Mega Proyek Food Estate: Babak Baru Krisis Lingkungan di Indonesia

Etheldreda E L T Wongkar
Peneliti Lingkungan Hidup
Konten dari Pengguna
23 Desember 2020 14:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Etheldreda E L T Wongkar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: (IDXChannel,2020)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: (IDXChannel,2020)
ADVERTISEMENT
Merespon peringatan akan adanya potensi krisis pangan dari FAO serta didorong oleh upaya untuk pulih dari krisis pangan akibat wabah Covid-19, pemerintah Republik Indonesia mengakselerasi mega proyek food estate yang rencananya akan digarap di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur hingga Papua. Adapun mega proyek ini akan dilaksanakan dengan melakukan perubahan fungsi dan pelepasan kawasan hutan. Berangkat dari hal tersebut, maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 tahun 2020 (Permen LHK 24/2020) tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate.
ADVERTISEMENT
Dalam Permen tersebut kemudian diatur bahwa salah satu persyaratan teknis dari perubahan peruntukan kawasan hutan atau penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) adalah harus dilampirkannya KLHS atau KLHS Cepat sebagai salah satu instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam penerapan proyek food estate. Terdapat dua permasalahan dalam ketentuan ini. Pertama adalah tidak dijelaskannya pembagian proyek manakah yang menggunakan KLHS dan proyek mana yang menggunakan KLHS Cepat. Kedua, tidak ditemukannya definisi dari terminologi KLHS Cepat termasuk bagaimana mekanisme KLHS Cepat dalam proyek ini akan dijalankan.
Apabila KLHS Cepat yang dimaksud KLHK kemudian adalah metode cepat KLHS, maka peraturan rujukan dapat mengacu pada Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 660/5113/SJ dan 04/MENLH/12/2010 tentang Pelaksanaan KLHS RTRW dan RPJM Provinsi. Dalam surat edaran tersebut diperkenalkan tiga metode dalam pengkajian KLHS, yakni metode cepat (quick appraisal), penilaian semi detil (semi-detailed assessment) dan detil (KLHS sebagaimana diatur dalam UU 32/2009 dan Permen LHK 27/2009). Terkhusus pada metode cepat KLHS, diatur bahwa metode cepat KLHS diterapkan apabila dibutuhkan penilaian yang cepat terhadap K/R/P yang hendak dibangun, adanya keterbatasan waktu dan sumber daya, tekanan publik yang tinggi, tidak tersedianya data yang mencukupi dan situasi darurat.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya dicetuskannya metode KLHS Cepat merupakan sebuah permasalahan. Pasalnya, perumusan KLHS semacam itu berpotensi menghilangkan esensi dan signifikansi KLHS sebagai dasar pengambilan keputusan strategis dengan menjadikan KLHS sebagai proses teknokratik dan administratif semata. Lebih jauh, kriteria penerapan KLHS Cepat tidaklah relevan diterapkan pada proyek food estate. Hal ini didasarkan oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, bahwa sejatinya mega proyek dengan luasan yang demikian besar apalagi dilakukan dengan membuka lahan baru maupun mengalihfungsikan lahan yang sebelumnya digunakan untuk kegiatan lain bukanlah suatu proyek yang membutuhkan penilaian secara cepat dan tanpa panduan dan arah yang jelas. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menjabarkan bahwa pengkajian terhadap KLHS perlu dilakukan secara hati-hati, menyeluruh dan komprehensif guna mengetahui apakah kapasitas lingkungan yang ada mampu menampung proyek strategis yang hendak dibangun. Kedua, Indonesia sebagai negara agraris dengan sistem pertanian lokal yang berkelanjutan, jelas telah memiliki pengetahuan serta areal-areal persawahan yang tersebar di seluruh Indonesia yang kian lama semakin tergerus adanya industrialisasi. Sehingga solusi atas krisis pangan Indonesia adalah melalui penguatan potensi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas petani Indonesia, bukan dengan mencetuskan program pangan baru yang sarat keberpihakan pada kaum pemilik modal. Artinya proyek ini dirancang tidak didasarkan atas keterbatasan sumber daya, melainkan justru menambahkan aktor lain dalam perwujudan ketahanan pangan dengan membentuk jurang relasi kuasa yang besar bagi kedua aktor yang terlibat (petani dan pengusaha). Hal ini menjadikan petani berpotensi semakin tidak dapat bersaing dengan kekuatan modal yang didukung oleh pemerintah tersebut. Lebih dari itu keterbatasan waktu dan situasi darurat merupakan suatu hal yang dapat dikatakan mengada-ada karena proyek food estate sejatinya telah dirancang jauh sebelum wabah Covid-19 masuk di Indonesia. Selanjutnya, tidak ditemukan pula tekanan publik manapun terhadap berjalannya proyek food estate ini. Bahkan proyek ini banyak ditolak dari pihak masyarakat akibat tendensinya yang sangat berpihak pada kaum investor atau pemilik modal.
ADVERTISEMENT
Terakhir adalah mengenai ketidaktersediaan data yang memadai. Alasan penggantian metode detil KLHS dengan metode cepat KLHS yang kemudian juga diterapkan dalam proyek food estate disebabkan ketidaktersediaan data merupakan suatu bentuk kesesatan berpikir. Eksistensi KLHS difungsikan sebagai dasar pengkajian, pembentukan alternatif dan rekomendasi kebijakan tata ruang dan pembangunan untuk menjamin keberlanjutan. Sebagai sebuah dokumen kajian ilmiah, maka representasi data menjadi penting untuk pengkaji dapat sampai pada kesimpulan apakah suatu proyek dapat dijalankan atau tidak dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan di lokasi tersebut. Ketidaktersediaan data seharusnya menjadi alasan mendasar tidak diberikannya keputusan atas suatu proyek tertentu.
Dalam kaidah hukum lingkungan, kebijakan pengkajian menggunakan metode cepat KLHS, merupakan pelanggaran sistematis terhadap prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang menghendaki bahwa manakala terdapat ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pemerintah tidak boleh memberikan akses legal terhadap usaha dan/atau kegiatan tersebut untuk dapat berjalan, sebab terdapat potensi kerugian yang belum dapat dipahami. Sehingga jelas bahwa pemilihan metode cepat KLHS sebagai instrumen pengkaji dampak lingkungan hidup untuk program food estate tidak akan dapat berfungsi untuk menjamin keberlanjutan fungsi lahan dan kelestarian lingkungan. Mengingat dari segi eksistensinya, metode cepat KLHS sendiri merupakan bentuk reduksi sistematis terhadap esensi dari KLHS itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Terlebih, perlu dipahami bahwa dalam program food estate, lokasi telah terlebih dahulu ditentukan baru kemudian pengkajian lingkungan dilakukan. Penerbitan metode cepat KLHS dan pengaplikasiannya pada program food estate merupakan kekeliruan besar dan merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam memahami esensi dari KLHS sebagai kajian sistematis penentu apakah suatu program atau proyek dapat dilakukan dan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan di suatu tempat. Logika terbalik dimana penentuan lokasi lebih dahulu dilakukan dan disusul oleh pengkajian KLHS memiliki corak seakan KLHS hanya dijadikan sebagai kajian formalitas belaka untuk proyek yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan rangkaian pemikiran sebagaimana dipaparkan diatas, maka KLHS sebagai instrumen pencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan sejak awal perencanaan K/R/P akan kehilangan esensinya dan berakibat pada ketertidakhindaran akan kerusakan lingkungan hidup dikemudian hari.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, apabila program food estate tetap hendak terus dijalankan, setidaknya dalam perumusan program food estate, instrumen pengendalian lingkungan harus dapat merujuk pada KLHS Detil sebagaimana diatur dalam UU PPLH dan Permen LHK 27/2009 dan bukan pada metode cepat KLHS sebagaimana dikehendaki dalam Permen LHK 24/2020.