Sepenggal Kisah Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 5)

Konten dari Pengguna
20 November 2018 23:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chiara Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: pixabay.com
Kali ini saya mau curhat saja ya. Saya mau bercerita tentang pengalaman yang tidak mengenakkan dan sempat menghantui saya beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang wanita, saya sudah beberapa kali mengalami pelecehan seksual. Lebih tepatnya 3x di tiga negara berbeda yaitu Saudi Arabia, Viet Nam, dan Amerika Serikat.
Ketiganya terjadi begitu cepat, dan terus terang, reaksi pertama saya adalah terbujur kaku. Kenapa? Karena kaget, takut, malu, dan lain-lain. Ternyata, setelah ngobrol dengan teman-teman, mereka pun rata-rata sebagai perempuan telah mengalami pelecehan seksual beberapa kali selama dalam hidupnya.
Berdasarkan pengalaman teman-teman, paling banyak kejadiannya di Saudi Arabia ketika sedang menjalani ibadah umroh tahun 2002.
Dulu saya tidak berani bilang ke siapa-siapa. Saya masih kuliah, baru saja memakai hijab, dan saya berfikiran bahwa kejadian apapun di tanah suci itu adalah untuk menghapus dosa saya. I thought that I was being harassed because of my sins. Bego banget ya.
ADVERTISEMENT
Setelah semakin berumur saya jadi berpikir, lha orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu yang berdosa melakukan pelecehan seksual di masjidil haram. Merekalah yang berdosa berlipat ganda. Dasar tidak tau malu, huh!
Kejadian kedua terjadi di Viet Nam tahun 2004, ketika saya sedang menjalankan program magang di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Hanoi.
Kalau akhir pekan, hobi saya jalan-jalan di sekitaran Hoan Kiem Lake. Makan es krim, duduk-duduk atau masuk ke salah satu toko dan supermarket di sana. Nah, kejadiannya siang hari di lorong shampoo supermarket itu.
Sebenarnya saya sudah ada feeling ketika melihat sosok laki-laki kecil dari jauh yang memakai jaket dan topi. Dia berjalan lurus dan menunduk. Feeling saya bilang "aneh, jalan kok nunduk, kayak gak mau dilihat mukanya".
ADVERTISEMENT
Benar saja ketika papasan dengan saya, tangan orang itu memegang anggota tubuh saya trus dia langsung lari keluar supermarket. Reaksi saya? Diam terbujur kaku. Otak saya gak bisa proses. Setelah beberapa detik saya baru sadar, hey, orang itu kurang ajar.
Saya kejar keluar sambil marah-marah dalam Bahasa Indonesia. Saya berusaha cerita dalam Bahasa Inggris ke penjaga toko tapi kagak ada yang ngerti men. Perasaan saya itu lebih ke marah dan ngamuk. Tapi memang reaksi pertama adalah freeze terbujur kaku. Ih, mengingat kejadian itu geram rasanya.
Kejadian ketiga terjadi di bis perjalanan malam dari tempat suami di Washington DC ke New York. Bis tersebut berangkat pukul 01.30 malam dan tiba di New York sekitar pukul 05.30 pagi. Pikir saya masih sempat ke rumah untuk siap-siap dan langsung ke kantor.
ADVERTISEMENT
Itu adalah pertama dan terakhir kalinya saya naik bis malam. Penumpangnya aneh bin ajaib. Ada ibu-ibu yang sepertinya pengidap tourette. Setiap beberapa menit dia akan mengumpat-umpat dalam bahasa kasar.
Sebenarnya kasihan. Tapi mendengar umpatan-umpatan kasar di tengah malam buta mengerikan, yo. Nah, saya pikir saya sudah mengambil langkah-langkah preventif dengan memakai jaket hoodie yang tertutup, kemudian saya duduk tidak jauh dari supir. Kira-kira bangku ke-3.
Saya pilih dekat jendela karena memang niatnya mau tidur. Awalnya saya duduk sendiri. Namun, di pemberhentian bis di Baltimore naik seorang kakek-kakek yang duduk sebelah saya.
Ketika sedang berusaha tidur, saya merasa tangan penumpang sebelah saya mulai memegang bahu. Sontak saya maju ke depan. Saya yang setengah tertidur mulai siaga. Bukannya apa-apa, saya takut tiba-tiba ditikam atau dia nekat melakukan sesuatu terhadap saya.
ADVERTISEMENT
Si kakek mulai lagi berpura-pura tertidur namun menjatuhkan dirinya ke saya. Saya kasih muka jutek dan saya tegur "Sorry but I'm trying to sleep. Please mind your self." Dia akhirnya minta maaf. Tadinya saya mau minta tukar tempat duduk, tapi satu-satunya tempat kosong adalah di sebelah si nenek pengumpat.
Lebih baik saya di tempat ini namun tidak tidur. Akhirnya sepanjang perjalananan saya WA-an dengan suami. Saya ceritakan kondisinya dan dia ikut tidak bobo menemani saya ngobrol sepanjang perjalanan.
Begitu sampai di Port Authority Bus Terminal di Manhattan, saya langsung turun dari bis lari sekencang-kencangnya. Takut si kakek akan mengikuti saya. Karena saya sempat merasa dia memang mengikuti saya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya begitu di luar terminal saya langsung naik taksi (biasanya naik subway) pulang ke rumah. Gapapa deh mahal sedikit (banyak deng) yang penting selamat.
Saya merenung, dulu saya diam tidak pernah cerita soal ini ke teman atau keluarga karena malu, ya malu. Tapi ternyata setelah ngobrol dengan beberapa teman terdekat, ternyata mereka pun mengalaminya.
Saya jadi berpikir apakah semua perempuan in their lifetime pernah mengalami pelecehan seksual, ya. Tapi terlalu takut dan malu untuk cerita. Dan rata-rata reaksi kami semua sama, diam terbujur kaku, bengong, nge-hang, bingung mau apa.
Dengan pengalaman buruk tersebut, saya akhirnya punya kebiasaan untuk selalu punya pepper spray yang mudah diakses, taruh nomor suami dan mama saya di speed dial atau favorite, dan menanamkan ke diri saya kalo ada kejadian seperti itu lagi saya harus teriak sekencang-kencangnya.
ADVERTISEMENT
Harusnya ketika kecil saya ambil les bela diri, ya. Supaya reaksi pertama adalah melumpuhkan orang-orang kurang ajar itu. Untuk trauma, alhamdulillah saya tidak sampai mimpi buruk, terbayang-bayang, dan depresi. Tapi yang jelas saya merasa marah karena reaksi saya hanya diam terpaku.
Rasanya kalo bertemu orang seperti itu ingin saya kasih pelajaran supaya mereka kapok. Menurut saya, penting untuk bisa menceritakan hal-hal tersebut. Dengan berbagi, kita tidak merasa sendiri dan bisa belajar dari pengalaman orang lain.
Saya juga pernah melihat tips yang bagus dari salah satu serial TV Law and Order: Special Victims Unit yaitu dengan menggunakan peluit apabila terjadi pelecehan seksual.
Logikanya kita akan lebih mudah membunyikan peluit daripada berteriak. Untuk kalian yang mengalami sexual assault dan mengalami trauma, tenang, kalian tidak sendirian.
ADVERTISEMENT
Alangkah baiknya untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional yang bisa membantu menyembuhkan trauma tersebut. Karena apabila didiamkan tidak baik untuk kesehatan mental, dan berpotensi menggangu aktivitas kita sehari-hari. Saya pribadi tidak mau terjebak trauma/depresi karena perbuatan bejat orang lain.
Ada yang bisa kasih tips bagaimana menghadapi orang-orang kurang ajar ini? Silahkan komen, ya. Saya penasaran dengan cerita/pengalaman kalian.