Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
AI sebagai Hakim, Dapat Hilangkan Putusan Pengadilan yang Bias?
19 Januari 2023 9:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Cheryl Patriana Yuswar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tidak hanya negara maju saja, tetapi negara berkembang juga telah memacu perkembangan teknologi pada masyarakatnya masing-masing, sehingga teknologi mendapatkan kedudukan yang penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Konvergensi teknologi dan globalisasi telah melahirkan Revolusi Industri 4.0. Konvergensi tersebut dimotori oleh beberapa perkembangan teknologi seperti Internet of Things (IoT), blockchain, artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, big data, cloud computing, 3D printing.
Tentang Artificial Intelligence (AI)
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (A.I.) adalah istilah yang kerap diidentikkan dengan kemampuan berperilaku seperti manusia. Kecerdasan buatan perlahan-lahan telah dimanfaatkan untuk menggantikan peran manusia dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu. Walaupun perkembangannya terasa secara masif sejak beberapa tahun ke belakang, sejarah membuktikan bahwa kecerdasan buatan telah menjadi lingkup penelitian para ahli jauh sebelum internet berkembang dan menyentuh segala lini kehidupan kita seperti hari ini.
ADVERTISEMENT
Accenture memprediksi pada tahun 2035, AI akan menjadi alat berpengaruh yang meningkatkan 40% produktivitas bisnis dan meningkatkan 38% profitabilitas bisnis. “The Manufacturer: Annual Manufacturing Report 2018” melaporkan 92% eksekutif di industri manufaktur meyakini AI dan robotik dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Di Indonesia, industri yang memanfaatkan AI sebagai penggerak adalah perbankan, telekomunikasi, dunia kesehatan, dan e-commerce. Agustus 2020, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) meluncurkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial RI (Stranas KA) tahun 2020-2045. Stranas KA memprioritaskan pengembangan AI di bidang reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, ketahanan pangan, serta smart city.
AI Pendobrak Reformasi Penegakan Hukum
AI diperlakukan sebagai subjek hukum bila mengacu pada berbagai negara, seperti Negara Arab Saudi pada tahun 2017 yang mengumumkan bahwa robot cantik Sofia diberikan kewarganegaraan Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan Negara Jepang pada tahun 2017 memberikan izin tinggal kepada robot Shibuya Mirai berdasarkan pada peraturan khusus. Namun, tindakan ini tentunya bertentangan dengan undang-undang tentang prosedur izin tinggal di Jepang yang berupa peraturan khusus (special regulation) terkait izin tinggal yang hanya diperuntukkan kepada spesialis asing yang bekerja di perusahaan Jepang, peserta dalam program reunifikasi keluarga, pengusaha dan investor yang melakukan bisnis di Jepang, ilmuwan, seniman dan atlet tingkat dunia, orang asing yang menikah dengan warga negara Jepang, siswa asing ketika belajar di Jepang, warga negara asing dalam kasus yang khusus serta pemberian kewarganegaraan di Jepang ini telah diatur melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Jepang.
Demikian halnya dengan Negara Rusia Pada tahun 2015, Parlemen Rusia telah membuat rancangan Undang-Undang Grishin. Rancangan undang-undang tersebut melakukan amandemen pada ketentuan Kode Sipil Federasi Rusia, yang memberikan tanggung jawab hukum kepada pengembang robot, operator, atau pabrikan, serta aturan baru tersebut akan mencakup isu tentang perwakilan robot di pengadilan. Selain itu, terdapat pula konvensi hukum terkait model robotika dan kecerdasan buatan yang memperkenalkan aturan tentang cara membuat dan menggunakan robot.
ADVERTISEMENT
Afrika Selatan telah bergerak melampaui itu semua. Pada Juli 2021, Afrika Selatan menjadi negara pertama di dunia yang menyetujui AI sebagai penemu. Di waktu yang berdekatan, Pengadilan Federal Australia pun mengambil sisi yang sama dengan Afrika Selatan melalui putusan
AI dalam dunia hukum bukanlah hal baru, sebab dampak dari teknologi kecerdasan buatan terlihat pada mata kuliah di sekolah-sekolah hukum, di mana terdapat penekanan baru terhadap pembelajaran dengan menggunakan alat komputerisasi, dan semakin banyak startup legaltech, asosiasi legaltech, serta konferensi legaltech yang diselenggarakan.
Selain itu, beberapa kampus hukum di Amerika dan Eropa telah membuat pusat penelitian dan pelatihan terkait “hukum dan teknologi kecerdasan buatan”, telah mulai dikembangkan pula pengacara robot (robot lawyer) dan robot yang mampu menghasilkan putusan hukum (robot judge). Lantas mungkinkah AI sebagai hakim di pengadilan? Lalu, apakah masyarakat dunia siap dengan kehadiran AI sebagai hakim?
ADVERTISEMENT
Fenomena AI sebagai Hakim
Estonia menjadi negara yang menempatkan AI sebagai hakim untuk upaya efisiensi layanan pemerintah dan membersihkan tumpukan kasus di meja hakim. Pemerintah Estonia menggunakan hakim AI untuk mengadili sengketa klaim kecil seperti klaim kontrak di bawah 7,000 Euro. Penerapan sistem AI untuk memproses klaim kecil dianggap efisien karena tidak melibatkan diskresi.
Sebagai perbandingan, China memiliki robot bernama Xiaofa, yang menawarkan nasihat hukum dan membantu masyarakat memahami terminologi hukum. Xiaofa mengetahui jawaban lebih dari 40.000 pertanyaan litigasi dan dapat menangani 30.000 masalah hukum.
China menyebar lebih dari 100 robot di pengadilan seluruh negeri karena mengejar transisi menuju smart justice. Xiaofa ini dipergunakan untuk mengambil sejarah kasus dan putusan masa lalu guna mengurangi beban kerja pejabat pengadilan. Sejumlah robot memiliki spesialisasi, seperti hukum komersial atau hukum perburuhan. Kondisi 120.000 hakim China yang menangani 19 juta kasus per tahun semakin mendorong sistem hukum di pengadilan China beralih ke AI.
ADVERTISEMENT
“Penerapan kecerdasan buatan di ranah peradilan dapat memberi hakim sumber daya yang melimpah, tetapi AI tidak dapat menggantikan keahlian para hakim,” kata Zhou Qiang, Ketua Mahkamah Agung China.
Dapatkah AI Mengeliminasi Putusan Pengadilan yang Bias?
Pro-AI mengatakan AI sangat mungkin mengurangi bias yang dibuat oleh manusia, dengan mengambil pendekatan berbasis data. Namun, yang kontra-AI berpendapat AI sebagai sebuah teknologi dan tidak memiliki emosi, tidak mengenal belas kasih yang masih diterapkan oleh hakim manusia.
Pakar hukum mengatakan kekhawatiran utama AI sebagai peran sentral di pengadilan adalah bahwa hal itu melanggar persyaratan dasar keadilan seperti keadilan terbuka, keadilan prosedural, dan ketidakberpihakan. Profesor Michael Legg dari University of New South Wales menyatakan, ”Jika AI tidak dapat diuji untuk beroperasi secara adil dan transparan, maka AI tidak dapat digunakan sebagai hakim. Tidak dibenarkan mengorbankan persyaratan inti keadilan.”
ADVERTISEMENT
AI masih dimungkinkan untuk mengadili sengketa klaim dengan batasan-batasan tertentu, tapi tidak dengan kasus kompleks. Sejauh ini, penerapan AI di ranah pengadilan negara lain hanya sebatas membantu hakim, mengurangi beban kerja para hakim. Masih jauh jalan AI menggantikan peran hakim seutuhnya di ranah pengadilan.