Konten dari Pengguna

This Time is (Not) Different

Chatib Basri
Menteri Keuangan RI 2013-2014
8 Januari 2019 15:38 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chatib Basri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Mata Uang Dollar (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mata Uang Dollar (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Jumat lalu (5/1), Jerome Powell, Chair dari The Fed membuat pernyataan: "The Fed akan "bersabar" dalam menaikkan tingkat bunga di Amerika Serikat (AS)". Dan seperti yang saya duga, dalam tulisan saya bulan Desember lalu, mata uang emerging economies termasuk rupiah terhadap US dolar menguat secara signifikan. Pasar keuangan menjadi positif.
ADVERTISEMENT
Saya tak akan terkejut bila arus modal akan kembali lagi mengalir ke Emerging Market (EM) economies termasuk Indonesia. Rupiah dan pasar keuangan akan mendapat dampak positif. Tentu ini menggembirakan buat kita. Pesta kembali dimulai.
Namun saya ingin mengingatkan sejak dini: Krisis atau gejolak pasar keuangan umumnya dimulai dari masuknya arus modal portfolio secara drastis akibat dari penurunan tingkat bunga The Fed di Amerika Serikat yang mencari imbal lebih tinggi di EM.
Arus modal yang masuk, dalam jangka pendek memang mendorong perekonomian EM, namun ia tak berkesinambungan. Ketika The Fed melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga, maka terjadi arus modal keluar. Pasar keuangan terguncang, nilai tukar jatuh, terutama di negara-negara yang defisit transaksi berjalannya dibiayai oleh portfolio.
Ilustrasi mata uang. (Foto: AFP/Romeo Gacad)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mata uang. (Foto: AFP/Romeo Gacad)
Saya ingin mengatakan bahwa kita harus berhati-hati. Arus modal yang akan masuk ini satu hari akan berbalik meninggalkan Indonesia. Mengapa?
ADVERTISEMENT
Pertama, masalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) kita belum terselesaikan. Defisitnya masih meningkat, dan yang paling menjadi masalah ia dibiayai oleh portfolio, yang setiap waktu dapat pergi jika The Fed kembali lagi menaikkan suku bunga. Atau ia bisa pergi jika ada kejutan eksternal lain.
Kedua, tingkat pengangguran di AS sudah semakin rendah dan tingkat upah mulai naik. Implikasinya: Satu waktu inflasi akan naik, dan The Fed harus menaikkan suku bunga.
Ringkasnya: Satu hari The Fed harus menaikkan bunga lagi.
Artinya kita memiliki risiko bahwa rupiah dan pasar keuangan akan terguncang lagi. Kita memang masih rentan.
Apa yang harus dilakukan? Pemerintah harus melakukan pendalaman pasar keuangan (financial deepening), agar pasar obligasi dan modal kita tak tergantung kepada pembiayaan eksternal. Caranya mendorong lebih banyak investor lokal. Berikan insentif atau buat aturan agar BUMN, dana pensiun, asuransi, Dana Haji, dan retail, untuk menempatkan investasinya dalam obligasi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga bisa menerapkan reverse Tobin Tax. Jika dalam Tobin Tax, arus modal masuk jangka pendek dikenakan pajak, maka dalam reverse Tobin Tax, pemerintah memberikan insentif pajak jika investor melakukan re-investasi keuntungannya untuk jangka panjang.
Selain itu, ciptakan instrumen atau produk pasar keuangan agar orang Indonesia juga memiliki opsi untuk menempatkan investasi portfolio dalam mata uang asingnya di Indonesia (on shore). Lebih baik orang menempatkan investasi portfolionya dalam mata uang asing on shore ketimbang orang menempatkannya di luar negeri (of shore), karena tidak adanya produk atau instrumen di pasar keuangan yang tersedia. Ketersediaan berbagai instrumen pasar keuangan ini akan meningkatkan pasokan dolar di dalam negeri. Selain itu tentu yang utama, kita harus memperbaiki iklim investasi.
ADVERTISEMENT
Dan yang paling penting di dalam jangka menengah panjang, kita harus kembali menggerakkan ekspor manufaktur kita dan meragamkan produk dan tujuan ekspor kita. Studi saya dan Rahardja menunjukkan bahwa pendorong utama ekspor kita adalah produk dan pasar lama.
Penemuan baru? Kurang dari lima persen. Bahkan kontribusi produk baru untuk pasar yang baru dalam pertumbuhan ekspor kita nyaris tak ada. Artinya kita memang tak berubah banyak. Di sini dibutuhkan inovasi dan perbaikan kualitas sumber daya manusia.
Tanpa ini, situasi 2018 akan berulang. Saya ingat kelakar Prof Carmen Reinhart dari Harvard University dalam sebuah obrolan informal di Henrietta’s Table di kawasan Harvard Square beberapa tahun lalu: “Tiga kata paling berbahaya—dan paling sering diucapkan oleh pembuat kebijakan—ketika melihat arus modal masuk adalah “this time is different”.
ADVERTISEMENT
Pembuat kebijakan akan berkata, “Lihatlah investor percaya kepada kita! Pasar uang membaik! Kali ini akan berkesinambungan. Kali ini berbeda (this time is different). Namun sejarah berulang, arus modal jangka pendek yang masuk dengan deras adalah awal dari gejolak pasar keuangan.
Indonesia memang berhasil melalui gejolak keuangan tahun 2013 (taper tantrum) dan tahun 2018. Langkah pemerintah dan Bank Indonesia untuk memilih stabilitas di atas pertumbuhan ekonomi terbukti efektif. Saya kira kita harus memberikan apresiasi kepada pemerintah dan Bank Indonesia. Kebijakan yang hati-hati dari pemerintah dan Bank Indonesia telah membuat kita mampu mengatasi tahun 2018 yang sulit.
Namun tentu kita tak bisa terus-menerus defensif. Kita tak ingin mengulang cerita yang sama lagi. Kita tak ingin mengulangi kesalahan dengan menganggap bahwa arus modal yg masuk, rupiah yg menguat, pasar keuangan yang bergairah ini akan berbeda dengan yang fenomena yang sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Di awal tahun ini, saya ingin mengingatkan: This time is (not) different.