Konten dari Pengguna

(Seri 3) Jejak Jayabaya: Ramalan, Kearifan, dan Warisan Kediri

Chevy N Suyudi
ASN Kota Kediri
6 November 2025 8:00 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
(Seri 3) Jejak Jayabaya: Ramalan, Kearifan, dan Warisan Kediri
Jayabaya bukan peramal, melainkan pemikir besar yg menanamkan warisan kebijaksanaan di Kediri. Jejaknya masih terasa di antara nilai-nilai spiritual dan refleksi tentang kepemimpinan Jawa. #userstory
Chevy N Suyudi
Tulisan dari Chevy N Suyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika dua seri sebelumnya menyingkap mitos tentang "Kediri sebagai kota lengser" dan mengajak kita melihat Sungai Brantas sebagai penghubung peradaban, seri ini mencoba menggali lebih dalam akar kebijaksanaan Kediri melalui sosok Prabu Jayabaya.
ADVERTISEMENT
Namanya hidup dalam ingatan panjang di antara lembaran sejarah Jawa Kuno; dikenal karena ramalan-ramalannya yang termaktub dalam Jangka Jayabaya. Namun di balik lapisan mistis itu, terdapat seorang pemikir yang memahami tatanan dunia, manusia, dan kekuasaan dengan cara yang reflektif dan filosofis. Jayabaya bukan sekadar "nabi politik" bagi masa depan Jawa, melainkan juga simbol peradaban yang berakar pada kesadaran spiritual.
Jayabaya tidak hanya memimpin kerajaan; ia memimpin kesadaran. Ia memandang dunia sebagai sebuah tatanan moral, bukan sekadar panggung kekuasaan. Dari sanalah lahir apa yang kemudian disebut Jangka Jayabaya, sebagai refleksi tentang perjalanan manusia dan zamannya, bukan sebagai ramalan takdir.

Jangka Jayabaya: bukan sekadar Ramalan, melainkan Refleksi Perjalanan

Dalam pandangan populer, Jangka Jayabaya sering dipahami sebagai kitab nubuat. Teks mistis yang meramal masa depan tanah Jawa, mulai dari kedatangan bangsa kulit putih, zaman penjajahan, hingga munculnya "Ratu Adil". Namun, jika dibaca secara mendalam, teks ini lebih menyerupai refleksi sosial dan moral ketimbang prediksi literal.
ADVERTISEMENT
Setiap bait dalam Jangka Jayabaya memuat teguran terhadap keserakahan, kehilangan arah spiritual, dan kehancuran moral manusia. Ia menulis tidak untuk menakuti, tetapi untuk mengingatkan. Dalam bahasa simbolik Jawa, ramalan sering kali merupakan bentuk kritik sosial yang dibungkus metafora.
Misalnya, istilah "jaman kalabendu" (masa kebingungan dan penderitaan) bukan sekedar nubuat, melainkan cermin bagi zaman apa pun ketika manusia lupa pada nilai kemanusiaannya. Maka Jangka Jayabaya harus dibaca bukan sebagai prediksi sejarah, melainkan renungan eksistensial tentang peradaban.
Beberapa penelitian modern, seperti karya Haryono Haryoguritno dalam Membaca Jangka Jayabaya dengan Nalar Nusantara (2008), menafsirkan teks ini sebagai siklus peta kesadaran. Berawal dari kejatuhan moral (Kalabendu) menuju pembaruan spiritual (Tibaning Wahyu).
Dengan demikian, Jayabaya bukan sedang "menerawang masa depan," melainkan sedang mendidik manusia untuk memahami arah zaman.
Prasasti di Petilasan Moksa Prabu Sri Aji Jayabaya di Desa Menang, Kabupaten Kediri. Memuat sejarah singkat tentang tempat moksa (pamulangan) Jayabaya. Foto: bappeda.jatimprov.go.id
Kita dapat membaca Jangka Jayabaya seperti kita membaca Bhagavad Gita atau Dao De Jing. Teks etika yang menyamarkan filsafat dalam bentuk simbolik. Dalam konteks ini, Jayabaya sejajar dengan para filsuf dunia. Ia membaca tanda-tanda zaman dengan intuisi spiritual dan kecerdasan sosial, bukan dengan magi. Jangka Jayabaya adalah cermin batin Jawa. Ajakan untuk mawas diri dan menata ulang harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Kediri masa kini, refleksi ini relevan kembali. Di tengah arus pembangunan dan globalisasi, kota ini diajak menafsir ulang Jangka Jayabaya sebagai panggilan untuk hidup selaras. Menjaga hubungan dengan manusia, alam, dan Tuhan.

Antara Ramalan dan Rasionalitas

Membedah Jangka Jayabaya menuntut kita keluar dari cara berpikir biner, yaitu antara mistik dan logika. Di Jawa, keduanya tidak saling meniadakan, tetapi menyatu dalam apa yang disebut ngelmu rasa. Pengetahuan yang diperoleh dari kesadaran batin.
Jayabaya mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu bisa diraih dengan hitungan akal semesta. Namun, ia juga tidak menolak rasionalitas. Dalam sistem pemikirannya, spiritualitas dan nalar adalah dua sayap yang membuat manusia mampu terbang tinggi, tanpa kehilangan pijakan pada bumi.
ADVERTISEMENT
Dengan cara itu, ramalan Jayabaya menjadi jembatan antara intuisi dan realitas. Ia tidak menolak perubahan zaman, tetapi mengingatkan agar manusia tidak kehilangan jati diri ketika menghadapi kemajuan.
Bila kita memandang kembali sejarah Kediri, tampak bahwa peradaban besar itu berdiri di atas keseimbangan antara kekuatan politik, ekonomi, dan spiritual. Sebuah konsep kepemimpinan yang jarang ditemukan dalam praktik modern, tetapi saat ini relevan untuk direnungkan kembali. Bagaimana pemimpin mampu melihat jauh ke depan tanpa tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan.
Konsep "jangka" sendiri berasal dari akar kata jangkah, berarti langkah, rentang, atau jarak waktu. Maka jangka Jayabaya bisa dimaknai sebagai langkah-langkah atau rentang peradaban, perjalanan sosial manusia dari kebodohan menuju kebijaksanaan.
Rasionalitas Jayabaya terletak pada keyakinan bahwa dunia bergerak dalam siklus moral. Ketika keadilan pudar, kehancuran datang. Ketika kesadaran muncul kembali, peradaban pun bangkit.
ADVERTISEMENT

Jayabaya dan Kepemimpinan Luhur di Kediri

Ilustrasi tempat wisata di Kediri. Foto: mastique87/Shutterstock
Bagaimana Jayabaya memimpin Kediri menjadi refleksi menarik. Ia memandang kerajaan bukan sekadar alat kekuasaan, melainkan taman bagi tumbuhnya nilai-nilai luhur. Dalam berbagai serat dan tembang, disebut bahwa Jayabaya sering menyamar ke desa-desa, mendengar keluh rakyatnya secara langsung. Sebuah praktik "turun ke bumi" yang mencerminkan empati dan keterhubungan.
Dalam pengelolaan negara, ia menegakkan pradnyan (kebijaksanaan) sebagai pangkal segala keputusan. Setiap kebijakan diukur bukan dari keuntungan jangka pendek, melainkan dari keberlanjutan harmoni masyarakat. Prinsip ini yang membuat Kediri menjadi kerajaan yang disegani di Jawa Timur, bahkan di seluruh Nusantara.
Jayabaya juga dikenal mengedepankan pendidikan dan moralitas. Ia memberi ruang besar bagi para pujangga, pendeta, dan cendekia untuk menulis, berkarya, dan berdiskusi. Kediri di masanya bukan sekadar pusat perdagangan dan pertanian, melainkan pusat intelektual. Di sinilah terbentuk akar konsep "peradaban Kediri yang berpikir". Peradaban yang menempatkan ilmu sebagai wujud ibadah.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, Jayabaya memahami kekuasaan sebagai amanah spiritual. Dalam tafsir Jawa, seorang raja adalah titising dewa (penjelmaan nilai-nilai Ilahi); bukan dalam arti magis, melainkan etis. Raja harus menjadi teladan kebijaksanaan. Maka dalam diri Jayabaya, kekuasaan dan kebajikan bersatu. Ia tidak memerintah dengan rasa takut, melainkan dengan rasa hormat.
Kearifan semacam ini menjadi benih bagi spiritualitas Jawa yang menyatu antara logika dan mistik, antara politik dan etika. Jayabaya membuktikan bahwa peradaban tidak hanya dibangun oleh teknologi atau perang, tetapi oleh kemampuan manusia menafsirkan dunia dengan hati yang jernih.

Warisan Jayabaya untuk Kediri

Warisan Jayabaya bukan pada jangka yang menakutkan, melainkan pada kearifan yang menenangkan. Di tengah dunia yang semakin cepat dan bising, nilai-nilai Jayabaya tentang kesabaran, harmoni, dan keadilan sosial menjadi relevan kembali.
ADVERTISEMENT
Dua kata kunci dalam warisan Jayabaya, yaitu eling lan waspada. Keduanya merangkum etika kepemimpinan dan kemanusiaan Jawa. Eling berarti sadar akan asal dan tujuan hidup. Waspada berarti siaga terhadap keserakahan dan kelalaian. Kedua prinsip ini menjadi fondasi moral masyarakat Kediri hingga kini.
Dalam konteks modern, eling lan waspada bisa dimaknai sebagai kesadaran ekologis dan sosial. Ketika Kediri membangun kota baru, menata Sungai Brantas, dan memperkuat solidaritas masyarakat, ia sedang melanjutkan semangat Jayabaya; membangun peradaban dengan keseimbangan, bukan keserakahan.
Ilustrasi masyarakat Indonesia. Foto: Shutterstock
Nama jayabaya hadir di berbagai teks lintas zaman. Dari Serat Darmogandul hingga Sabda Palon Naya Genggong; dari Serat Centhini hingga karya modern seperti Wedhatama dan Suluk Malang Sumirang. Ia muncul sebagai arketipe, raja bijak, penafsir zaman, penjaga harmoni antara bumi dan langit.
ADVERTISEMENT
Poerbatjaraka (1952) mencatat bahwa berbagai versi Jangka Jayabaya telah beredar di Madiun, Kediri, dan Surakarta. Meski berbeda isi, semua menekankan nilai moral, yaitu keadilan, kesabaran, dan keseimbangan. Artinya, Jayabaya bukan hanya bagian dari mitologi lokal, melainkan intisari etika Jawa itu sendiri.
Ketika teks-teks Jayabaya dibaca ulang di era kolonial, ia memberi harapan baru. "Tanah Jawa Bakal Bali Jaya" dibaca sebagai janji kemerdekaan. Namun di era modern, tafsir itu bergeser. Bukan lagi kemerdekaan politik, melainkan pencerahan batin dan keadilan sosial.
Kediri, dengan sejarah dan ketenangannya, mengajarkan cara lain untuk hidup. Merenung tanpa terasing, bergerak tanpa kehilangan akar. Itulah Joyoboyo modern; bukan sebagia sosok, melainkan kesadaran.

Kediri Bukan Kota Lengser

Seri pertama tulisan ini menolak stigma "Kediri kota lengser". Mitos yang menakut-nakuti para pemimpin untuk datang dan membangun kota ini. Seri kedua menegaskan Brantas sebagai penghubung, bukan pemisah. Dan kini, lewat Jayabaya, kita memahami alasannya. Kediri tidak melengserkan karena ia memiliki kedalaman reflektif, warisan dari raja yang berpikir dengan hati.
ADVERTISEMENT
Jayabaya mengajarkan bahwa setiap kejatuhan adalah bagian dari siklus kesadaran. Yang penting tidak menghindari lengser, tetapi belajar dari putaran sejarah untuk bangkit lebih bijak.

Epilog: Warisan yang Hidup

Hari ini, ketika Kediri menata diri menjadi kota modern dengan visi kemanusiaan dan keseimbangan, perlu melihat kembali jejak Jayabaya. Kediri harus dibangun dengan menumbuhkan citra kota yang berakar pada kearifan lokal; bukan romantisme masa lalu, melainkan strategi kebudayaan. Membangun masa depan Kediri dengan kesadaran sejarah dan spiritualitas.
Kediri bukan sekadar kota industri; ia sejatinya adalah kota refleksi. Kota yang berdiri di atas ingatan dan doa di mana setiap pembangunan adalah bentuk eling lan waspada terhadap warisan leluhur. Dan di sanalah, di antara gemericik Brantas dan bayang Jayabaya, peradaban Kediri terus menulis ulang dirinya. Dengan tenang, jernih, dan bijak.
ADVERTISEMENT