Konten dari Pengguna

Seni Bertahan Hidup Sang Manusia Gurun

Chindy Treisya
Seorang pendidik, mahasiswa di Universitas Terbuka, dan manusia yang jatuh cinta pada rangkai kata semesta.
5 Januari 2023 16:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chindy Treisya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tuhan bukan tanpa sengaja menjadikan padang-padang gersang di tiupan angin lembah Araouane terjadi begitu saja. Tidaklah tanda-tanda ditunjukkan di atas gulungan badai tak berujung Sahara, selain dihadiahkan bagi jejak-jejak para pengembara. Setiap kelahiran telah ditakdirkan pada putaran waktu yang diciptakan. Mekaran bunga magnolia di musim semi, kepulangan burung calidris jauh ke selatan Selandia, ataupun aliran Sungai Nil yang menembus batas-batas Mediterania.
Penerangan lentera di langit malam pada sebuah gurun. Photo by: Jeremy Bishop on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Penerangan lentera di langit malam pada sebuah gurun. Photo by: Jeremy Bishop on Unsplash
Manusia-manusia yang diturunkan dalam konteks peradaban dan konon memiliki satu garis persamaan di setiap zamannya, yakni memahami makna keberadaan mereka. Bagaimana cara bumi terus beputar, namun semua makhluk tetap berdiam di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Bak kesetiaan Rub Al-Khali menemani luas rasi bintang di bawah cahaya-cahaya terang dan redupnya. Sebagaimana cara setiap makhluk dapat bertahan dan mengenali keberadaan atau eksistensi, yang pada tradisi kesejarahan―meluas tak berhenti seperti bisikan sakral para guru dan nenek moyang dalam kitab ilmu pengetahuan.
Mengapa bertahan hidup menjadi penting?
Simbol keyakinan suku asli Ojibwe sebagai Penangkap Mimpi. Photo by:Tatiana Potapkina on Unsplash
Dalam banyak tradisi dan kebudayaan, konsep bertahan hidup bukan hanya tertuju pada mempertahankan keberadaan diri dalam suatu pencapaian tertentu. Suku Maya yang bukan hanya membangun kuil-kuil guna menentukan gambaran astronomi bagi musim yang berganti, tetapi menjadikannya suatu usaha tak henti atas perkembangan ketaatan diri.
Suku Ojibwe yang berlari jauh dari Selat Bering, tidak hanya mendapatkan hewan buruan sebagai imbalan atas pertahanan berhari-hari. Mereka pun menemukan makna penjagaan diri dari jalinan jaring laba-laba, melalui doa dan harapan suci di alam mimpi.
ADVERTISEMENT
Bertahan hidup bukanlah hanya suatu kemampuan dalam mempertahankan eksistensi atau keberadaan diri. Sebuah pemahaman yang kadung dijadikan pegangan bagi tingkat kualitas hidup seorang manusia hingga kini. Ia adalah suatu pencapaian kedalaman dari kerelaan kita untuk berdiam pada tempat yang sama, di tengah ketidaknyamanan dan tantangan hidup yang mendera.
Berusaha menikmatinya sebagaimana penduduk Denmark menghayati sederhana kehidupan dalam tradisi Hygge. Menjadi hangat dan bahagia walau hanya menyantap sepotong roti beserta secangkir teh di pagi hari.
Filosofi bertahan hidup
Gambaran Gurun Sahara dan para pengembara. Photo by: Jeff Jewiss on Unsplash
Manusia tidak pernah terlepas dari rasa sakit yang akan menghampirinya. Sebab mereka merupakan bentuk ilahiah dari penciptaan yang diturunkan untuk mengenali seluruh realitas di alam semesta. Datangnya hujan, turun lebat salju, atau kehadiran mekaran bunga di belahan timur Yordania. Bak bukit dan pegunungan yang rela menerima kering dan basah di setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Menghadapi kenyataan hidup, semestinya menjadi kemampuan dan kemauan manusia untuk menghadirkan keberadaan jiwa di dalam dirinya. Bentuk eksistensi tertinggi di dalam pertumbuhan manusia. Makna bertahan hidup dengan menjalani dan turut mengalami setiap realitas yang ada.
Tak perlu setangguh penduduk asli Siberia yang menjadikan musim dingin sebagai kudapan keseharian. Setidaknya, bersedia menghadapi permasalahan dan tantangan yang akan melahirkan suatu keyakinan. Bahwa bertahan hidup merupakan suatu ilmu ketuhanan yang mesti diterapkan, seperti tirakat para pejalan di atas gurun dalam setiap peradaban.
Pertahanan hidup manusia gurun
Gambaran penduduk gurun dengan pakaian khasnya. Photo by: Maria Darii on Unsplash
Berbicara mengenai bertahan hidup, tak lengkap rasanya jika tidak menilik sebuah kisah keabadian yang sarat akan tradisi sekaligus kaya akan makna keberadaan Tuhan.
Kisah para penjelajah Seif―bukit-bukit pasir di gurun Sahara. Manusia-manusia berjubah hitam serta biru gelap, daraa dan tagelmusts yang hampir menutupi seluruh kulit mereka. Para pengembara padang pasir yang pandai menemukan jalan pulang dengan membaca garis dan pola bentangan alam.
ADVERTISEMENT
Serbuan badai pasir tak akan menggoyahkan langkah kaki mereka. Kepekaan terhadap suara dan tanda-tanda pergerakan angkasa, menjadikan para nomadic ini tak memerlukan kompas atau teknologi pemetaan lain untuk menemukan arah yang dituju. Kebudayaan para manusia gurun dalam mempelajari letak tata kosmik beserta iklim bumi, hingga menjadikan ilmu perbintangan sebagai tradisi.
Sebuah cara bertahan hidup yang tak sekadar mengandalkan penempaan kekuatan fisik, tetapi turut menempa pengenalan batiniah diri.
Mengenali makna kelahiran semesta seperti warna terang dan gelap di langit, datangnya kabut pasir, serta suhu terik matahari. Fenomena kekuatan gurun yang mereka hadapi dengan luas penerimaan, selayak cara bertahan hidup Akasia menyembul di kekeringan.
Bertahan hidup di masa kini
Sebuah perpustakaan yang berisi manuskrip dan naskah lama. Photo by: Max Tcvetkov on Unsplash
Siapa tak menyenangi modernisasi? Kenyamanan dan kepuasan yang mudah didapat atas kehadirannya. Kemajuan peradaban yang tak akan mungkin ditolak, sebab manusia memiliki akal pemberian Tuhan sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Hal yang seyogianya dimanfaatkan dengan batas dan kendali diri sewajarnya. Bak memahami waktu yang tepat untuk meneruskan pengembaraan, dari persinggahan bangunan tak berpenghuni berarsitektur Pentapolis saat badai pasir datang.
ADVERTISEMENT
Tak ayal, gaung kemajuan teknologi kian meredupkan jejak-jejak keahlian bertahan hidup secara tradisi. Bagaimana cara memperkuat pertumbuhan―dari dalam diri, seperti para murid di dataran Mauretania yang setia turun-temurun memakmurkan ilmu.
Bukan hanya ketahanan dari luar diri. Melainkan kemampuan bertahan dalam menyikapi berbagai keadaan dengan lebih arif dari kedalaman hati. Melatihkan cara bertutur, berpikir, serta bersikap secermat penjagaan tumpukan manuskrip dan naskah kuno dari abad ke-11 hingga kini. Menjadi suatu pilihan hidup yang hakiki selayak para penduduk asli yang menjadikan gurun sebagai tempat kelahiran abadi.
Ilustrasi jejak-jejak para pengembara di atas gurun. Photo by: Randy Tarampi on Unsplash
Bertahan hidup bukan hanya menjadi kekal di muka bumi. Ia adalah sebuah perjalanan penempaan diri yang sejati. Memahami makna kehadiran diri dengan mengenali seluruh keberadaan. Menjalani atas doa, usaha, dan segenap keyakinan. Tak berhenti, bak peziarah yang merindu di atas tanah-tanah peninggalan kenabian.
ADVERTISEMENT
Singkat kisah, inilah pusaka keilmuan yang telah dititipkan Tuhan. Seni bertahan hidup para manusia gurun yang membangunkan jiwa-jiwa manusia dari kedalaman.