Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Penundaan Pemilu 2024: Demokrasi atau Otoriter?
19 April 2022 22:05 WIB
Tulisan dari Chelsea Raphael Rajagukguk tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ajuan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) bukanlah suatu hal yang baru. Pada bulan November 2019, Johnny Gerard Plate selaku Menteri Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa jabatan presiden dapat diperpanjang dengan opsi menjadi 1x8 tahun, 3x4 tahun, atau 3x5 tahun. Gagasan tersebut pun kembali digaungkan pada tanggal 31 Januari 2022 ketika Bahlil Lahadalia selaku Menteri Investasi menyatakan bahwa kebijakan tersebut dapat menguntungkan para pengusaha dan investor , sehingga mampu meningkatkan perekonomian negara.
ADVERTISEMENT
Rencana penundaan Pemilu 2024—untuk satu atau dua tahun—mendapat respon positif dari Ketua Umum Partai Kebangsaan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Adapun alasan yang dijadikan dasar untuk membenarkan aksi tersebut adalah pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi, dan pembangunan ibu kota negara baru. Lantas, apakah penundaan Pemilu 2024 pantas untuk dilaksanakan?
Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 menyatakan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden hanya berlaku selama lima tahun. Tidak hanya itu, Pasal 169 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 pun melarang pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk menjabat selama tiga periode. Sehingga, penundaan Pemilu 2024 sesungguhnya tidak sejalan dengan konstitusi negara. Jika ditelaah dari sejarah konstitusi, seperangkat aturan tersebut dirancang bukan hanya untuk mengatur rakyat, tetapi juga untuk memberikan batasan bagi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, apabila Pemilu 2024 ditunda, Presiden Joko Widodo beserta Wakil Presiden Ma’ruf Amin akan kembali menjabat tanpa melaksanakan pemungutan suara. Jangka waktu satu atau dua tahun tidak sepantasnya dijadikan alasan pembenar karena Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung sebagai satu kali masa jabatan. Alhasil, hal tersebut tidak sejalan dengan Pasal 6A UUD NRI 1945 karena presiden dan wakil presiden—pada akhirnya—tidak dipilih langsung oleh rakyat. Keputusan tersebut akan mengancam demokrasi, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan menjadi peluang berkembangnya pemerintahan yang otoriter.
Sebagai konklusi, penundaan Pemilu 2024 bukanlah putusan yang bijak. Sebaik apapun prestasi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam membangun negara, konstitusi harus tetap dipatuhi dan hukum harus ditegakkan. Pada hakekatnya, negara demokrasi bukanlah hanya sekadar program pemerintah untuk membenahi negara, tetapi juga kewajiban masyarakat untuk berkontribusi bagi kemajuan negara. Percuma saja jika pemerintah hanya mampu menjamin pembangunan berkelanjutan ketika falsafah negara menjadi korban utama. Sebagaimana dikatakan oleh Robert Kennedy, pemilihan umum tidak hanya meningkatkan kita tentang hak, tetapi tanggung jawab kewarganegaraan dalam sebuah demokrasi.
ADVERTISEMENT