Konten dari Pengguna

Policy Mix: Solusi untuk Menjaga Stabilitas dan Pemulihan Ekonomi?

Chesilya Putri Wana Ranty
Mahasiswa jurusan ekonomi pembangunan di Universitas Negeri Malang
31 Oktober 2022 21:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 3 September 2023 21:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chesilya Putri Wana Ranty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Exit strategy merupakan strategi keluar yang disiapkan oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas dan juga pemulihan ekonomi pasca-Quantitative Easing, yaitu pelonggaran kebijakan moneter yang tidak konvensional melalui pelonggaran kuantitatif. Jumlah uang beredar ditingkatkan oleh bank sentral dengan membeli sekuritas jangka panjang dari bank komersial dan lembaga swasta lainnya atau berbagai aset keuangan dari pasar terbuka.
ADVERTISEMENT
Untuk menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi, exit strategy harus dilaksanakan dengan komunikasi dan rencana yang baik. Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia, menjelaskan hal ini dalam Seminar Internasional G20 tentang “Safeguarding Growth Momentum.” Lanjutnya, sinergi bauran kebijakan dalam menghadapi ketidakpastian pembangunan yang tinggi mendukung tanda-tanda positif perekonomian Indonesia.
Terlepas dari tantangan yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,2-4,0% pada tahun 2021 dan 4,7-5,5% pada tahun 2022, didukung oleh konsumsi swasta, investasi, dan ekspor. Bank Indonesia dengan pemerintah dan deputi komite sistem keuangan di bawah bauran kebijakan bank Indonesia menyebutkan kerangka policy mix atau kebijakan terpadu sebagai kunci untuk menghadapi tantangan stabilitas.
Kerangka kebijakan terpadu Bank Indonesia mengarahkan tujuan stabilitas harga dan dukungan terhadap stabilitas sistem keuangan melalui kombinasi langkah-langkah kebijakan, termasuk aliran modal dan suku bunga. Dukungan pemulihan ekonomi akan diberikan melalui kebijakan makroprudensial, perluasan pasar uang, perluasan sistem pembayaran, dan penciptaan ekonomi keuangan yang inklusif dan ramah lingkungan. Instrumen kebijakan lainnya (makroprudensial, pengembangan pasar keuangan, ekonomi keuangan inklusif dan hijau, dan sistem pembayaran) akan terus diarahkan untuk:
ADVERTISEMENT
1. Dalam rangka menghidupkan kembali penyaluran kredit perbankan ke sektor korporasi, mendorong pemulihan ekonomi nasional, dan menjaga stabilitas sistem keuangan, pada tahun 2022 akan diperkuat sikap kebijakan makroprudensial yang lebih akomodatif.
2. Mempercepat digitalisasi sistem pembayaran untuk mendorong pemulihan ekonomi dan ekonomi dan keuangan yang inklusif dan efektif, khususnya dari sisi konsumsi rumah tangga.
3. Mendukung stabilitas nilai tukar rupiah, mempercepat perluasan pasar valuta asing, memperluas ketersediaan instrumen lindung nilai, serta mendorong perdagangan dan investasi internasional.
4. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan pemberdayaan masyarakat berpenghasilan rendah untuk meningkatkan UMKM dan usaha syariah, serta penguatan kebijakan hijau dan kebijakan kelembagaan Bank Indonesia untuk mendukung transmisi ke rendah ekonomi karbon, memerlukan kebijakan ekonomi dan keuangan yang inklusif dan ramah lingkungan, terutama di sisi permintaan kredit.
ADVERTISEMENT
5. Memperluas kerja sama dengan bank sentral lain dan organisasi internasional, mendorong perdagangan dan investasi, dan memastikan pencapaian agenda prioritas di jalur keuangan adalah semua metode penguatan kebijakan internasional.
Bank Indonesia 7 days Repo Rate (BI7DRR)
Sebagai salah satu bagian dari policy mix atau kebijakan terpadu, Bank Indonesia mencuri start dengan menetapkan kenaikan BI7DRR lebih awal dengan alasan suku bunga 7DRR akan naik untuk mengantisipasi perubahan eksternal yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Hal ini dinilai sangat baik karena dapat menciptakan kesan pasar yang positif dan menanamkan kepercayaan publik bahwa semua isu yang ada saat ini masih terkendali.
Titik fokus dalam penetapan kebijakan ini adalah agar nilai tukar rupiah tidak semakin merosot dan berbahaya bagi perekonomian dalam negeri. Mengingat dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah bisa menyebabkan inflasi yang tidak terkendali dan mencekik masyarakat utamanya kelas menengah ke bawah. Beberapa saran penulis untuk langkah yang bisa dilakukan adalah :
ADVERTISEMENT
1. Pertumbuhan sektor industri barang dan jasa lebih cepat.. Industri terutama yang berorientasi pada ekspor memiliki peranan yang sangat besar terhadap penguatan nilai rupiah. Kita tidak bisa selalu mengandalkan kapasitas devisa dalam jangka panjang mengingat jumlahnya yang terbatas. Dalam jangka panjang kinerja transaksi perdagangan barang dan jasa ke luar negeri (ekspor) menjadi salah satu batu pegangan untuk perekonomian. Oleh karena itu, ditingkatkannya daya saing ekspor barang dan jasa dengan menambah kualitas produk, bisa juga dengan memberi perhatian pada tingkat efisiensi produk yang diolah atau diproduksi. Karena selama ini komoditas ekspor kita masih didominasi dengan komoditas barang mentah yang bernilai tambah rendah.
2. Pemerintah harus menyiapkan dukungan yang intensif terhadap sektor aktual, khususnya industri prospektif, melalui pajak atau regulasi lainnya. Dukungan lebih perlu diberikan kepada industri dengan target pasar yang besar, terutama untuk mendorong ekspor. Penulis yakin, industri yang diberi dukungan intensif yang targeted akan menumbuhkan semangat dan daya beli masyarakat juga.
ADVERTISEMENT
3. Pengelolaan dan koordinasi yang kuat melalui instansi bertugas. Misalnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang membawahi sejumlah kementerian teknis harus terus bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk mengembangkan kebijakan ekonomi yang inovatif.
Dari semua paparan di atas, exit strategy untuk menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi yang dipilih oleh Bank Indonesia yaitu dengan menyusun kebijakan terpadu merupakan pilihan terbaik. Instrumen kebijakan moneter memang bisa mencapai stabilitas harga dan pemulihan ekonomi, tetapi hal ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar jika dibandingkan dengan gabungan kebijakan, apalagi dengan kebijakan makroprudensial yang cukup efektif dalam menjaga volatilitas nilai tukar dan stabilitas.
Namun, meskipun banyak sekali kemungkinan - kemungkinan positif yang terjadi jika memang policy mix atau kebijakan terpadu yang disusun oleh bank sentral ini berhasil untuk diterapkan secara maksimal, tidak menutup kemungkinan ada beberapa hal yang menjadi faktor eksternal yang bisa saja mengurangi pemaksimalan hasil kebijakan ini. Mengingat, kondisi perekonomian dunia saat ini sedang memasuki fase ketidakpastian, apalagi nyaringnya isu – isu mengenai prediksi terjadinya resesi ekonomi global pada tahun 2023 terus menghantui seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengelolaan utang luar negeri pemerintah Indonesia dan aliran keluar masuk modal juga harus diperhatikan bilamana ingin memulihkan perekonomian berkelanjutan. Karena dengan adanya prediksi krisis yang dalam waktu dekat akan terjadi, tidak menutup kemungkinan partner-partner kerja sama pemerintah Indonesia juga terkena imbas dari masalah ini. Cina misalnya, yang merupakan salah satu partner kerja sama terbesar negara kita, jika China mengalami resesi maka perekonomian Indonesia juga akan mengalami penurunan terutama dari sisi investasi. Tetapi hal ini bukan alasan utama untuk tidak memaksimalkan jalannya kebijakan terpadu yang sudah disusun oleh bank sentral.