Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Congestion Tax: Sebuah Solusi Kemacetan Jakarta
5 Februari 2025 16:56 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Chintya Magdalena Ambarita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aktivitas ekonomi yang tinggi menandakan pertumbuhan ekonomi dari suatu daerah atau kawasan. Pertumbuhan ekonomi ini dicerminkan melalui pertumbuhan atau perkembangan kawasan-kawasan seperti pemukiman baru, industri, perdagangan, dan jasa. Aktivitas ekonomi menyebabkan timbulnya kebutuhan akan transportasi. Hal ini sejalan dengan konsep yang dinyatakan oleh Sukarto dalam Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta dengan Analisis Kebijakan “Proses Hirarki Analitik.”, yaitu adanya pergerakan atau mobilitas dari asal (origin) sampai ke tujuan (destination).
ADVERTISEMENT
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, jumlah penduduk di Jakarta mengalami peningkatan setiap tahunnya. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta mencatat jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta sebanyak 10.557.810 jiwa pada tahun 2019, 10.562.088 jiwa pada tahun 2020, 10.605.437 jiwa pada tahun 2021, 10.640.007 jiwa pada tahun 2022, dan 10.672.100 jiwa pada tahun 2023. Peningkatan jumlah penduduk juga berimbas pada peningkatan jumlah pergerakan atau mobilitas penduduk. Sejalan dengan hal tersebut, jumlah kendaraan bermotor, mulai dari mobil penumpang, bus, truk, dan sepeda motor, juga mengalami peningkatan dalam kurun waktu 4 waktu terakhir. BPS Provinsi DKI Jakarta mencatat jumlah kendaraan bermotor di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 19.883.246 unit pada tahun 2019, 20.221.821 unit pada tahun 2020, 21.005.527 unit pada tahun 2021, dan 21.856.081 unit pada tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Masalah Kemacetan di Provinsi DKI Jakarta
Kepadatan lalu lintas atau kemacetan merupakan masalah rumit yang dihadapi banyak kota di seluruh dunia, tidak terkecuali DKI Jakarta.
Berdasarkan indeks yang dikeluarkan oleh TomTom Traffic Index Ranking, Jakarta menempati peringkat ke-9 kota paling macet di Asia. Indeks tersebut menunjukkan rata-rata waktu perjalanan di kota untuk menempuh jarak 10 kilometer (km) dengan mempertimbangkan biaya bahan bakar dan emisi CO2 yang dihasilkan akibat aktivitas di jalan. Indeks tersebut menyatakan bahwa butuh waktu rata-rata 23 menit 20 detik untuk menempuh 10 km di Jakarta.
Sementara di kancah internasional, Jakarta menempati posisi ke-30 dengan tingkat kemacetan menyentuh angka 53 persen. Tercatat bahwa selama tahun 2023, berkendara di Jakarta membuang sekitar 117 jam per tahun dan 270 kilogram (kg) emisi CO2..
ADVERTISEMENT
Masalah kemacetan ini menimbulkan berbagai macam dampak negatif, mulai dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, hingga lingkungan. Dampak sosial yang ditimbulkan seperti membuat stress, kesal, lelah, hingga waktu yang terbuang karena terjebak dalam kemacetan. Selain itu, potensi manfaat yang hilang serta biaya tambahan yang perlu dikeluarkan karena terjebak dalam kemacetan dapat dipandang sebagai dampak ekonomi yang berpotensi timbul akibat masalah ini. Ada pula emisi CO2 yang dihasilkan kendaraan bermotor cukup besar, sehingga berpotensi meningkatkan polusi udara, yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan dari penduduk, terutama pengguna jalan.
Oleh sebab itu, diperlukan strategi khusus untuk mengatasi masalah kemacetan di kota-kota besar, termasuk Provinsi DKI Jakarta.
Congestion Tax
Congestion tax bukan merupakan konsep baru. Singapura sudah terlebih dahulu menerapkan kebijakan ini sejak tahun 1975 dengan istilah Area Licensing Scheme (ALS) yang kemudian diubah menjadi program Electronic Road Pricing (ERP) dengan menggunakan teknologi modern. Selain Singapura, beberapa kota seperti London dan Stockholm juga sudah menerapkan kebijakan serupa yang lebih dikenal dengan istilah congestion pricing.
ADVERTISEMENT
Congestion tax sendiri merupakan pungutan yang dikenakan terhadap lalu lintas kendaraan bermotor yang melewati area atau ruas-ruas jalan tertentu, terutama pada jam-jam sibuk (peak hour), yang bertujuan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas dan berupaya untuk mendorong pengendara kendaraan bermotor untuk menggunakan transportasi umum sebagai alternatif melalui peningkatan biaya berkendara pada waktu dan lokasi tertentu.
Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat memiliki implikasi atau dampak positif terhadap perilaku pengendara yang juga dapat mengurangi dampak negatif kepadatan lalu lintas terhadap aspek ekonomi, kesehatan, hingga lingkungan.
Penerapan Congestion Tax di Beberapa Kota
Penerapan congestion tax di Singapura membuahkan berbagai hasil positif, di antaranya penurunan kemacetan sebesar 45 persen dan penurunan kecelakaan sebesar 25 persen. Hal ini berimplikasi pada tingkat kepadatan atau volume lalu lintas (yang diukur berdasarkan jumlah kendaraan di jalan, kecepatan rata-rata, dan tingkat kemacetan) yang mengalami penurunan sebesar 15 persen. Selain itu, sebanyak 65 persen dari para komuter (commuters) kini beralih menggunakan transportasi umum. Dari aspek lingkungan, penurunan tingkat kepadatan lalu lintas di ruas-ruas jalan yang sibuk berhasil mengurangi emisi CO2. Dari sisi pendapatan, Singapura mencatat penerimaan per tahun sebesar 80 juta SGD dan keuntungan sebesar 64 juta SGD.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, penerapan congestion tax di Stockholm pada tahun 2006 sempat menemui banyak protes dari penduduk. Namun, pendapat tersebut berubah setelah penerapan congestion tax membantu mengurai kemacetan di jalan. Tingkat kepadatan lalu lintas di Stockholm mengalami penurunan dari 450.000 kendaraan per hari pada tahun 2005 menjadi sekitar 350.000 kendaraan per hari pada tahun 2006. Akhirnya, congestion tax kemudian ditetapkan secara permanen pada tahun 2007.
Di London, congestion tax diterapkan mulai tahun 2003. Dalam satu tahun, jumlah kendaraan yang melintasi ruas-ruas jalan yang sibuk dan padat mengalami penurunan sebesar 18 persen, kemacetan berkurang 30 persen, dan kecepatan rata-rata kendaraan meningkat dari 8,8 mil per jam menjadi 10 mil per jam, kualitas udara juga membaik yang ditandai dengan penurunan emisi nitrogen oksida dan partikel halus dari kendaraan sebesar 12 persen.
ADVERTISEMENT
Penerapan congestion tax di Singapura, Stockholm, dan London menggunakan teknologi modern yang canggih. Singapura menggunakan Electronic Road Pricing (ERP) dengan teknologi Radio Frequency Identification (RFID). Teknologi ini mampu mendeteksi kendaraan melalui In-Vehicle Unit (IU) dan secara otomatis memotong biaya dari kartu prabayar pengendara. Di London, penerapan congestion tax menggunakan Automatic Number Plate Recognition (ANPR) yang dapat memindai plat nomor kendaraan yang memasuki zona yang terkena congestion tax dan secara otomatis menagih biaya tersebut kepada pengendara berdasarkan plat nomor yang terdaftar. Sementara itu, di Stockholm, congestion tax diterapkan melalui sistem gerbang tol dan kamera di atas jalan yang secara otomatis mencatat kendaraan dengan merekam plat nomor setiap kali melewati gerbang pembayaran pada hari kerja. Kendaraan dikenakan biaya yang beragam tergantung pada waktu dengan pengenaan tarif tertinggi saat jam sibuk dan tidak dikenakan biaya saat malam hari dan akhir pekan.
ADVERTISEMENT
Potensi Congestion Tax di Provinsi DKI Jakarta
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki wacana untuk menerapkan congestion tax dengan mencontoh skema Electronic Road Pricing (ERP) milik Singapura. Namun, hingga kini ERP masih berstatus uji coba dan belum diterapkan di DKI Jakarta. Namun, perencanaan tersebut sudah masuk ke dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.
Penerapan congestion tax di Provinsi DKI Jakarta memiliki potensi yang besar, mengingat jumlah kepemilikan kendaraan bermotor yang mencapai 21.856.081 unit pada tahun 2022 serta tingginya mobilitas penduduk yang dipengaruhi dan ditandai oleh peningkatan jumlah penduduk tiap tahunnya.
Namun, penerapan congestion tax juga berpotensi untuk menemui resistensi atau penolakan dari publik. Maka dari itu, diperlukan kajian mendalam terkait potensi penerapan congestion tax, di antaranya seperti melakukan uji kelayakan, mulai dari 1) menilai dampak ekonomi, sosial, lingkungan yang mungkin timbul akibat penerapan kebijakan ini, 2) mengevaluasi kesiapan fasilitas dan infrastruktur yang tersedia, 3) mengidentifikasi kelompok yang paling terdampak dari kebijakan ini, 4) melaksanakan uji coba untuk mengevaluasi kebijakan dan mengidentifikasi masalah yang mungkin timbul sebelum diterapkan secara luas, dan 5) mengembangkan skenario implementasi terbaik yang sesuai dengan kondisi lokal.
ADVERTISEMENT
Congestion tax merupakan langkah nyata sebagai upaya pemerintah dalam mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas. Namun, penerapan congestion tax tidak secara otomatis akan menyelesaikan masalah kepadatan lalu lintas di DKI Jakarta. Meskipun begitu, penerapan kebijakan ini merupakan langkah awal pemerintah untuk mengupayakan penanganan masalah kemacetan yang sudah terjadi sejak lama. Oleh sebab itu, pemerintah memegang peran yang sentral untuk memastikan kebijakan berjalan sesuai tujuan yang diharapkan apabila diterapkan secara luas di DKI Jakarta. Dengan perencanaan yang matang dan strategi yang tepat, kebijakan congestion tax diyakini dapat mengurai masalah kemacetan di kota-kota besar, terutama DKI Jakarta.