Kritik yang Membangun

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
28 Januari 2024 11:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kritik. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kritik. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Istilah 'kritik yang membangun' barangkali sudah kerap kita baca atau dengar. Mulai dari penutup kata pengantar sebuah buku, sampai penutup presentasi di ruang-ruang perkuliahan. Tetapi, apakah yang dimaksud dengan kritik itu? Dan apa pula arti dari penambahan embel-embel 'membangun' itu?
ADVERTISEMENT
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kata 'kritik' sebagai kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
Adapun kata 'membangun' (dari kata dasar 'bangun') didefinisikan sebagai bangkit berdiri, naik (tentang awan dan sebagainya), mendirikan (mengadakan gedung dan sebagainya), membina, dan bersifat memperbaiki. Nampaknya, pelekatan kata 'membangun' di belakang kata 'kritik' mengacu pada 2 definisi terakhir ini.
Maka, istilah 'kritik yang membangun' dapatlah diartikan sebagai kritik yang membina, dan bersifat memperbaiki. Tetapi, adakah kritik yang tidak bersifat membina dan memperbaiki? Di sinilah letak persoalannya!
Kenyataannya, kata memang bersifat politis, digunakan untuk menegosiasikan ideologi, mengadu wacana, dan akhirnya melahirkan praktik sosial berdasarkan wacana dominan. Tempelan kata 'membangun' di belakang kata 'kritik' hendak memenangkan wacana bahwa yang namanya kritik haruslah bersifat membina dan memperbaiki.
ADVERTISEMENT
Alhasil, praktik sosial yang lahir kemudian adalah: kritik dianggap bukan kritik jika hanya bersifat menjatuhkan, merubuhkan. Selanjutnya, lahirlah sebutan serta ungkapan berkonotasi negatif, semisal: tukang kritik, tahunya cuma mengkritik, kritik tanpa solusi, dan seterusnya.
Padahal, kritik yang bersifat merubuhkan ini pun ditentukan secara subjektif oleh orang yang membaca atau mendengar kritik tersebut. Sama halnya dengan sifat membangun dalam kritik yang juga disimpulkan secara subjektif. Dengan kata lain, tidak ada konsensus untuk kedua ungkapan tersebut. Pada akhirnya, setiap orang punya kebebasan penuh buat menyimpulkan, apakah sebuah kritik bersifat membangun atau menjatuhkan.
Lantas, apa salahnya sih kalau kritik itu dibarengi dengan solusi dan hal-hal lain yang bersifat membangun? Tentu tidak ada salahnya. Malah baik. Cuma "baik". Tidak serta merta menjadikannya "lebih baik". Kalau begitu, apa yang hendak saya problematisasi?
ADVERTISEMENT
Praktik sosial penggunaan istilah 'kritik yang membangun' itu perlu diperdebatkan lagi. Ya, perlu dikritik! Sebab ungkapan tersebut telah menciptakan semacam paradoks yang justru mereduksi esensi kritik. Sebab ungkapan tersebut telah melahirkan istilah bertendensi negatif yang mengacaukan makna kritik itu sendiri.
Akademisi dicap tukang kritik, oposisi rezim diolok-olok hanya bisa mengkritik tanpa memberi solusi, dan seterusnya. Kalau sudah begini, gagasan-gagasan dalam sebuah kritik bakal mati (dimatikan) dengan mudah, bahkan sebelum mencapai arena pertarungan wacana. Wacana dominan akan langgeng dengan cara seperti ini.
Saya pernah dengar analogi untuk kondisi ini. Kurang lebih begini:
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, gagasan si B bahwa berdiri terlalu mepet jalan raya itu berbahaya, serta uraian-uraian yang menjelaskan kenapa hal itu berbahaya, lenyap begitu saja. Padahal, prasyarat kritik sebagai kritik telah terpenuhi kala si B memberikan pertimbangan kenapa berdiri terlalu mepet jalan raya itu berbahaya.
Selebihnya, kembali kepada si A, bagaimana ia akan mengatur posisinya agar lebih aman. Apakah ia akan mundur selangkah, atau dua langkah, atau sebelas langkah. Namun hanya karena si B tidak mengatakan berapa langkah si A harus mundur, maka gagasan si B jadi tak ada gunanya.
Begitulah kritik. Apakah sebuah kritik bersifat membangun atau malah merubuhkan, ditentukan secara subjektif oleh si penerima kritik. Mengharapkan kritik bersifat membangun adalah konyol belaka. Kekonyolan yang bermula dari kekonyolan dikotomi dangkal antara kritik yang membangun dan kritik yang menjatuhkan.
ADVERTISEMENT
Tidak ada kritik yang membangun (konstruktif) dengan sendirinya. Dan tidak ada kritik yang merubuhkan hanya untuk keisengan semata, sebagaimana selama ini kerap disalah mengerti oleh banyak orang sebagai kritik yang destruktif (sebagai lawan dari kritik konstruktif).
Konstruksi dilakukan setelah kritik. Dapat berupa penambahan atau pelengkapan pada materi yang dikritik. Atau boleh jadi membangun-ulang (rekonstruksi) dari awal. Dan pada dasarnya, proses membangun maupun membangun-ulang ini dilakukan oleh si penerima kritik alih-alih si pemberi kritik. Sementara istilah ‘kritik yang membangun’ mengesankan pembebanan tanggung jawab pada si pengkritik untuk secara langsung membangun maupun membangun-ulang materi yang dikritiknya.
Adapun yang selama ini dipahami sebagai daya destruktif dari sebuah kritik sebenarnya bukanlah daya rusak semata. Apa yang dimaksud sebagai destruksi (kalaulah banyak orang kadung menggunakan istilah ini untuk pemaknaan sehari-hari) lebih kepada dekonstruksi, yakni mempreteli (taking to pieces), bukan merusak atau menjatuhkan atau merubuhkan.
ADVERTISEMENT
Walau memang merusak, menjatuhkan, atau merubuhkan dapat pula diartikan sebagai kegiatan mempreteli, mempreteli tidak serta merta berarti merusak. Mempreteli sebagai arti dekonstruksi adalah kegiatan mempreteli untuk kemudian membangun kembali. Itulah kenapa, hari ini kata ‘dekonstruksi’ telah pula dimaknai sebagai proses ‘penataan-ulang’.
Menghadap-hadapkan kritik yang membangun dengan kritik yang menjatuhkan adalah kesesatan berpikir. Sebab kedua istilah itu pun sudah problematis dari sononya. Dikotomi ini justru telah–dan berpotensi semakin menyesatkan cara berpikir orang-orang terhadap kritik.
Pun saya tak bisa mengharapkan Anda berhenti narsis, atau berubah jadi orang yang sanggup dipreteli. Saya hanya bisa bertanya, Anda tipe yang mana?