Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM): Perlu Tidak Perlu

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
24 April 2021 9:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dok. pribadi
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan pemerintahan di kalangan kampus. Ada untuk tingkat fakultas, ada pula di tingkat universitas. BEM dijalankan oleh mahasiswa, dan untuk kepentingan mahasiswa. Begitulah kira-kira, meski saya tak begitu yakin, kerja-kerja eksekutif macam apa yang dikerjakan oleh badan seperti ini.
BEM merupakan terminologi paling umum yang digunakan. Lain kampus, bisa lain terminologi. Di samping istilah BEM, ada yang menyebutnya sebagai Pemerintah Mahasiswa (PEMA). Yang pasti semua istilah itu mengacu pada suatu pengertian pemerintahan.
Di Indonesia, dari masa ke masa, keberadaan BEM masih belum bisa lepas dari pertanyaan mengenai perlu-tidaknya badan tersebut. Tak banyak mungkin yang memusingkan pertanyaan itu. Barangkali hanya pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983 yang pernah sampai pada kesimpulan terkait badan ini: Tidak perlu.
ADVERTISEMENT
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Daoed Joesoef, mengusung sebuah kebijakan bertajuk Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Sebuah upaya mencegah kegiatan politik praktis di lingkungan kampus. Terlepas dari anggapan bahwa NKK-BKK merupakan tindakan represi membungkam kritisisme mahasiswa atas kebijakan-kebijakan orde baru.
NKK/BKK bertahan hingga tahun 1990. Sesudahnya, secara perlahan kampus mendapatkan kembali kebebasannya untuk berpolitik praktis. Kebebasan ini berlangsung hingga kini. Tentu tak ada niat menggugat kebebasan itu. Hanya saja keberadaan BEM sebagai pengejawantahan kebebasan itu perlu dipikirkan ulang. Sungguhkah ia diperlukan?
Coba kita melakukan pengujian dengan cara menghadap-hadapkan fungsi BEM dengan kemampuan mahasiswa sebagai individu dan kewajiban kampus. Pada dasarnya, kita akan menemukan fakta bahwa fungsi BEM tidak lain adalah sebagai perantara kewajiban kampus dengan hak mahasiswa. Sebuah relasi yang harusnya bisa diselenggarakan secara langsung, tanpa perantara.
ADVERTISEMENT
BEM memosisikan diri sebagai lembaga yang mewakili kepentingan-kepentingan mahasiswa. Adakah mahasiswa tak lagi punya kemampuan untuk mewakili kepentingannya sendiri? Di samping itu, masa-masa kuliah seharusnya dijadikan oleh para mahasiswa sebagai masa untuk belajar mengurus kepentingannya secara mandiri. Kalau selama empat tahun kuliah, menyerahkan kepentingannya begitu saja untuk diurus orang lain, kapan belajarnya? Mahasiswa jelas mampu mengurus kepentingan-kepentingannya di kampus. Dengan catatan, akses atas pemenuhan kepentingan itu tidak dihalangi, apalagi sampai dimanipulasi.
Tiada maksud untuk mengedepankan individualisme. Toh, banyak organisasi intra maupun ekstra kampus yang dengan tangan terbuka siap menerima mahasiswa yang ingin belajar tata kelola organisasi yang ideal.
BEM dan Politik Kampus
Keberadaan BEM tidak bisa dipisahkan dari wacana politik kampus. Karena dari proses politik kampus itulah BEM dilahirkan. Politik kampus, oleh sebagian mahasiswa disebut sebagai wadah pembelajaran bagi mahasiswa. Belajar apa? Saya tak tahu. Yang saya tahu, politik kampus itu ajang perebutan kekuasaan, yakni sebagai pimpinan BEM. Sudah, itu saja. Tidak kurang dan tidak lebih.
ADVERTISEMENT
Kalau ada yang bisa dipelajari, mungkin hanya pelajaran-pelajaran tentang bagaimana caranya menjatuhkan lawan politik dengan sentimen ras dan agama. Atau, bagaimana cara mendekati pimpinan kampus agar proposal permohonan dana bisa cair dengan mudah. Dan pelajaran-pelajaran sejenis yang sungguh, anda tak perlu kuliah S-1 untuk memahaminya dengan baik.
Politik dapat mengacu pada sebuah disiplin ilmu. Dapat diartikan sebagai suksesi kepala pemerintahan. Dapat pula dimaknai sebagai tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dengan keberadaan BEM, kata 'politik' dalam frasa 'politik kampus' lebih dekat artinya sebagai suksesi pimpinan BEM. Bukan lagi sebuah disiplin ilmu ataupun sifat-sifat alamiah manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Sekali lagi, anda sungguh tak perlu susah-susah kuliah S-1 hanya untuk menerjemahkan politik sebagai suksesi kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Politik di ranah akademik seharusnya mengacu pada kerja-kerja intelektual dalam rangka evaluasi dan pematangan konsep. Bukan malah praktik-praktik politik yang diasosiasikan dengan praktik politik yang sesungguhnya dalam pengertian penyelenggaraan pemerintahan. Praktik politik yang sarat tindakan-tindakan tercela. Dalam sudut pandang moral publik, maupun moral agama.
Tulisan ini saya sudahi sampai di sini. Perlu-tidaknya BEM tak perlu dijawab dengan kentara oleh tulisan ini. Setiap mahasiswa, dan yang pernah jadi mahasiswa cukup berpikir dan menimbang-nimbang kembali, sungguhkah keberadaan BEM memberi dampak positif bagi mahasiswa?
Massa dari BEM SI berunjuk rasa menolak Omnibus Law di kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (20/10). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan