Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Investasi atau Perangkap? Ketergantungan Ekonomi Afrika terhadap China
27 Oktober 2024 8:49 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Chelsea Mambo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Manifestasi kolonialisme telah mengalami transformasi signifikan pada abad ke-21, berevolusi dari dominasi teritorial eksplisit menjadi hegemoni ekonomi yang lebih sophisticated dan insidious. Fenomena ini, yang dikonseptualisasikan oleh Kwame Nkrumah (1965) sebagai neo-kolonialisme, merepresentasikan kontinuitas eksploitasi kolonial dalam bentuk yang lebih subtil namun sama destruktifnya terhadap kedaulatan nasional negara-negara yang terdampak. Dalam paradigma teoretis yang dikembangkan oleh teoretisi dependensi seperti Andre Gunder Frank, hubungan asimetris antara pusat (center) dan periphery masih tetap dipertahankan melalui mekanisme ekonomi-politik yang sophisticated.
ADVERTISEMENT
Afrika, sebagai kontinen yang memiliki reservoir sumber daya alam yang substansial mencakup hidrokarbon, mineral strategis, dan biodiversitas yang ekstensif. Kini terperangkap dalam apa yang para ekonom pembangunan karakterisasikan sebagai "development trap". Paradoks ini memanifestasikan diri dalam bentuk akumulasi utang yang eksponensial dan relasi ketergantungan ekonomi yang sistemik. Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari warisan struktural kolonialisme historis yang telah membentuk arsitektur ekonomi-politik Afrika kontemporer. Dalam perspektif strukturalis, konfigurasi ekonomi yang inheritent dari era kolonial telah menciptakan predisposisi struktural yang mengkondisikan negara-negara Afrika pada posisi subordinat dalam hierarki ekonomi global.
Dimensi kontemporer dari neo-kolonialisme ekonomi di Afrika dikarakterisasi oleh multiplisitas aktor dan mekanisme yang lebih kompleks dibandingkan dengan kolonialisme klasik. Lembaga-lembaga finansial internasional, korporasi multinasional, dan emerging powers seperti China, mengoperasionalisasikan dominasi ekonomi melalui instrumen-instrumen sophisticated seperti conditional lending, structural adjustment programs, dan debt-trap diplomacy. Instrumentalisasi utang sebagai mekanisme kontrol ekonomi-politik merepresentasikan kontinuitas historis dari praktik-praktik eksploitatif era kolonial, namun dengan legitimasi yang diderivasikan dari diskursus pembangunan dan modernisasi.
Kemunculan China sebagai aktor hegemonik baru merepresentasikan shift paradigmatik dalam konfigurasi relasi ekonomi-politik global. Fenomena ini dapat dikonseptualisasikan sebagai manifestasi dari transisi hegemoni global—suatu proses di mana pusat akumulasi kapital mengalami reorientasi dari Atlantik ke Asia Timur. Belt and Road Initiative (BRI), sebagai manifestasi material dari ekspansi pengaruh ekonomi-politik China, merepresentasikan karakterisasikan sebagai "infrastructure-led globalization" suatu model pembangunan yang mengutilisasi infrastruktur sebagai instrumen untuk mengkonstruksi spheres of influence.
ADVERTISEMENT
China telah memberikan bantuan yang masif dan beragam kepada negara-negara Afrika dalam dua dekade terakhir, menciptakan hubungan ekonomi yang kompleks dan saling terkait. Melalui Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC), China telah mengucurkan bantuan dalam berbagai bentuk, mulai dari pinjaman lunak, hibah, hingga investasi langsung. Pada tahun 2021, nilai total investasi dan pinjaman China di Afrika mencapai lebih dari $153 miliar, menjadikannya salah satu mitra pembangunan terbesar di benua tersebut.
Bantuan infrastruktur menjadi fokus utama keterlibatan China di Afrika. Melalui Belt and Road Initiative (BRI), China telah membiayai dan membangun jaringan transportasi seperti kereta api (contohnya jalur kereta api Addis Ababa-Djibouti senilai $4,5 miliar), pelabuhan (seperti Pelabuhan Bagamoyo di Tanzania senilai $10 miliar), jalan raya, bandara, dan pembangkit listrik. Selain itu, China juga berinvestasi besar dalam pembangunan gedung pemerintahan, stadion olahraga, dan fasilitas publik lainnya yang sering disebut sebagai "trophy projects".
ADVERTISEMENT
Di sektor teknologi dan telekomunikasi, perusahaan-perusahaan China seperti Huawei dan ZTE telah mendominasi pembangunan infrastruktur digital Afrika. Mereka menyediakan peralatan jaringan 4G/5G, sistem keamanan perkotaan, dan solusi teknologi dengan nilai investasi mencapai puluhan miliar dolar. Hal ini menciptakan ketergantungan teknologi jangka panjang karena sistem dan peralatan yang terpasang membutuhkan pemeliharaan dan pembaruan berkelanjutan dari perusahaan-perusahaan China.
Pola ketergantungan yang tercipta bersifat multidimensional. Secara finansial, banyak negara Afrika terjebak dalam hutang yang signifikan kepada China. Sebagai contoh, Angola memiliki hutang lebih dari $25 miliar kepada China, sementara Kenya berhutang sekitar $8 miliar untuk berbagai proyek infrastruktur. Hutang-hutang ini seringkali dijamin dengan aset strategis atau komoditas alam, menciptakan risiko pengambilalihan aset jika terjadi gagal bayar.
ADVERTISEMENT
Dampak ketergantungan Afrika terhadap China dapat dilihat dalam beberapa aspek kritis. Pertama, ketergantungan ekonomi telah membatasi ruang gerak politik negara-negara Afrika dalam forum internasional. Mereka seringkali terpaksa mendukung posisi China dalam isu-isu global untuk menjaga hubungan ekonomi yang menguntungkan. Hal ini terlihat dari pola voting di PBB dan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan kontroversial China.
Kedua, ketergantungan teknologi membuat negara-negara Afrika rentan terhadap pengawasan dan kontrol data. Infrastruktur digital yang dibangun oleh perusahaan China berpotensi membuka akses terhadap data sensitif pemerintah dan masyarakat Afrika. Kekhawatiran ini semakin relevan mengingat hubungan erat antara perusahaan teknologi China dengan pemerintahnya.
Ketiga, pola perdagangan yang tidak seimbang telah menghambat industrialisasi Afrika. China mengimpor bahan mentah dari Afrika dan mengekspor produk manufaktur, menciptakan defisit perdagangan yang signifikan. Pada tahun 2019, defisit perdagangan Afrika dengan China mencapai $17,7 miliar. Pola ini menghambat pengembangan industri manufaktur lokal dan diversifikasi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Keempat, ketergantungan pada teknologi dan keahlian China telah menghambat pengembangan kapasitas lokal. Banyak proyek infrastruktur dikerjakan oleh kontraktor dan tenaga kerja dari China, membatasi transfer pengetahuan dan pengembangan keterampilan lokal. Hal ini menciptakan ketergantungan berkelanjutan pada expertise China untuk pemeliharaan dan pengoperasian infrastruktur.
Kelima, dominasi ekonomi China telah menciptakan persaingan tidak sehat di pasar lokal. Perusahaan-perusahaan China, dengan dukungan finansial yang kuat dari pemerintahnya, seringkali mematikan usaha lokal yang tidak mampu bersaing. Situasi ini diperparah oleh praktik dumping dan impor produk murah dari China yang membanjiri pasar Afrika.
Fenomena ketergantungan ini mencerminkan pola neo-kolonialisme modern yang lebih halus namun sama efektifnya dalam menciptakan hubungan asimetris antara China dan Afrika. Meskipun bantuan China telah berkontribusi pada pembangunan infrastruktur fisik, pola ketergantungan yang tercipta membutuhkan evaluasi kritis dan strategi pembangunan yang lebih berkelanjutan untuk masa depan Afrika.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi ketergantungan terhadap China, negara-negara Afrika perlu mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, diversifikasi mitra ekonomi dan investasi melalui kerjasama dengan berbagai negara dan blok ekonomi seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara berkembang lainnya. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada satu negara dan menciptakan posisi tawar yang lebih baik.
Kedua, penguatan kapasitas institusional dan tata kelola yang baik menjadi kunci. Negara-negara Afrika perlu memperkuat transparansi dalam negosiasi kontrak dan perjanjian investasi, serta membangun sistem hukum yang melindungi kepentingan nasional. Reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi juga penting untuk memastikan manfaat investasi asing benar-benar sampai ke masyarakat.
Ketiga, fokus pada pengembangan sumber daya manusia dan transfer teknologi. Kerjasama ekonomi harus mensyaratkan program pelatihan dan transfer pengetahuan yang substansial, sehingga dapat membangun kapasitas lokal dalam jangka panjang. Investasi dalam pendidikan, terutama di bidang sains dan teknologi, akan membantu Afrika mengembangkan kemampuan industrialisasi mandiri.
ADVERTISEMENT
Keempat, mendorong integrasi ekonomi regional melalui African Continental Free Trade Area (AfCFTA) dan inisiatif regional lainnya. Pasar bersama Afrika yang kuat akan menciptakan skala ekonomi yang lebih besar dan meningkatkan daya tawar kolektif dalam hubungan dengan mitra eksternal, termasuk China.
Kelima, mengembangkan industri bernilai tambah tinggi melalui kebijakan industrialisasi yang terencana. Afrika perlu beralih dari ekspor bahan mentah menuju pengolahan dan manufaktur, didukung oleh kebijakan yang mendorong investasi di sektor produktif dan transfer teknologi.
Transformasi hubungan Afrika-China dari pola neo-kolonial menuju kemitraan yang lebih setara membutuhkan komitmen jangka panjang dan strategi yang komprehensif. Meskipun investasi China telah berkontribusi pada pembangunan infrastruktur, Afrika perlu mengembangkan kemandirian ekonomi dan kapasitas institusional untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan berdaulat.
ADVERTISEMENT