Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Lampu Merah Berikutnya
24 Mei 2024 13:22 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak terasa petang sudah membukakan pintu bagi senja. Saya masih saja berbaring di atas tikar kusam di kontrakan. Tikar itu saya gunakan sejak tahun pertama kuliah. Sekarang saya sudah sarjana. Tak perlu berlebihan membayangkannya. Saya merawatnya dengan baik, jadi masih layak pakai. Tapi saya tak hendak membicarakan tikar.
ADVERTISEMENT
Pada saat-saat tertentu, saya merasa telah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk gawai dan segala hiburan yang disediakannya: gambar berkualitas tinggi di Instagram, teks-teks panjang dengan beragam topik di Facebook, hingga informasi terbaru di Twitter. Pada petang yang saya ceritakan, perasaan itu datang.
Mode pesawat ponsel saya aktifkan. Mata saya memejam sejenak. Tak lama, saya bangkit dan meraih sebuah buku dari raknya yang berada tak jauh dari tempat saya tidur-tiduran sejak pagi tadi. Duduk bersila, saya membolak-balik buku berjudul Kisah Perjalanan itu. Penulisnya adalah Syarkawi Manap, seorang mahasiswa yang berujung menjadi political outcast alias eksil pasca peristiwa berdarah di bulan September 1965.
Salah satu halaman buku itu memuat foto para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka ada berlima: B. O. Hutapea, Sudisman, D. N. Aidit, M. H. Lukman, dan Nyoto. Mungkin karena mereka politikus, saya langsung teringat pada sesuatu yang beberapa hari belakangan tak henti-hentinya berseliweran di lini masa media sosial: baliho para politikus oportunis hilang kepekaan.
ADVERTISEMENT
Adapun baliho milik Puan Maharani menjadi yang paling mencolok di antara deretan baliho itu. Tak heran, ia ketua DPR RI. Di tengah pandemi yang sudah merampas banyak dari warga, baliho raksasa, bukannya meringankan beban, malah mengotori ruang-ruang publik. Sejauh mata memandang, ada wajah sumringah Puan. Rasanya seperti dikepung oleh puluhan pasang mata dengan tatapan intimidatif. Bagaikan hidup dalam novel George Orwell, 1984.
Satu hal lagi yang membuat baliho Puan mencolok ialah sebaris kalimat yang membuat kening mengerut. Kepak Sayap Kebhinnekaan, demikian bunyi kalimat itu. Barangkali kita tahu kalau kebhinnekaan itu adalah keberagaman. Satu kata yang menggambarkan komposisi masyarakat Indonesia. Tapi apanya yang bersayap? Sayap siapa yang dikepak? Aneh nian kalimat itu. Tidak jelas. Jauh dari persuasif, tidak pula deskriptif. Puan harusnya cocok jadi penyair.
ADVERTISEMENT
Entah siapa dalang di balik tiga kata ajaib itu. Pastinya bukan Chairil Anwar. Terakhir saya dengar, Chairil menyumbang tiga kata pada lukisan Affandi. Hasilnya, kata-kata itu membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk merdeka. Jadi, jelas bukan Chairil yang empunya kata-kata di baliho Puan.
Ingatan traumatis akan baliho Puan ini tiba-tiba saja mendorong saya mengambil tindakan terhadap foto para petinggi PKI yang saya temukan di buku Syarkawi Manap. Saya lalu mengambil gambar foto tersebut dengan kamera ponsel saya.
Sekonyong-konyong saya edit dengan menambahkan tiga kata di baliho Puan ke gambar tersebut. Gambar itu kemudian saya unggah ke Instagram. Potret lima orang petinggi PKI, dihiasai tulisan Kepak Sayap Kebhinnekaan. Siapa tahu bisa menghibur mereka yang jengah disesaki oleh baliho Puan, pikir saya.
ADVERTISEMENT
Menjelang malam, saya memutuskan pergi ke pusat kota. Saat dihentikan oleh lampu merah, saya mengedarkan pandang ke sekitar. Benar saja, Puan Maharani menatap saya. Senyumnya dikulum. Aduhai, isn’t she lovely? kata Stevie Wonder.
Saya meraih ponsel dari saku jaket dan hendak memotret baliho Puan ketika lampu bertukar hijau. Lekas-lekas saya tancap gas. Saya kembalikan ponsel ke saku tanpa sempat memotret senyum Puan Maharani. Tak apa, akan saya coba di lampu merah berikutnya.
Medan, September 2021.