Benarkah Negara Berniat Atasi Kekerasan?

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
13 September 2021 13:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fire Burning House. Foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Fire Burning House. Foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama kembali terjadi. Di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, rumah ibadah jemaat Ahmadiyah dirusak, bahkan dibakar oleh sekelompok orang. Mereka tak terima. Ajaran Ahmadiyah disebut sesat dan menyesatkan. Selain itu, keberadaan Ahmadiyah serta praktik-praktik beragamanya dinilai telah menodai agama Islam.
ADVERTISEMENT
Peristiwa di Sintang ini lagi-lagi menambah daftar panjang tindakan persekusi terhadap jemaat Ahmadiyah. Kasus intoleransi yang menimpa jemaat Ahmadiyah kian langgeng. Menimbun trauma dalam diri mereka yang jadi korban persekusi, termasuk perempuan dan anak-anak sebagai kelompok rentan.
Deretan kejadian memilukan ini membuat banyak orang bertanya-tanya; langkah apa saja yang telah diambil pemerintah untuk melindungi jemaat Ahmadiyah dari persekusi?
Pertanyaan ini barangkali bisa bikin banyak orang geram. Ahmadiyah kadung dianggap aliran sesat dan melecehkan agama Islam. Tak ada alasan untuk melindungi. Dan lagi, adalah Jemaat Ahmadiyah yang memicu kemarahan, wajar kalau mereka diamuk. Anggapan-anggapan semacam inilah yang selama ini menormalisasi persekusi terhadap jemaat Ahmadiyah. Ditambah lagi, negara memilih untuk tidak hadir melindungi segenap warganya.
ADVERTISEMENT
Berebut sudut pandang
Ketidakhadiran negara dalam konflik-konflik horizontal yang berujung pada persekusi membuat masyarakat berebut sudut pandang. Artinya, masing-masing kelompok masyarakat cenderung memandang persoalan dari sisi di mana mereka adalah pihak yang terzalimi. Dan karena ketidakhadiran negara itu pula, setiap kelompok yang merasa terzalimi ini jadi merasa punya hak untuk melakukan pembalasan.
Dalam kasus Ahmadiyah, terdapat kelompok umat Islam yang merasa bahwa praktik beragama Ahmadiyah telah menodai Islam. Sementara, jemaat Ahmadiyah memahami bahwa hak untuk memeluk agama jelas-jelas dijamin oleh UUD NRI 1945. Jemaat Ahmadiyah pun teguh memegang kepercayaannya, sementara di seberang, kemarahan kelompok yang merasa dilecehkan kian terakumulasi, bagai bara dalam sekam.
Kemarahan kelompok yang merasa terlecehkan ini tidak langsung berubah menjadi kekerasan fisik. Biasanya akan diawali dengan upaya menghambat jemaat Ahmadiyah beribadah. Upaya ini berupa larangan resmi dari pemerintah setempat yang berpedoman pada Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri), dan pasal 156a KUHP yang bersumber dari Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama).
ADVERTISEMENT
Larangan resmi dari pemerintah inilah yang membuat jemaat Ahmadiyah kian terpojok. Kehilangan kebebasan dan ruang untuk beribadah. SKB 3 Menteri tidak memberi perintah pembubaran Ahmadiyah, namun melarang penyebaran, penafsiran, serta praktik yang dianggap menyimpang dari inti ajaran agama Islam. Walaupun tidak ada perintah pembubaran, substansi SKB 3 Menteri ini pada dasarnya telah “mematikan” Ahmadiyah. Bagaimana bisa Ahmadiyah dibiarkan eksis, tapi tak bisa mempraktikkan ajaran yang mereka yakini?
Saya sendiri, dan barangkali kebanyakan orang di negeri ini, hampir tidak mengetahui tingkat penerimaan jemaat Ahmadiyah terhadap regulasi ini. Posisi mereka sebagai kelompok terpinggirkan membuat mereka kesulitan bersuara. Kalaupun bersuara, mungkin tak ada yang sudi meneruskan suara mereka. Atau, suara-suara itu justru diputus di tengah jalan, sehingga tak sampai ke telinga orang-orang yang masih mencintai kebebasan di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Penerimaan jemaat Ahmadiyah terhadap SKB 3 Menteri ini menjadi sangat perlu dipahami. Konflik yang masih saja terjadi antara jemaat Ahmadiyah dengan kelompok lain yang tidak menghendaki keberadaan mereka agaknya mengindikasikan bahwa Ahmadiyah tidak sepakat dengan ketentuan SKB 3 Menteri. Kalau demikian, maka SKB 3 Menteri ini sebenarnya hanya perintah sepihak yang tidak mengakomodasi hak-hak dasar jemaat Ahmadiyah sebagai warga negara.
SKB 3 Menteri juga pada kenyataannya kerap menjadi dalih pembenaran atas tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Tak tanggung-tanggung, 13 (tiga belas) tahun sejak SKB 3 Menteri dikeluarkan, kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah masih saja terjadi. Dan bukannya dikoreksi, regulasi ini malahan bisa dengan mudah menormalisasi aksi-aksi kekerasan tersebut. Menurut saya, SKB 3 Menteri ini adalah hasil dari praktik pembentukan hukum yang mengabaikan tanggung jawab sosial (socially irresponsible).
ADVERTISEMENT
Pola pikir serta kebijakan yang permisif dan konformis
Langgengnya kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah tidak terlepas dari pola pikir serta kebijakan yang permisif dan konformis, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pola pikir yang permisif dapat dilihat ketika masyarakat memilih untuk diam melihat persekusi terhadap jemaat Ahmadiyah.
Pola pikir semacam ini berangkat dari regulasi seperti SKB 3 Menteri yang melarang praktik keagamaan Ahmadiyah: kalau sudah dilarang tapi masih dilakukan, maka layak ditindak. Sementara pokok persoalan di balik pelarangan itu tak lagi diperdebatkan. Dimensi kompleksitas sebelum SKB 3 Menteri semakin dilupakan. Padahal, jika SKB 3 Menteri yang dijadikan titik awal dalam upaya memahami persoalan ini, jemaat Ahmadiyah tentu sangat rentan disalahkan dan dituduh melawan hukum.
ADVERTISEMENT
Demikian halnya dengan pemerintah, yang cenderung melakukan pembiaran atas kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah. Pejabat-pejabat pengambil keputusan, di tingkat pusat dan daerah, selalu saja mengecam tindakan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah. Pernyataan kecaman mereka berseliweran di media massa. Intinya selalu sama: kekerasan atas dasar apapun tidak bisa dibenarkan.
Namun, sungguhkah demikian? Benarkah para pengambil keputusan di negeri ini memiliki komitmen untuk menghentikan kekerasan? Betulkah mereka mengecam pihak-pihak yang melakukan kekerasan? Jika melihat kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak berupaya melindungi jemaat Ahmadiyah, tak susah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kalau menyaksikan upaya pemerintah yang justru sibuk memastikan kelompok intoleran tidak tersinggung dan ternodai, semakin mudah menjawab pertanyaan ini.
Komitmen pemerintah untuk benar-benar memutus rantai kekerasan memang akan sangat terlihat dari pola kebijakan yang diambil. Adakah kebijakan pemerintah berorientasi melindungi dan menjamin kebebasan kelompok rentan, atau justru cenderung permisif dan konformis, mengikuti pola pikir kelompok-kelompok yang tidak mau menerima keberagaman sebagai suatu realitas sosial.
ADVERTISEMENT