Cerita dari Penjara: Mencintai Orang Lain untuk Mencintai Diri Sendiri

chevy ning suyudi
ASN bekerja di Bappeda Kota Kediri
Konten dari Pengguna
20 Maret 2023 20:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari chevy ning suyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi remaja yang masuk penjara. Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi remaja yang masuk penjara. Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Namanya Binto, remaja nakal yang hidup di belantara kota Jakarta. Berbeda dengan si ganteng Bento, yang diceritakan Iwan Fals dalam lagunya sebagai bos eksekutif dan tokoh papan atas. Untuk urusan aksi tipu-tipu, lobi, dan upeti, wow jagonya.
ADVERTISEMENT
Di mata Bento maling kelas teri, bandit kelas coro, itu kan tong sampah. Saking jagonya seorang Bento, dia menawarkan, “Siapa yang mau berguru, datang padaku!”
Dengan ambisi yang besar, Binto benar-benar menjadikan Bento sebagai guru. Meski dia tidak ganteng, apalagi bos. Dia cuma anak tukang bangunan. Perawakannya kurus berotot, badannya gelap, tampangnya ndeso. Sejak remaja sudah sering berhadapan dengan aparat hukum. Aksi nakalnya memang hanya sekadar maling kelas teri dan bandit kelas coro.
Binto terlahir dari keluarga yang tidak baik-baik saja. Bapaknya lebih sering ikut pemborong proyek perumahan atau pekerjaan kontruksi yang jauh dari Jakarta. Dalam setahun hanya dua atau paling banyak empat kali pulang kampung, dan hanya satu minggu di rumah. Sedangkan ibunya bekerja di salah satu tempat hiburan malam.
ADVERTISEMENT
Lulus SMA, Binto melakukan aksi perampokan di kawasan Pecinan. Dia berhasil melarikan diri dari buruan polisi, dan menumpang truk sampai ke desa di pinggir hutan jati, Blora. Sempat menikmati hidup bersama tukang kayu selama tiga bulan, namun akhirnya dia tertangkap dan dijebloskan ke penjara.
Awal menjalani kehidupan di penjara, hari-harinya dipenuhi dengan kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Dia menjaga kekuatan tubuhnya dengan berolah raga, karena satu-satunya yang Dia miliki hanyalah nyawa. Binto tidak bisa melakukan banyak hal di penjara, bertahan saja untuk tetap hidup. Rasa takut kehilangan nyawa, membuatnya terjaga untuk selalu mencintai dan memelihara dirinya sendiri.
Dalam menjalani kesendirian dan kesepian, Binto sudah sangat terbiasa sejak kecil. No big deal. Lain halnya ketika berada dalam penjara, apa yang bisa dicuri? Apa yang bisa dirampok?
ADVERTISEMENT
Binto hanya teri di antara kakap, setiap hari mencari cara untuk menghindar dari narapidana kakap. Sampai akhirnya menemukan tempat sunyi untuk bertahan, yaitu perpustakaan penjara.
Ilustrasi menjalani kesendirian dan kesepian. Sumber: Pixabay.com
Beberapa buku dihabiskan, bahkan dibaca berkali-kali. Ada kutipan kalimat dari buku yang dia tuliskan di tembok kamar penjara: Merugilah bagi mereka yang teperdaya oleh gemerlap dunia dan angan-angan kosong sehingga berakhir dalam jeruji penyesalan.
Dia sudah gagal menjadi penjahat. Belum sampai menjadi penjahat kelas kakap, sudah jadi pesakitan di balik jeruji besi. Harapannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik, muncul dari dalam penjara.
Seperti biasa, setelah makan siang, Binto segera masuk ke perpustakaan. Mengambil satu buku dengan judul “Kerajinan Kayu Mebel”, mendadak Binto teringat kehidupan tiga bulannya di Blora. Tinggal di rumah Pak Jabo yang kesehariannya membuat dipan, kursi, lemari, perkakas dari kayu.
ADVERTISEMENT
Setelah jadi, dibawanya sendiri ke pasar untuk dijual. Di rumah kayu yang kecil, pak Jabo tinggal berdua dengan istrinya yang sudah lumpuh, dan hanya terbaring saja di atas kasur kapuk. Orang separuh baya itu merawat istrinya sudah sekitar tiga tahunan. Setiap hari Dia menyuapi, memandikan, dan menemaninya sambil bercerita.
Seketika Binto tersentak. Dan, muncul tanya dalam benaknya, “Kalau Pak Jabo mati, siapa yang merawat istrinya?” Matanya berair, pelan mengalir dari ujung mata sampai di sudut bibirnya. Dengan cepat tangannya menyeka air mata.
Dia hanya terdiam saja, pandangannya tertunduk, sementara tangannya mengepal di atas meja. Satu-satunya yang Dia miliki dan rawat hanya nyawanya, tapi pak Jabo punya dua nyawa yang harus dihidupi dengan penuh cinta.
ADVERTISEMENT
Hari selanjutnya, Binto melakukan ritual mencium dua jari tangan kanannya, lalu menempelkan ke tembok yang bertuliskan, “Pak Jabo tukang kayu, Binto love you”. Dia lakukan setiap hari saat keluar dan masuk sel kamarnya. Saat itu dunia Binto seperti film India, berkobar penuh semangat, dan mengikuti pembinaan keterampilan dari Lapas di bengkel perkayuan, dengan serius.
Binto sadar bahwa kebebasan masa remajanya tidak mengajarkan apapun, kecuali jadi pengantar sampai ke perpustakaan penjara. Dari sana, Dia mantap melangkah menjadi Binto yang baru. Masa bodoh dengan masa lalunya yang hitam. Dari balik jeruji penjara, Binto menjadi orang lain untuk dirinya.
Setelah masa hukumannya dipenuhi (dia mendapat keringanan hukuman), Binto tidak pulang ke orang tuanya. Bergegas dia menuju terminal, untuk kembali melanjutkan hidupnya di Blora.
ADVERTISEMENT
“Aku akan punya tiga nyawa. Aku akan mencintai tiga manusia,” teriaknya di depan terminal, sambil berlari mencari bus tujuan Blora.
Dari cerita Binto di atas menuntun kita untuk bersyukur, karena Tuhan sudah mencintai makhluknya, dengan membiarkan nyawa kita hidup, meski dengan bertumpuk maksiat. Seperti juga Binto, kita bisa lebih mencintai diri sendiri dengan mencintai orang lain.
Persetan dengan hitamnya dunia masa lalu kita, nyatanya Tuhan selalu memberi cahaya atau kesempatan kepada setiap manusia, untuk dapat membantu manusia lain. Serendah-rendahnya adalah dengan mendoakan orang lain.
Kita jangan terlalu sibuk untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginan diri sendiri. Dan jangan pula menunggu terjerumus dalam penyesalan, untuk mulai mencintai orang lain. Manusia diciptakan untuk menjadi makhluk sosial.
ADVERTISEMENT
Sebagai makhluk sosial harus ada hubungan timbal balik. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan bisa memenuhi kebutuhan sendiri, meski memiliki kedudukan dan kekayaan, kita selalu membutuhkan kehadiran orang lain.
Mencintai diri sendiri, adalah memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk mencintai orang lain. Kesempatan itu berupa waktu dan masa.
Seperti yang sudah kita ketahui, agar kita memanfaatkan waktu muda sebelum datang tua, masa sehat sebelum datang sakit, masa kaya sebelum datang miskin, masa luang sebelum datang sibuk, dan waktu hidup sebelum datang mati. Jangan sampai kita terpenjara oleh kesibukan untuk diri sendiri sampai datang kematian.
Dunia kita akan menjadi sempit dijejali kerakusan dan keinginan. Keluarlah dari penjara nafsu pada keinginan diri sendiri yang tidak pernah puas, dan mulailah untuk menebar manfaat kepada orang lain.
ADVERTISEMENT