama dalam pemerataan pendidikan adalah kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Seperti diketahui, kebanyakan sekolah berkualitas tinggi terletak di kota-kota besar, sementara daerah pedesaan masih kekurangan fasilitas pendidikan yang memadai sehingga ada kesenjangan kualitas pendidikan.” ujarnya pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024.
Fakta Lapangan yang Sangat Miris
Tak dapat dipungkiri, fakta lapangan menunjukan adanya ketimpangan yang signifikan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), puluhan siswa sekolah dasar harus bertaruh nyawa menyeberangi derasnya arus Sungai Nanga Gete demi dapat bersekolah. Setiap hari, puluhan siswa Sekolah Dasar Inpres (SDI) Blawuk yang tinggal di dusun Wailoke dan Dusun Muding Kampung Wairbou harus melawan derasnya arus sungai lantaran tidak ada jembatan yang bisa mereka lewati untuk sampai ke sekolah. Terpaksa, puluhan siswa yang berada di dua dusun tersebut harus menerjang bahaya setiap harinya tanpa bantuan apa pun. Hal serupa dialami oleh siswa SDN 478 Barowa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan yang harus menggunakan rakit gabus demi ke sekolah karena infrastruktur jembatan yang rusak.
ADVERTISEMENT
Analisis dataset Program for International Student Assessment (PISA) 2022 mendapati bahwa masalah infrastruktur di daerah pedesaan mencakup buruknya ketersediaan fasilitas fisik sekolah, seperti ruang kelas yang memadai, lapangan olahraga, pendingin ruangan, pencahayaan, dan sistem pengeras suara. Kekurangan infrastruktur-infrastruktur fisik ini tentunya dapat menghambat proses belajar mengajar.
Menyediakan bangunan yang layak sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah karena hal tersebut merupakan cara untuk meningkatkan kenyamanan belajar, yang dampaknya memberikan lingkungan positif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui CEIC, ternyata data persentase kondisi bangunan kelas sekolah di Indonesia masih banyak yang mengalami kerusakan, mulai dari kerusakan ringan hingga kerusakan parah.
Pada tahun ajaran 2021/2022 angka kerusakan memang mengalami penurunan namun masih dalam tren yang tinggi. Tercatat ada 60,60% ruang kelas SD dalam kondisi rusak ringan atau sedang pada tahun ajaran 2021/2022. Angka tersebut lebih tinggi 3,47% poin dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 57,13%. Setelah menerjang hambatan dan perjalanan yang sulit untuk bersekolah, siswa di daerah 3T harus mendapati diri mereka belajar di tempat yang infrastrukturnya tidak nyaman dan tidak memadai untuk mendukung proses pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Pendidikan adalah kunci dari pembangun sebuah negara, tetapi pendidikan tak dapat tercapai saat tak dilakukan pembangunan yang merata. Timpangnya pembangunan antara desa dan kota sudah menjadi masalah struktural yang menjauhkan Indonesia dari tujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan menyongsong Indonesia Emas 2045.
Foto oleh Bayu Syaits dari Unsplash
Keharusan Pemerintah Untuk Menemukan Solusi Konkret
Diperlukan langkah konkret pemerintah dalam memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan, termasuk perhatian khusus terhadap wilayah Indonesia yang memiliki kondisi geografis, sosial, ekonomi dan budaya yang terpencil dan kurang berkembang dibandingkan daerah lain. Solusi melingkupi diperlukannya pembangunan infrastruktur-infrastruktur fisik dengan menggunakan perhitungan sesuai dengan kondisi geografis dan pemerataan jumlah guru yang dibarengi insentif memadai.
Sebuah solusi konkret yang lebih luas dan memiliki dampak yang signifikan adalah perlunya kesetaraan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Pembangunan infrastruktur transportasi yang inklusif, seperti jalan raya yang baik, pengembangan sistem rel kereta api, dan pengoptimalan jalur laut atau sungai, dapat mengurangi ketimpangan yang telah lama terjadi. Saat akses transportasi lebih baik antara desa dan kota, hal tersebut dapat mengurangi kesenjangan pendidikan yang mendorong masyarakat melakukan urbanisasi, memilih pindah dari desa ke kota. Urbanisasi bukanlah jawaban atas persoalan kesenjangan yang terjadi. Perpindahan masyarakat dari desa ke kota justru berpeluang menciptakan persoalan baru. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menjalankan tanggung jawabnya dalam memastikan bahwa pendidikan berkualitas dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, di setiap lokasi geografis.
ADVERTISEMENT