Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kebijakan Stimulus dan Perppu Kebijakan Keuangan Negara
1 April 2020 12:44 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Chatib Basri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah kemarin telah mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi untuk mengatasi permasalahan pandemi COVID-19. Ada beberapa hal yang menarik diperhatikan disini
ADVERTISEMENT
1.Saya kira kita perlu memberikan apresiasi yang tinggi kepada kebijakan stimulus yang baru dikeluarkan pemerintah. Mengapa? Kebijakan stimulus ini jauh lebih fokus. Ia fokus kepada tiga hal: pertama, anggaran untuk bidang kesehatan; kedua, alokasi anggaran untuk perlindungan sosial dan ketiga alokasi anggaran untuk dunia usaha dalam rangka pemulihan ekonomi. Saya pernah menyampaikan di Kompas 17 Maret 2020.
Bahwa dalam situasi di mana wabah berjangkit, pembatasan sosial diberlakukan, maka perekonomian akan mengalami perlambatan baik akibat berkurangnya permintaan (demand shock) karena menurunnya pendapatan, maupun berkurangnya produksi (supply shock), karena terganggunya aktivitas produksi. Dalam kondisi ini maka stimulus fiskal harus disesuaikan dengan kondisi, prioritas dan urutan kebijakan. Lihat juga opini saya di Kompas 19 Maret 2020.
ADVERTISEMENT
Dengan prioritas fiskal yang baik seperti ini, maka pemerintah akan bisa lebih fokus menangangi persoalan yang dihadapi. Persoalan ekonomi tidak akan selesai sebelum masalah Covid-19 bisa di jawab. Karena itu langkah stimulus ini adalah langkah yang tepat dan perlu diapresiasi
2. Didalam tulisan saya di East Asia Forum minggu lalu, saya menyinggung soal perlunya realokasi anggaran dan juga menaikkan defisit anggaran mengingat kebutuhan yang amat besar. Dan pemerintah telah mengambil langkah dengan menaikkan batas defisit anggaran menjadi diatas 3% selama 3 tahun. Saya kira ini juga langkah yang tepat mengingat kebutuhan dana begitu besar. Tentu kita tidak bisa membandingkan diri kita dengan AS, Singapura, Australia yang memberikan stimulus untuk mengatasi Corona sebesar 10% dari PDB. Tetapi saya kira angka Rp 405 trilun (2.5% dari GDP) adalah angka yang signifikan. Kita lebih besar dibandingkan Prancis, Italia, Spanyol, Malaysia dan beberapa negara lain termasuk India.
ADVERTISEMENT
3. Besarnya stimulus fiskal untuk Covid-19 tentu terkait erat dengan besarnya defisit yang bisa kita biayai. Seperti tulisan saya di East Asia Forum ,
defisit yang terlalu besar tentu akan menyulitkan pembiayaan. Bagaimana kita membiayai defisit anggaran ini? Jika kita menggantungkan diri kepada pasar obligasi domestik, maka akan terjadi crowding out, di mana dana perbankan akan diserap oleh obligasi pemerintah sehingga perbankan akan mengalami kesulitan likuiditas.
Jika pemerintah mengeluarkan obligasi internasional, maka bunga obligasi akan sangat tinggi. Oleh karena itu untuk pembiayaan pemerintah harus melakukan kombinasi dari berbagai hal. Saya mengusulkan kombinasi pembiayaan dari pasar domestik , internasional dan juga multilateral.
6 tahun lalu pemerintah Indonesia pernah memiliki fasilitas yang namanya Deferred Draw Down Option (DDO), dimana jika bunga obligasi di pasar sangat mahal, pemerintah Indonesia dapat meminjam dari World Bank, ADB, Australia, Jepang dengan bunga yang sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Skema ini perlu dihidupkan kembali, karena kita akan punya akses pembiayaan dengan harga murah. Selain itu kemungkinan untuk dukungan dari AIIB misalnya atau bilateral support dari berbagai negara perlu di buka. Termasuk misalnya bantuan medis, obat, alat dari negara-negara lain.
Dalam hal pembiayaan, saya kira pemerintah membuka opsi untuk Bank Indonesia membeli obligasi pemerintah dari pasar perdana. Karena itu pemerintah mengeluarkan Perppu. Saya bisa memahami keputusan ini, mengingat pembiayaan memang sulit. Namun saya ingin mengingatkan bahwa pembelian obligasi oleh Bank Indonesia, memiliki resiko meningkatkan inflasi.
Tetapi ini adalah resiko dari keadaan yang ada. Karena itu pemerintah dan Bank Indonesia perlu duduk bersama untuk menentukan berapa inflasi yang memang "bisa diterima" sebagai biaya. Sebesar itulah obligasi bisa dibeli oleh Bank Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebab bila sizenya amat besar maka inflasi akan naik tajam dan juga akan memukul ekonomi kita. Dalam kaitan ini fine tunning mengenai besaran obligasi yang akan dibeli Bank Indonesia akan menjadi amat penting
4. Saya juga ingin mengingatkan: eksekusi program penyelamatan dengan alokasi dana yang begitu besar harus dilakukan dengan rule based, kriteria yang jelas, aturan yang jelas, dan juga perlindungan yang jelas untuk pelaksanaan.
Bila tidak, eksekusi akan menjadi sulit, dan menimbulkan persoalan. Karena itu governance, aturan, rule based yang jelas menjadi penting. Diskresi yang terlalu banyak akan menimbulkan problem dalam governance. Dalam hal ini penekanan kepada issue tata kelola pemerintahan yang bersih menjadi amat penting
Stimulus fiskal sudah tersedia, prioritas sudah lebih jelas. Kita patut memberikan apresiasi untuk ini. Proses pemulihan akan memakan waktu yang agak panjang. Baru setelah wabah Covid-19 bisa diatasi, social distancing berakhir, aktivitas produksi berjalan kembali, program" traditional pump-priming" untuk mendorong aggregate demand bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Seperti kata Larry Summers, guru besar ekonomi di Harvard University dan mantan Menteri Keuangan di AS, fiskal policy harus memenuhi TTT (timely, targeted, temporary). Selain itu yang paling penting saya kira, ia harus relevan dengan kondisi yang ada.
Dan kebijakan yang dikeluarkan kemarin memang relevan dengan situasi. Dalam jangka pendek kita memang harus fokus kepada kesehatan dan perlindungan. Baru setelah itu kita bicara soal pertumbuhan ekonomi