Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pelakor: Samsak Emosi Kesukaan Netizen
26 September 2024 14:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Charlen Maureta Davrina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
It takes two to tango, tetapi mengapa pihak perempuan lebih banyak dirugikan?
ADVERTISEMENT
Dari yang saya amati, tidak ada satu hari pun tanpa diskursus mengenai kasus perselingkuhan di platform X. Selalu ada saja curhatan baru mengenai perselingkuhan yang diungkapkan oleh netizen. Kasusnya bermacam-macam dan melibatkan berbagai golongan, ada yang melibatkan artis, atlet sepakbola, hingga pengusaha. Memang saya akui, isi curhatannya banyak sekali yang membuat geleng-geleng kepala, mungkin hal serupa juga dirasakan oleh pembaca lain yang pada akhirnya menimbulkan reaksi luar biasa dari netizen.
Kasus yang pernah saya amati adalah kasus perselingkuhan yang melibatkan salah satu mahasiswa perguruan tinggi swasta di Kota Cianjur. Belum sampai 24 jam sejak tweet diunggah oleh istri sah, sudah jutaan orang yang membaca curhatan tersebut. Tempat kuliah, akun sosmed terdahulu, hingga linkedin si “pelakor” sudah berhasil dikantongi oleh netizen yang bukan main jagonya jika sudah masuk urusan stalking. Sambil saling berbagi informasi untuk menghujat, netizen pun tebar kata-kata paling kasar yang bisa dilampiaskan. Ada yang marah-marah menyebut nama-nama hewan, nama alat kelamin, sampai mendoakan yang tidak-tidak.
ADVERTISEMENT
“Woi tandai nih si Y******. Katanya dia mau sidang bentar lagi. Kawal nih pelakor sampe ga dapat gelar. Ga pantas dapat gelar S.H.” tulis salah satu akun base terbesar di X sembari menyertakan tangkapan layar PDDikti berisikan biodata mahasiswi terduga pelaku perselingkuhan.
Memang netizen menjadi sangat mengerikan saat masuk urusan ranah pengkhianatan dalam hubungan percintaan. Semua cara benar-benar diupayakan agar si pelaku perempuan tidak bisa hidup tenang selama-lamanya. Mungkin begitulah cara hukum sosial bekerja, benar-benar seperti bola api yang sulit untuk dikendalikan oleh siapa pun. Kalau sudah digunjing sedemikian rupa di media sosial, entahlah cara untuk menyelesaikannya kecuali mengaku salah dan berpasrah diri pada tuhan (dan netizen).
Hal lucu dari setiap diskursus perselingkuhan ialah kurangnya dampak yang dirasakan oleh pelaku lelaki. Bukan berarti mereka tidak kena hujatan, tentu mereka pun kena, tetapi sungguh tidak separah yang dirasakan oleh pihak perempuan. Dalam kebanyakan kasus yang saya lihat, identitas yang banyak dikuliti oleh netizen adalah pihak perempuan. Pelaku lelaki tidak terlalu diungkap tempat kerjanya, media sosialnya, atau linked-innya. Contohnya, dulu ada artis perempuan tanah air yang terlibat kasus perselingkuhan, yang saya ketahui, sampai sekarang film-filmnya selalu kena “cancel” netizen. Terlepas seberapa bagusnya film tersebut dipuji secara kualitas, netizen sudah tidak tertarik lagi dan tampaknya sulit untuk melupakan. Namun, sampai sekarang saya tidak pernah dengar nasib pelaku lelaki yang tega mengkhianati istri dan anaknya tersebut. Apakah beliau masih kerja dengan tenang dan aman tanpa hukuman sosial yang ada? Ataukah nasibnya seburuk si pelakor juga? Saya tidak tahu.
ADVERTISEMENT
It takes two to tango, itulah kata-kata yang muncul di kepala saya setiap kali netizen terlalu menghakimi pelakor tanpa adanya perlakuan yang imbang pada pihak lelaki. Tidak mungkin perselingkuhan terjadi tanpa keinginan kedua belah pihak. Si perempuan tidaklah “merebut” apa pun, lelaki bukanlah sesuatu yang "pasif" untuk diperebutkan, kedua pihak sadar betul akan apa yang mereka lakukan. Dalam kasus perselingkuhan, sering kali terjadi ketimpangan dalam tanggung jawab moral antara laki-laki dan perempuan yang terlibat. Meskipun perselingkuhan melibatkan dua orang, perempuan sering kali mendapat tekanan sosial yang lebih besar.
Lucunya lagi, saat menulis ini pun saya bingung penyebutan apa yang harus disematkan pada pihak lelaki. Adakah istilah yang setara dengan kata “Pelakor” bagi lelaki yang juga berposisi sebagai pelaku?
ADVERTISEMENT
Ah, sungguh tidak ada habisnya untuk membahas persoalan satu ini. Tentu tak ada pembenaran untuk kasus perselingkuhan mana pun, baik dalam lingkup rumah tangga atau pun hubungan pacaran. Namun, tak bisa ditepis bahwa penyebutan “pelakor” mendiskriminasi dan memihak pada gender tertentu. Masifnya penggunaan istilah pelakor tanpa adanya istilah yang sebanding, dalam prosesnya hanya akan meminggirkan pihak lelaki dalam persoalan yang ada. Netizen hanya akan membicarakan secara brutal pihak perempuan yang diangap paling salah, paling hina, dan paling pantas untuk dihujat. Sedangkan si pihak lelaki tak mendapatkan hujatan yang serupa atas kesalahan yang sama.