Motif dan Hukum Pidana

Chessa Ario Jani Purnomo
Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
23 Agustus 2022 11:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chessa Ario Jani Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gamabr: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gamabr: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia digegerkan atas sejumlah kasus hukum antara lain kasus Brigadir J yang mampu menyita perhatian publik. Salah satu perhatian publik yang mendapat sorotan cukup tajam yakni tentang motif FS dalam kasus Brigadir J itu.
ADVERTISEMENT
Jika kita berbicara motif dan hukum pidana dapat dilihat dari sisi pembentukan KUHP, penegakan hukum pidana (pembuktian pidana) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pertama, soal motif dalam bingkai kriminalisasi/legislasi. Jika kita melihat motif sebagai syarat bagi tindak pidana (pembunuhan, perkosaan, pencurian dan lain-lain) dalam sejarah pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Belanda yang kemudian menjadi KUHP di Indonesia maka tak akan ditemukan motif sebagai syarat tindak pidana.
Yang terjadi adalah perdebatan tentang pentingnya kata-kata seperti "sengaja","dengan sengaja", "mengetahui" maupun dengan "tujuan" meskipun tidak ada definisi definitif atas kata-kata tersebut dalam atauran umum dan rumusan tindak pidana di KUHP sehingga hakim pidana kelak mesti menilai situasi kokret serta fakta-fakta atas kasus yang dihadapkan kepadanya dalam persidangan pidana. Sampai titik ini, FS diduga melanggar Pasal 340 KUHP yang jika dicermati kata per kata maka terdapat kata "sengaja" itu. Bukan motif.
ADVERTISEMENT
Pentingnya wujud kata-kata tersebut di atas adalah menggambarkan kehendak atau pengetahuan yang mesti dianggap ada dalam hubungan perbuatan, akibat atau hubungan keduanya yang dilakukan oleh setiap orang yang sehingga bertentangan dengan undang-undang termasuk bentrok dengan nilai-nilai sosial dan moral masyarakat (social or moral evil). Hal ini berarti bahwa pembentuk KUHP ingin mencegah terjadi macam-macam kejahatan melalui ancaman hukuman.
Kedua, motif dalam bingkai pembuktian pidana. Benang merah soal motif dalam literatur hukum pidana bahwa ia terletak pada aspek psikologis (mental element) yang menggambarkan kesalahan/tingkat kesalahan dan berguna bagi syarat lain untuk menghukum dan merumuskan tujuan penghukuman oleh hakim pidana. Jadi, hakim pidana dapat menilai kekejian pelaku kejahatan yang melanggar KUHP dilihat dari kesalahan yang dapat dinilai oleh hukum pidana (objektif).
ADVERTISEMENT
Ketiga, motif dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal 54 ayat (1) huruf b RKUHP versi tahun 2022 bahwa motif dan tujuan diformulasikan sebagai pedoman bagi hakim pidana dalam mempertimbangkan penghukuman. Sementara KUHP tak demikian. Artinya, KUHP dan RKUHP berbeda. Dan perbedaan tersebut, menurut penulis signifikan bagi hakim pidana kedepan dimana motif (latar belakang) dan tujuan atas tindak pidana oleh pelaku bisa saja memperberat hukuman. Begitu juga sebaliknya, hakim pidana dapat mempertimbangkan motif yang tak penting atau bahkan tak signifikan atas tindak pidana yang dilakukan sehingga hukuman menjadi ringan. Lebih dari itu, motif dan tujuan dalam RKUHP konsisten dengan asas kesalahan dan konsep pertanggungjawaban pidana yang memisahkan pengertian tindak pidana. Artinya, RKUHP menganut teori dualistis.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian kalangan barangkali motif FS dalam kasus Brigadir J penting sehingga didesak untuk dibuka kepada publik. Kendati demikian, pihak Mabes Polri menyatakan tak akan membuka motif FS. Hal ini terasa pas karena motif dan tujuan perlu dipertimbangkan atau diharapkan muncul dalam pemeriksaan pembuktian pidana dihadapan sidang pengadilan pidana. Jadi, kita mesti menahan diri dan menghormati proses hukum pidana sebagaimana mestinya.