Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nostalgia Guru: Perjalanan Sang Penghantar Ilmu
17 Juli 2021 8:21 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Chindy Treisya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak orang mengatakan bahwa guru dan ilmu adalah integrasi dari tiang pendidikan. Saya pun sepertinya akan sepakat dengan perspektif nan klasik tersebut. Bukan hanya karena ungkapan yang mengandung kata ‘guru’ dan ‘ilmu’, tetapi ia mengandung makna dan mekanisme arif menembus perjalanan waktu.
ADVERTISEMENT
Kita dapat mengibaratkan pendidikan sebagai suatu unsur simbolik atas lahirnya ilmu, sebagai suatu pencerahan yang mutlak digaungkan oleh seorang guru. Interpretasi cara berpikir atas pengetahuan tak terhingga pada masa revolusi Eropa, hingga berpendar ke daratan Batavia.
Shantiniketan—sebuah kota pendidikan bernuansa semesta di sebelah utara India, yang turut menyumbangkan kedahsyatan inspirasi bagi salah satu maestro literasi Indonesia, Ki Hajar Dewantara. “National Onderwijs Institut Taman Siswa” menjadi dasar kebangkitan, cermin revolusi rakyat yang tak hendak tunduk pada hierarki keilmuan Ethnische Politiek Belanda kala itu.
Namun, bukan berarti era kolonial ini tak meninggalkan jejak modernitas di dalam perkembangan daya pikir bangsa. Tak pelak, begitu banyak pengetahuan yang terserap secara sistematis, mulai dari tata kota hingga metodologi peradaban dunia. Mungkin pula, saya dapat mengetahui betapa berharganya sistem drainase dan kanal-kanal air atas ratusan tahun penjajahan mereka. Sebuah pengetahuan tersembunyi, bak mendulang emas di kedalaman sungai timur Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, manusia seyogyanya dapat memperkaya kualitas diri dalam segala tatanan keadaan. Tidak hanya Immanuel Kant atau Soewardi Soerjaningrat yang berani memainkan pena dan empiris penemuan ilmu. Namun, begitu juga sejatinya guru dalam mengenalkan pengetahuan yang dimilikinya.
Seorang psikiater—Karl Menninger berpendapat bahwa, “Pengenalan diri seorang guru terhadap dirinya adalah hal paling utama, jika dibandingkan dengan pengajaran yang ia berikan.”
Menjadi guru bukanlah sekadar menyampaikan kembali suatu pengetahuan yang telah didapat. Ia harus pula mengalami dan mendalami makna di balik realitas kehidupan yang dijalaninya. Mengimplementasikan integritas keilmuan tersebut menjadi suatu catatan tradisi bagi keberadaan diri.
Tak dapat dimungkiri, serapan perjalanan sejarah warisan Belanda mampu memberikan sketsa pembelajaran terstruktur bagi pendidikan di Indonesia. Sekolah yang dahulu laksana embusan angin pelabuhan Jayakarta. Menghantarkan teduh ilmu walau hanya bagi sebagian rakyat—bangsawan dan para priayi.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana dengan sistem pendidikan kita kini? Bagaimana kabar guru yang katanya menjadi tonggak pemikiran? dan bagaimana nasib murid yang seharusnya ia tumbuh semakin ranum, laksana suara media-media cetak di zaman penjajahan dulu.
Ini bukanlah masa ketika kita belum dapat mengamati fenomena semesta. Karena pada hakikatnya, manusia memiliki inteligensi yang semestinya mampu beradaptasi dengan kompleksitas permasalahan dunia. Dan, guru adalah sentral—kurikulum alami dari lahirnya sebuah pendidikan.
Saya pun memahami bahwa tidak semua orang memiliki sudut pandang yang serupa. Apabila seorang guru mampu mengenali jati dirinya, maka ia akan mampu memenuhi hak dan kewajibannya sebagai manusia dalam mendidik dengan lebih bijak. Menurunkan keilmuan yang telah lekat di dalam keluasan dan khazanah batin sang guru.
ADVERTISEMENT
Bukanlah tanpa alasan bagi Sutan Syahrir, seorang revolusioner kemerdekaan Indonesia ini berpetualang hingga ke negeri Belanda. Ia tidak hanya datang untuk meraih gelar mahasiswa, tapi turut membekali diri dengan berbagai perspektif di dalam pemikiran dan kehidupannya. Meskipun pada akhirnya, sang penikmat musik klasik ini diasingkan ke pesisir Banda Neira.
Ia bukanlah guru. Ia hanya seorang manusia yang mau berpikir dan bertindak di luar kenyamanan, pun mungkin sebenarnya enggan ia lakukan. Namun, saya percaya bahwa hidup dan pendidikan tak semestinya hanya menawarkan kemudahan proses yang sistematis. Mereka butuh diperjuangkan dan bukan hanya dikenang. Pendidikan bukanlah sejarah yang mesti terulang. Ia adalah bagian dari kebaruan pemahaman dan keterbukaan manusia dalam menggerakkan potensi dan kapasitas kemampuan diri.
ADVERTISEMENT
Guru adalah ibarat aktuator—seseorang yang mampu menggerakkan mekanisme atau sistem pembelajaran dari sebuah kurikulum menjadi sebuah pengetahuan. Sehingga, guru haruslah memiliki jiwa yang mampu mengembangkan suatu pembelajaran menjadi satu sistem kehidupan.
Menjadi seorang guru di masa sekarang adalah menjadi seorang murid yang bersedia mempelajari kembali kualitas dan kekayaan diri. Mendalami unsur-unsur tradisi keilmuan dengan menerjemahkan kejadian di alam semesta dan peristiwa di dunia—sebagai dasar pembelajaran. Memiliki kepekaan untuk menanamkan nilai-nilai luhur pengajaran, serta mengejawantahkannya ke dalam berbagai metodologi pengetahuan.
Dengan demikian, kemuliaan pengajaran seorang guru akan semakin meninggi dan terjaga abadi. Laksana pengetahuan Tuhan yang tengah diturunkan.