Konten dari Pengguna

Penghasilan Dasar Universal dan Kebijakan Kenaikan Tarif PPN 12%

Chessa Ario Jani Purnomo
Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang
25 Desember 2024 16:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chessa Ario Jani Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Semua warga dunia menanti tahun baru 2025 dan lazim diasosiasikan sebagai harapan baru. Tak terkecuali bagi warga negara Indonesia. Akan tetapi, wajib pajak Indonesia akan menghadapi pemberlakuan tarif baru pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12%. Besaran kenaikan tersebut bahkan sempat menjadi trending topic di sosial media X pada November lalu oleh karena apakah kebijakan kenaikan tarif PPN 12% dirasa memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat atau tambahan beban untuk rakyat sebesar Rp 4,2 juta per tahun seperti yang diwartakan oleh kumparan.
ADVERTISEMENT
Secara hukum pada 1 Januari 2025 sebagaimana ketentuan Pasal 4 angka 2 dalam BAB IV UU 7 Tahun 2021 (mengubah ketentuan Pasal 7 UU No. 42 tahun 2009) adalah waktu berlakunya kenaikan tarif PPN sebesar 12%. UU No. 7 Tahun 2021 sebagai umbrella law perpajakan kita, terkait klaster PPN tidak cukup dikatakan berkepastian hukum karena pengadopsian kebijakan close list system berupa daftar barang/jasa yang tidak kena PPN dihapus.
Dihapusnya norma hukum yang penulis maksud sebagaimana dahulu diatur berdasarkan ketentuan Pasal 4A ayat (2) UU No. 42 Tahun 2009 berbunyi “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.” Sampai sini, Menteri Keuangan secara teknis-praktis berperan sebagai “penafsir tunggal” untuk menyusun daftar komoditi yang tidak kena PPN melalui peraturan menteri. Otomatis ketentuan Pasal 4 angka 2 dalam BAB IV UU 7 Tahun 2021 kini bersifat open list system.
ADVERTISEMENT
Kemudian, masyarakat dan warganet tidak perlu khawatir lagi. Selesai? Perlu diingat, original intent UU No. 7 Tahun 2021 antara lain hendak mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. Pada titik ini sangat mungkin terjadi trade-off dalam penyusunan kebijakan PPN itu.
Sehubungan dengan tujuan tersebut, penulis menyodorkan pertanyaan apakah tersedia alternatif kebijakan bagi kita atas aturan hukum kenaikan PPN 12% tahun 2025? Tulisan ini hendak menyoal kebijakan kenaikan tarif PPN itu dalam perspektif hak asasi manusia c.q. penghasilan dasar universal (universal basic income) sebagai konsekuensi perbuatan negara menarik sumber daya dari individu yang secara ideal mesti dikembalikan lagi kepada masyarakat.
Teori PPN dan Nalar Keadilan
Argumentasi teoritis PPN menyatakan bahwa beban PPN (dalam arti administratif dan keuangan) berada pada sisi wajib pajak atas peristiwa/perbuatan konsumsi barang/jasa umum tanpa membedakan penghasilan yang bersangkutan. Alias PPN menyasar semua kalangan baik orang kaya atau orang miskin. Lebih jauh, makna teoritis konsumsi dalam PPN tidak hanya “pembelian” tetapi lebih kepada pengeluaran/penggunaan uang atas barang baik untuk konsumsi dan barang yang akan diolah lebih lanjut (Haula, Irianto & Putranti, 2011). Oleh karena itu, sering dikatakan PPN adalah pajak objektif dan netral. Isu netralitas PPN diasumsikan secara teoritis atas kemampuan membeli atau konsumsi wajib pajak, bukan produksi.
ADVERTISEMENT
Contoh, jika A membeli barang XYZ kepada C untuk konsumsi dan D membeli barang HIJ untuk didistribusikan atau diperjualbelikan kepada Q, maka A dan D dikenakan PPN. A dan D, menurut makna teoritis dan contoh di atas memiliki perbedaan signifikan dan karenanya tidak adil. Pada titik ini, penulis teringat kutipan berikut Kusumandaru (2021) dengan menyadur Marx: “Jika seorang petani Perancis hendak menggambarkan Sang Iblis, dia akan menggambarkannya sebagai penarik pajak.” Seharusnya setiap nilai tambah (value added) yang muncul dalam komoditi melalui kerja-kerja manusia–sebagaimana yang dilakukan oleh D–diberi insentif, bukan dipajaki. Sehingga tantangan yang bersifat fundamental bagi negara adalah bagaimana cara negara menarik sumber daya dari individu tanpa menginjak-injak hak-hak individu antara lain hak atas kepemilikan.
ADVERTISEMENT
Penghasilan Dasar Universal dan Kebijakan Negative Income Tax
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak Ekosob) dalam kerangka normatif (kovenan internasional dan protokol Hak Ekosob) mewajibkan negara pihak untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan mengembangkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang antara lain hak atas upah yang adil, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan maupun hak atas standar hidup layak (pangan, pakaian dan tempat tinggal).
Kerangka normatif Hak Ekosob tentang kewajiban negara dalam level implementasi cenderung dilakukan “minimal” dan menyesuaikan kondisi sumber daya suatu negara pihak untuk mewujudkan hak-hak itu misalnya mengenai pendanaan. Kewajiban pemenuhan Hak Ekosob oleh negara membutuhkan dana yang ditarik dari masyarakat. Oleh karena itu, pajak merupakan conditio sine qua non atas pelayanan yang diberikan negara kepada masyarakat (Saputra, 2021).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, penerimaan pajak itu umumnya dikonversi melalui bantuan sosial, subsidi kebutuhan pokok atau insentif bagi pelaku UMKM yang bersifat parsial atau fragmented. Jika tarif PPN naik maka harga barang/jasa dan inflasi naik. Sementara, pendapatan individu tidak naik dan/atau naik tidak signifikan. Dampaknya antara lain konsumsi rumah tangga merosot dan tertekannya UMKM.
Padahal negara sebagai entitas kolektif yang menghasilkan surplus dapat membuat kebijakan penghasilan dasar universal alias universal basic income/UBI bagi individu. Menurut Prasetyo (2020) syarat UBI yaitu tunai, periodik, individual, tanpa syarat dan universal. Sehubungan dengan hal ini, menurut van Parijs dan Vanderborght (2019) dalam Book chapter Taxation, Human Rights and Universal Basic Income menyatakan porsi UBI sebesar 25 persen dari PDB per kapita akan menghasilkan tingkat pajak yang jauh lebih tinggi karena kebutuhan untuk terus mendanai pengeluaran publik lainnya. Jadi ada simbiosis mutualisme.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, isu kenaikan tarif PPN 12% dijawab melalui jaminan sosial dan/atau perlindungan sosial. Sementara, UBI selalu diasosiasikan dengan pendanaan yang mahal dari BPJS atau bentuk bantuan sosial lainnya yang akan menyedot APBN secara signifikan. UBI adalah Hak Ekosob itu sendiri dan sewajarnya pemerintah dapat mengadopsi alternatif kebijakan berupa UBI sebagai konsekuensi perbuatan negara menarik sumber daya dari individu sebagaimana pernyataan logika perpajakan tentang pengembalian pajak oleh pemerintah kepada wajib pajak dan masyarakat. Dengan demikian, penerimaan pajak melalui kenaikan tarif PPN 12% kelak tidak boleh digunakan untuk membayar utang atau bunga utang negara (isu prioritas pengeluaran) sebagaimana dikatakan beberapa kalangan dalam berita dan informasi yang beredar di internet.