Konten dari Pengguna

Lukisan Van Gogh Tak Sakit Jiwa

Chindy Treisya
Seorang pendidik, mahasiswa di Universitas Terbuka, dan manusia yang jatuh cinta pada rangkai kata semesta.
16 Juni 2021 12:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chindy Treisya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Van Gogh dengan janggut berwarna merah sebagai ciri khasnya. Photo by Elle Lumiere on Unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Van Gogh dengan janggut berwarna merah sebagai ciri khasnya. Photo by Elle Lumiere on Unsplash.
ADVERTISEMENT
Seperti pepatah lama mengatakan, “tak kenal maka tak sayang.” Begitulah saya pertama kali mengenali sang pelukis kenamaan ini. Seorang pelukis kontroversial yang kadung mendunia—Vincent Willem van Gogh.
ADVERTISEMENT
Van Gogh, laki-laki yang sedari dulu begitu mencintai dunia lukis ini adalah seorang impresionis kelahiran Zundert, Belanda. Saya bahkan tak tahu apakah ini dinamakan romantis atau hanya perjalanan manusia biasa. Sebab ia telah mengarungi hidup di antara tiga kota—London, Amsterdam, dan Paris. Kota yang tak pernah lepas dari kisah, seni dan cinta.
Begitu banyak orang yang menganggap bahwa Van Gogh memiliki kehidupan yang tragis, bak nasib para pemeran utama di film-film roman sejarah yang gagal memenuhi keinginan dan mimpi. Namun, jangan kira bahwa ia pergi secara sia-sia. Monsieur Van Gogh telah menitipkan seni tak ternilai, meskipun dengan kisah yang lazim dianggap salah.
Saya pun tak hendak memaksa orang-orang untuk turut mengagumi keberadaannya dengan kisah yang memilukan. Namun, setidaknya ia memiliki kisah yang tak biasa untuk ukuran seorang pelukis ternama yang bercap ‘sakit jiwa.’
Lukisan Vincent van Gogh di sebuah museum. Photo by Ståle Grut on Unsplash
Dan, tak dapat disangkal jika seorang Vincent van Gogh telah membuka banyak mata untuk melihat lebih dalam atas sebuah kehidupan. Sebut saja, pengalamannya menjadi seorang misionaris di kota Belgia setelah keengganannya bekerja sebagai seorang art dealer—pedagang karya seni lukis pada sebuah galeri litografi di London.
ADVERTISEMENT
Vincent tidak serta-merta lahir dengan kemampuan melukis. Kecintaan dan darah seni yang tumbuh dari keturunan keluarga pedagang lukisan terbesar di Eropa, membuatnya mendalami berbagai teknik melukis dan seni grafis lainnya. Dengan kata lain, ia mulai memberanikan diri membuat beberapa sketsa pada setiap tempat yang disinggahi, seperti Borinage dan Etten.
Apakah Anda tahu Arles? Ya. Sebuah kota di selatan Prancis yang menjadi tempat lahirnya karya-karya besar sang pelukis—penikmat kehidupan dan absinthe ini. Setumpuk lukisan yang konon kabarnya adalah ilham dari embusan angin mistral di sungai Rhonê dan ladang-ladang gandum yang turut mengubah gaya realist Paris yang dimilikinya.
Potret Vincent Van Gogh sesaat setelah ia melukai telinganya sendiri. Photo by Jean Carlo Emer on Unsplash.
Kita tidak akan benar-benar memahami hal apa saja yang telah dialaminya. Seorang impresionis yang sesungguhnya memiliki kehidupan layaknya manusia biasa. Berteman dengan para pelukis Paris, seperti Gaugin, Monet, Lautrec, dan Georges Seurat. Bisa saja, ia tengah berkeliling kota romansa tersebut untuk sekadar menikmati secangkir kopi ataupun menekuri warna di sekitar untuk mewujudkan revolusi melukisnya.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi tersebut, bukanlah suatu kejadian istimewa jika Vincent telah banyak mengalami kegagalan—dalam kehidupan juga kisah percintaan. Namun, dengan begitu banyak tekanan dan keinginan yang tak kunjung didapat, Van Gogh pun tak mampu membedakan antara imajinasi dan realitas. Ketidakseimbangan mental yang membuat pelukis peminat warna cobalt dan majolica ini, memotong telinga kiri hingga mengakhiri hidupnya.
Takjub! Ketakjuban yang rasa-rasanya pantas untuk disematkan kepada sang pelukis selain rasa pilu dan duka. Sebut saja, Sunflowers, Wheatfield with Crows, The Red Vineyards near Arles, dan Bedroom in Arles bukanlah hanya menjadi bagian dari perjalanan seni lukis dunia. Karya seni tersebut merupakan buah perjalanan atas Delusi psikosis yang dimilikinya.
Dan, jangan lupakan The Starry Night. Salah satu karya lukis Vincent van Gogh yang mulai mendunia di awal abad ke-20 setelah kepergiannya. Sebuah pemandangan yang dilukis dari balik jendela timur St. Paul de Mausole—rumah sakit kesehatan mental yang berada di kaki bukit Saint Remy.
ADVERTISEMENT
Beberapa pendapat ahli astronomi bahkan mengatakan, bahwa lukisan nokturnal itu memiliki konfigurasi dan makna abstrak. Bulan kuning berpendar sebagai simbol dari venus (bintang fajar), cypress tree menjulang yang mengesankan sebuah kedukaan di kebudayaan Eropa, gambaran imajiner kerinduan pada pedesaan Belanda, serta ornamen menyerupai galaksi spiral di langit sebagai kumpulan angin mistral di kota Arles.
"The Sunflowers" karya Vincent Van Gogh yang terpampang di sebuah galeri lukisan. Photo by Falco Negenman on Unsplash.
Lukisan anak laki-laki tertua dari Theodorus van Gogh ini, ternyata tak sekadar lukisan mengenai suasana malam. Penelitian mengungkapkan, bila bentuk pusaran di langit pada lukisan itu merupakan sebuah konsep aliran turbulen. Gambaran bentuk fenomena fisik yang kerap terjadi di alam, seperti angin badai atau aliran air sungai yang mengalir cepat.
Gerakan-gerakan magis di alam yang turut ditangkap oleh Vincent van Gogh, selaras dengan kecepatan kedua tangannya saat melukis dan menekan kuas. Efek iluminasi yang seakan dilukiskan menyerupai perputaran cahaya pada atmosfer bumi, terutama pemilihan warna kuning terang khas pancaran matahari Arles.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kehidupan pelik tersebut, ia tetaplah seorang manusia yang ingin membuktikan—bahwa semesta memiliki ketidakterbatasan untuk dilukiskan. Tidak ada garis atau bentuk konstan yang dapat membatasi pergerakan alam, seperti pola cahaya yang kerap ia bayangkan. Apakah benar itu adalah gambaran matahari? ataukah cahaya lain yang kala itu berada di dalam benaknya.
Museum Van Gogh di negara Belanda. Photo by Frans Ruiter on Unsplash.
Jadi, tidaklah mencengangkan jika semua karya-karyanya telah tersebar di beberapa belahan dunia. Musée d’Orsay dan Museum Van Gogh, Amsterdam pun mampu menjadi saksi abadi ‘kegilaan’ sang maestro tersebut. Pelukis yang meninggalkan gaung warisan seni termahal, seorang seniman psikosis.
Sekali lagi, ia tidaklah sepenuhnya sakit jiwa. Vincent Willem van Gogh hanya bermimpi untuk menggantungkan lukisannya, pada suatu hari, di sebuah museum ternama.
ADVERTISEMENT