Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Selamat Jalan Bang Faisal
5 September 2024 14:18 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Chatib Basri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Faisal Basri seperti sebuah lentera bagi perubahan. Di tangannya, keberpihakan pada demokrasi menemukan suaranya, dan ketidakadilan menemukan musuhnya. Saya ingat sosok ini: kemeja biru muda, celana warna khaki, sepatu sandal, ransel di pundak, dengan rambut, yang sedari muda, tak lagi penuh.
ADVERTISEMENT
Akhir 1980-awal 1990 an tak banyak ekonom di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yang membahas ekonomi politik. Mungkin hanya Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjahrir dan seorang ekonom muda: Faisal Basri. Saya belum lagi genap menyelesaikan skripsi saya saat itu, dan saya punya minat besar pada ekonomi politik. Mungkin karena banyak terpengaruh Alm. Dr Sjahrir, saat itu saya menjadi asisten Sjahrir untuk mata kuliah Perekonomian Indonesia.
Sjahrir adalah ekonom, tokoh mahasiswa yang pernah ditahan dalam kasus Malari 1974. Keterlibatan saya pada gerakan mahasiswa--yang dilakukan dengan rasa takut--membuat saya banyak berinteraksi dengan Faisal Basri.
Saya ingat, bersama teman-teman di FEUI kami menyelenggarakan Seminar Nasional untuk mahasiswa. Sengaja kami mengundang ekonom seperti Sjahrir, Rizal Ramli dan Faisal Basri dsb. Saat Faisal berbicara di depan mahasiswa, hati kami--setidaknya saya--menjadi kecut. Dengan lugas ia berbicara tentang bobroknya pemerintahan Soeharto akibat tumbuh suburnya korupsi, kroniisme dan ekonomi rente.
ADVERTISEMENT
Di masa itu, tak banyak orang berani menuding Soeharto secara langsung dalam diskusi terbuka. Faisal adalah pengecualian. Sejak itu saya menjadi akrab dengan Bang Faisal, begitu saya memanggilnya. Saya berutang intelektual padanya. Bagi saya Bang Faisal tak hanya seorang kawan, senior dan guru dalam ilmu ekonomi, tapi ia adalah teladan tentang integritas, keteguhan sikap dan keberanian. Ia tak hanya marah dan berani, tetapi Faisal adalah ekonom yang membaca data dengan baik. Pemikirannya cemerlang. Ia memahami konsep ekonomi dengan sangat baik. Pandangannya segar.
Kami cukup dekat sebagai kawan. Bulan Februari lalu, atas permintaan istrinya, Mbak Titik, saya mengirim voice note, mengingatkan Bang Faisal untuk pergi memeriksakan diri ke dokter, karena ada problem dengan matanya. Saya katakan, jika jatuh sakit, kita jadi kehilangan kesempatan untuk makan Padang. Mungkin, karena Faisal seorang ekonom, ia paham arti opportunity cost. Soal kesempatan apa yang akan hilang--bila tak sehat.
ADVERTISEMENT
Ia menjawab melalui whatsapp bahwa ia sudah periksa darah dan insya Allah akan segera check up secara menyeluruh. Di ujung pesannya ia menulis: Pingin segera menyantap nasi kapau. Tanggal 16 Agustus lalu kami bersama sama berbicara untuk menyambut 900 mahasiswa baru FEB UI. Kami berbicara mengenai issue kelas menengah. Faisal, seperti biasa, begitu lugas, begitu berapi-api dan begitu berani.
Kami memang cukup dekat sebagai kawan. Saya menghormatinya sebagai senior dan guru. Walau cukup dekat, bukan berarti mengurangi sikap kritisnya pada saya. Saat saya menjadi Menteri Keuangan atau Kepala BKPM, dengan lantang ia menyampaikan kritiknya yang pedas pada saya.
Kami kadang berbeda pandangan, namun saya tahu, sikap kritisnya dibutuhkan: untuk perbaikan negeri ini. Seperti Reinold Niebhur pernah menulis: “Kapasitas manusia untuk berbuat adil, membuat demokrasi menjadi mungkin. Dan kecenderungan manusia untuk berbuat sewenang-wenang membuat demokrasi menjadi perlu” Demokrasi memang gaduh, mungkin menyebalkan.
ADVERTISEMENT
Tapi ia bisa menahan kecenderungan manusia untuk berbuat sewenang-wenang. Faisal menyuarakan pesan tua itu. Ia mengingatkan kekuasaan untuk tak sewenang-wenang. Ia seperti sebuah lentera bagi perubahan. Di tangannya, keberpihakan pada demokrasi menemukan suaranya, dan ketidakadilan menemukan musuhnya
Kematian memang mengakhiri kehidupan seorang manusia, tapi tidak ide dan pemikirannya. Selamat jalan Bang Faisal.
Beberapa foto bersama Faisal. Dari saat diskusi di majalah Tempo, saat kami masih muda, sampai pertemuan kami terakhir 16 Agustus 2024.