Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Antara Moralitas dan Hukum Alam: Mencari Makna Kebaikan dan Kejahatan
29 Mei 2024 13:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari CHRESTELLA IVANA WIDYAPUTRI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak zaman kuno, manusia telah mencoba memahami asal-usul kebaikan dan keburukan yang ada di dunia ini. Salah satu teori yang muncul adalah dualisme, kepercayaan bahwa ada dua kekuatan yang saling bertentangan: kebaikan dan keburukan, cahaya dan kegelapan. Teori ini menarik karena memberikan penjelasan sederhana tentang adanya kejahatan di dunia, namun juga mengundang pertanyaan mendalam tentang sifat Tuhan dalam agama-agama monoteistik.
Dalam pandangan dualisme, keburukan dilihat sebagai entitas yang terpisah dan sederajat dengan kebaikan. Ini jelas bertentangan dengan konsep monoteisme, di mana Tuhan diyakini sebagai sumber kebaikan yang mutlak dan tidak terbagi. Bagaimana mungkin ada kekuatan lain yang setara dengan Tuhan dan mampu menciptakan kejahatan? Pertanyaan ini telah menjadi perdebatan panjang di kalangan teolog dan filosof sejak dahulu.
ADVERTISEMENT
Salah satu argumen yang sering diajukan oleh penganut dualisme adalah bahwa keberadaan kejahatan di dunia ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan keberadaan Tuhan yang Maha Baik. Jika Tuhan benar-benar Maha Baik, mengapa Dia membiarkan penderitaan dan kejahatan terjadi? Bukankah ini menunjukkan adanya kekuatan lain yang berseberangan dengan kebaikan Tuhan?
Namun, argumen ini dapat dibantah dengan mengatakan bahwa kejahatan bukanlah entitas yang terpisah, melainkan hanya ketiadaan kebaikan. Sama seperti kegelapan hanyalah ketiadaan cahaya, kejahatan dapat dilihat sebagai ketiadaan kebaikan dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan ini, Tuhan tetap menjadi sumber kebaikan yang mutlak, dan kejahatan hanyalah akibat dari ketidaksempurnaan ciptaan-Nya.
Selain itu, dualisme juga menghadapi kelemahan logis. Jika kebaikan dan keburukan benar-benar terpisah dan saling bertentangan, bagaimana mungkin mereka bisa berinteraksi satu sama lain? Apakah mungkin bagi sesuatu yang benar-benar baik untuk dipengaruhi oleh kejahatan, atau sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa dualisme mungkin terlalu sederhana untuk menjelaskan kompleksitas alam semesta.
ADVERTISEMENT
Suatu individu dapat mencapai keadaan pikiran yang bebas dari keinginan, yang dikenal sebagai nirvana. Dalam nirvana, seseorang mencapai tingkat kesempurnaan dan kedamaian yang tidak terganggu oleh keinginan atau pikiran negatif lainnya. Mereka melihat realitas dengan kejelasan dan ketenangan yang mutlak, tanpa terjerat dalam siklus penderitaan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak terpenuhi. Sebaliknya, kepercayaan terhadap tuhan tidak begitu penting bagi mereka. Prinsip pertama agama monoteis adalah 'Tuhan itu ada. Apa yang Dia inginkan dari saya?' Prinsip pertama agama Buddha adalah ‘Penderitaan itu ada. Bagaimana cara menghindarinya?’
Ajaran Buddha tidak menyangkal keberadaan para dewa – mereka digambarkan sebagai makhluk perkasa yang dapat mendatangkan hujan dan kemenangan – namun mereka tidak mempunyai pengaruh terhadap hukum bahwa penderitaan timbul dari nafsu keinginan. Jika pikiran seseorang bebas dari segala nafsu keinginan, tidak ada tuhan yang dapat membuatnya sengsara. Sebaliknya, ketika nafsu keinginan muncul dalam pikiran seseorang, semua dewa di alam semesta tidak dapat menyelamatkannya dari penderitaan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pandangan dualistik ini juga dapat membahayakan karena dapat membenarkan tindakan kekerasan dan intoleransi terhadap pihak yang dianggap sebagai musuh atau perwakilan dari keburukan. Sejarah telah mencatat banyak konflik dan peperangan yang terjadi karena masing-masing pihak mengklaim diri sebagai perwakilan kebaikan dan menganggap pihak lain sebagai keburukan yang harus diperangi.
Oleh karena itu, mungkin lebih bijaksana untuk memandang kebaikan dan keburukan sebagai sebuah spektrum yang selalu hadir dalam kehidupan manusia, bukan sebagai dua kutub yang saling bertentangan. Setiap tindakan manusia mengandung unsur kebaikan dan keburukan, dan tugas kita adalah untuk terus berusaha meminimalkan keburukan dan memaksimalkan kebaikan dalam hidup kita sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, "The Battle of Good and Evil, The Law of Nature" merupakan pertanyaan abadi yang mungkin tidak akan pernah terjawab sepenuhnya. Namun, dengan terus memperdebatkan dan merefleksikan konsep ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas kehidupan manusia dan bagaimana kita dapat menjadi makhluk yang lebih baik di dunia ini.