Batak, Rantau, dan Mitos Ketidaksuburan

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
15 April 2024 10:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rumah Adat Batak Toba. Sumber: Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Rumah Adat Batak Toba. Sumber: Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Merantau, bagi orang Batak, menurut saya, jadi sesuatu yang makin problematis. Bagaimana konsep merantau (jika memang ada) dalam pemahaman orang Batak? Apa yang dibayangkan orang-orang Batak ketika merantau? Apakah merantau jadi semacam kewajiban bagi orang Batak?
ADVERTISEMENT
Untuk mendekati kebenaran apakah orang Batak punya konsep tentang merantau, kita tentu harus menyibak dulu, apa yang kita maknai sebagai merantau hari ini. Satu pengertian yang mungkin masih konsisten, yaitu bahwa merantau berarti meninggalkan kampung halaman, di mana kita lahir dan menghabiskan masa-masa kanak dan remaja. Menuju tempat yang tak punya pertalian apa-apa dengan kita. Kita tinggalkan itu untuk apa? Nah, di sini kita harus mulai teliti.
Moyang orang Batak dahulu meninggalkan teritorinya untuk mencari wilayah lain untuk mereka tinggali. Alasannya, tanah tak bertambah sebagaimana manusia. Tanah yang ada tak lagi cukup untuk dibagikan pada orang-orang. Maka mengembara mencari tanah-tanah baru jadi mendesak. Dengan pengembaraan mencari wilayah baru ini, tersebarlah orang-orang Batak di tempat-tempat baru.
ADVERTISEMENT
Pengembaraan tersebut tidak sesederhana yang kita pikirkan, tentu. Jika kelompok pencari wilayah baru ini menemukan wilayah yang sudah dihuni, konflik boleh jadi sebuah keniscayaan. Perang bisa tak terelakkan. Maka persebaran lanjutan terjadi, dengan eksodusnya kelompok-kelompok yang kalah berperang.
Tidak hanya konflik antar kelompok, konflik internal kelompok pun bisa memicu eksodus serupa. Misalnya, ada kondisi ketakpercayaan dalam kelompok marga di sebuah kampung. Lalu salah seorang di kampung itu mulai memosisikan orang-orang di kampung itu sebagai musuh, dan menyerang mereka. Akhirnya, kelompok yang diserang, dan tak sanggup melawan, memilih keluar dari kampung, dan mencari wilayah baru untuk mereka diami. Hal ini, misalnya, dapat dilacak dari keberadaan perkampungan kelompok marga di wilayah-wilayah yang sama sekali tak punya kait kelindan dengan sejarah marga mereka.
ADVERTISEMENT
Ini dulu. Lantas bagaimana dengan sekarang? Apa motif orang-orang Batak keluar dari teritorinya dan menjajal wilayah-wilayah baru? Beberapa kemungkinan yang dapat kita sebut: bersekolah, mencari pekerjaan dengan upah besar, mencari pengalaman bertahan hidup, mencari sensasi baru karena bosan pada keberulangan keseharian di kampung.
Ragam alasan di atas masuk akal sebagai sebuah kepastian sejarah peradaban. Tapi ada satu alasan yang problematis, dan telah sekian lama direproduksi, sampai-sampai menyelusup ke dalam kesadaran orang-orang Batak dan dianggap sebagai kebenaran. Alasan itu adalah, tanah di kampung tidak subur!
Alasan ini butuh penjelasan lebih kompleks. Berbeda dengan alasan-alasan lain yang saya sebut sebelumnya. Soal bersekolah misalnya. Tentu orang Batak harus keluar dari wilayahnya, sebab di luar terdapat pilihan yang lebih variatif untuk bersekolah. Begitu pula dengan pekerjaan berupah besar. Di luar, hal ini dimungkinkan oleh perputaran uang yang kencang. Tidak seperti di kampung di mana pilihan pekerjaan tidak bervariasi. Dan orang-orang pada umumnya menanam apa yang mereka makan. Begitu pula dengan alasan-alasan lain, bisa dijelaskan dengan logika sederhana yang sama.
ADVERTISEMENT
Tapi bagaimana dengan masalah kesuburan? Adakah penelitian yang bilang kalau tanah di kampung-kampung orang Batak tidak subur? Lagipula, tidak ada tanah yang tidak subur dengan sendirinya. Maksudnya, bisa saja ia disebut tidak subur karena tidak cocok untuk tanaman tertentu. Atau, disebut tidak subur karena tingkat produksi yang rendah. Dan ya, ini semua relatif. Tidak cocok untuk satu jenis tanaman, tapi cocok untuk jenis tanaman yang lain. Tidak memproduksi banyak, karena tidak ada teknologi untuk itu, atau memang tak ada kemendesakan untuk itu (kembali ke prinsip 'menanam apa yang dikonsumsi').
Ihwal ketidaksuburan ini dengan demikian adalah motif yang mengawang. Belum pernah dijelaskan secara komprehensif. Dengan kata lain, ia hanya mitos. Yang kita bisa dapatkan malah penjelasan yang berkebalikan dari mitos ini. Penelitian Togar Nainggolan, dalam disertasinya berjudul “Batak Toba di Jakarta: Kontinuitas dan Perubahan Identitas”, tidak menyebutkan ketidaksuburan sebagai motif orang Batak Toba bermigrasi. Adalah fakta bahwa orang Batak melihat peluang lebih besar di tempat lain. Tapi keliru jika kemudian muncul kesimpulan bahwa di kampung seakan tidak ada apa-apa.
ADVERTISEMENT
Dugaan saya, kesimpulan prematur semacam itu bermula dari narasi yang disebarluaskan oleh perantau itu sendiri. Mereka mendapatkan banyak di perantauan, apa yang tidak mereka dapatkan di kampung halamannya. Lalu secara serampangan menyimpulkan kampung halaman sebagai tanah yang tidak subur. Narasi ini pula ditanamkan kepada generasi yang lahir kemudian, yang lantas melihat kampung halamannya sendiri sebagai daerah yang tidak subur. Cara pandang ini diteruskan ke generasi-generasi berikutnya.
Cara pandang ini dilanggengkan pula dengan romantisasi pada pencapaian-pencapaian di daerah rantau. Dengan pemahaman bahwa kampung halaman tidak subur, maka pencapaian di perantauan tampak sebagai sesuatu yang wah banget. Lihat saja, misalnya, bagaimana politisi Batak mem-branding dirinya di musim-musim pemilu.
“Poltak, Anak Petani dari Desa menuju Senayan”
ADVERTISEMENT
“Polan, Si Anak Kampung”
Maksud saya, so what gitu loch? Narasi semacam ini seakan-akan hendak mengatakan bahwa ada jurang dalam yang memisahkan keterbatasan kehidupan perdesaan dengan keserbaadaan kehidupan perkotaan dalam indikator yang sama. Salah satu implikasinya ya itu tadi, desa (kampung halaman) ditampilkan sebagai lebih tandus ketimbang kota (daerah perantauan).
Peluang yang lebih besar di daerah perantauan barangkali membuat orang Batak perantau berhasil meningkatkan taraf hidupnya. Tapi tidak serta merta menjadikan kampung halamannya seolah antah berantah yang tidak bisa menghidupi pemukimnya. Kampung halaman juga punya kehidupannya sendiri, sebagaimana daerah perantauan punya kehidupannya sendiri. Menghadap-hadapkannya dalam konteks ‘mana lebih baik, mana lebih buruk’ adalah sesuatu yang problematis.