Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perlindungan Seni Tradisional oleh Sistem HAKI menurut Teori Sistem Hukum
20 September 2023 15:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Cheryl Patriana Yuswar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektivitas atau keberhasilan penegakan hukum tergantung pada 3 (tiga) unsur dalam suatu sistem hukum, yakni struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of the law), dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertama, struktur suatu sistem hukum dapat ditinjau dari jumlah para hakim, yurisdiksi pengadilan (termasuk kewenangan memeriksa jenis kasus tertentu), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya, serta orang-orang yang terkait dengan pengadilan. Struktur juga dapat dimaknai bagaimana badan legislatif ditata, hal-hal yang boleh dan dilarang untuk dilakukan oleh presiden, prosedur yang diikuti oleh kepolisian, dan sebagainya. Oleh karenanya, struktur terdiri dari lembaga hukum yang ditujukan untuk pelaksanaan perangkat hukum yang ada.
Kedua, substansi hukum itu perihal peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki kekuatan mengikat serta menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Lebih lanjut, ketiga, budaya hukum menurut Friedman adalah sikap manusia, termasuk budaya hukum aparat penegak hukum, terhadap hukum dan sistem hukum. Penataan struktur hukum yang sedemikian rupa dilengkapi dengan kualitas substansi hukum yang mumpuni akan menjadi sia-sia tanpa dukungan budaya hukum pihak-pihak yang terlibat dalam sistem hukum itu sendiri dikarenakan penegakan hukum menjadi tidak efektif pelaksanaannya.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana teori Friedman ini dihubungkan dengan sistem Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia?
Para sarjana hukum di Indonesia mengetahui bahwa sistem HAKI yang ada saat ini di Bumi Pertiwi adalah hasil adopsi sistem asing yang kemudian harus “ditelan mentah-mentah” oleh masyarakat kita. Sebagai produk yang diimpor dari luar, wajar rasanya jika saat ini dan di masa mendatang kita masih akan menemukan pergesekan dan permasalahan penegakan HAKI.
Alasan pertama adalah mulai dari masyarakat awam hingga penegak hukum tanah air masih “meraba” dan berusaha memahami apa itu HAKI. Kebingungan dan ketidaktahuan masyarakat terkait HAKI mungkin akan membuat Indonesia dianggap lalai menegakkan HAKI di mata para negara maju. Tapi hal itu tidak akan seberbahaya ketidakpahaman aparat penegak hukum tentang HAKI.
ADVERTISEMENT
Kurangnya pemahaman dan kesalahan penerapan HAKI yang dilakukan oleh aparat penegak hukum akan mencederai rasa keadilan di tengah masyarakat. Oleh karenanya, penting untuk membuat penegak hukum di tanah air paham definisi, konsep, jenis-jenis, objek perlindungan, dan cara melaksanakan penegakan hukum HAKI.
Alasan kedua, nuansa individualistik yang begitu kentara dalam sistem HAKI tidaklah sejalan dengan semangat budaya Timur bangsa kita yang masih menjunjung kepemilikan komunal. Hal ini dapat dilihat jika kita berusaha melindungi seni tradisional seperti rumah adat, tari daerah, lagu, dan cerita rakyat dengan rezim HAKI.
Ketika sistem HAKI, khususnya hak cipta, yang menekankan pada kepemilikan individual diterapkan untuk melindungi ekspresi budaya atau seni tradisional, maka kemungkinan akan menemui hambatan dan tantangan. Hal ini diamini oleh banyak sarjana hukum yang membahas perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional di bawah rezim HAKI.
Alasan ketiga, masih dipaksakannya penggunaan rezim HAKI konvensional yang individualistik untuk melindungi ekspresi budaya tradisional yang bersifat komunal. Pada kesempatan ini, diharapkan Pemerintah dan tim penyusun peraturan perundang-undangan mempertimbangkan dan menyusun sebuah sistem sui generis untuk melindungi seni tradisional atau membahas kembali Rancangan Undang-undang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU PTEBT) yang sudah lama terkatung-katung tanpa kabar.
ADVERTISEMENT
Kalaupun Pemerintah melanjutkan pembahasan RUU PTEBT yang telah “dingin”. Pemerintah perlu meneliti perkembangan terkini perihal ekspresi budaya tradisional untuk dapat menghasilkan substansi hukum yang bukan hanya indah di atas kertas tapi juga bisa dilaksanakan dan ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksana.
Penguatan 3 (tiga) unsur sistem hukum sebagaimana dijelaskan di atas ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum pada ekspresi budaya tradisional yang Indonesia miliki. Kita harus mulai serius membenahi upaya perlindungan hukum pada ekspresi budaya tradisional Indonesia.
Adapun alasan pembenahan ini karena pada seni dan budaya tradisional tersebut terkandung akar dan jati diri bangsa kita. Jika kita lalai melindungi warisan budaya bangsa ini, maka kita harus siap mendulang pemuda-pemudi yang tidak lagi mengenal karakter bangsa dan kebesaran nenek moyangnya di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Alasan kedua, terdapat potensi ekonomi yang tidak dapat dinafikan dari seni tradisional suku-suku Indonesia. Apabila seni tradisional Indonesia dianggap tidak berharga, tentu tidak akan ada bangsa asing yang mengakui dan memakai seni tradisional kita, mulai dari lagu sampai dengan tari tradisional Indonesia.
Kenyataannya, histori memperlihatkan bagaimana negara lain mengaku seolah-olah kesenian tradisional kita adalah milik mereka. Hal itu menandakan ada potensi berharga dalam kesenian kita yang tidak disadari oleh bangsa sendiri. Oleh karenanya, agar hal di atas tidak menjadi preseden berulang, diperlukan koordinasi setiap komponen bangsa dari berbagai sector guna melindungi budaya tradisional milik suku-suku di Indonesia.