Lapisan Kangen dan Identitas

Christiaan
Bergiat di Beta Martapian Project
Konten dari Pengguna
25 Juni 2024 17:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: https://unsplash.com/photos/aerial-view-photography-of-group-of-people-walking-on-gray-and-white-pedestrian-lane-n31JPLu8_Pw
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: https://unsplash.com/photos/aerial-view-photography-of-group-of-people-walking-on-gray-and-white-pedestrian-lane-n31JPLu8_Pw
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Itulah yang saya rasakan ketika pada awal tahun 2024 kemarin, saya tinggal beberapa bulan di Jakarta. Di sebuah permukiman di belakang Gedung STIS, di mana semerbak tai kucing adalah hal biasa.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, saya tinggal di Kota Medan, sejak kuliah tahun 2017. Makanya, kalau saya ke Jakarta, saya tidak termasuk di barisan BTL alias Batak Tembak Langsung. Sebuah seloroh merujuk pada orang-orang batak yang dari kampungnya di Sumatera Utara, langsung merantau ke Pulau Jawa. Guyon ini tidak disematkan pada mereka yang sebelum merantau ke luar pulau, telah lebih dulu mengadu nasib di kota-kota terdekat yang ada di Sumatera Utara.
Soal lapisan identitas, begini maksud saya. Selama tinggal di Kota Medan, kesadaran identitas saya sekadar kesadaran sebagai orang batak toba. Mereka yang bukan orang batak toba saya anggap sebagai orang asing. Tentu anggapan ini tidak berarti apa-apa pada rasa tenggang rasa. Saya tetap bergaul erat dan santai dengan mereka yang datang dari latar kebudayaan yang berbeda. Saya hanya menganggap bahwa kami berbeda.
ADVERTISEMENT
Tapi ini juga tidak berarti saya punya kesadaran identitas yang kuat sebagai orang batak. Pasalnya, orang batak dapat Anda temukan di setiap jengkal Kota Medan. Ini bisa berarti banyak hal: komunikasi dengan bahasa batak, daging B2 alias babi yang super aksesibel, gereja yang cenderung aman, dan ekspresi budaya batak lainnya yang bisa berjalan lancar jaya sentosa.
Tinggal di lingkungan seperti itu, tentu yang namanya homesick hanya bualan bagi saya. Sebaliknya, saya merasa kelewat feel at home terus menerus. Sampai-sampai, pas bangun tidur, saya kadang lupa, sedang berada di Medan atau di rumah saya di dekat Danau Toba sana. Situasi ini tak membuat identitas kebatakan saya menguat. Hidup sebagai orang batak di kampung halaman hanya terpisah segaris benang tipis dengan hidup sebagai orang batak di Kota Medan.
ADVERTISEMENT
Kalau dipikir-dipikir sih, ini karena ekspresi kultural batak—sebagaimana saya sebutkan tadi, tidak mengalami tekanan sedemikian rupa. Orang bebas saja mau bikin pesta nikahan sampai jam sepuluh malam. Anak-anak muda batak tak punya beban bernyanyi di kedai hingga jam dua belas malam (saya yang orang batak juga sering terganggu, jadi jangan enggan menegur tongkrongan batak degil begini ya).
Kondisi berbeda dialami oleh orang batak di perantauan yang cukup “jauh”, di mana ekspresi kultural kelompok minoritas tidak selalu mudah untuk diejawantahkan. Kawan saya yang merantau ke Aceh, misalnya, mengaku harus hati-hati dalam segala hal yang berbau batak dan kristen. Miskomunikasi dikit, bisa ribet urusannya. Dia tentu takut kena persekusi.
Alhasil, dia harus pandai-pandai beradaptasi. Kenyataan ini juga mendorong dia untuk mencari sebanyak mungkin teman sesama batak di sana. Termasuk bersahabat dengan aparat—polisi maupun tentara, sebagai jaga-jaga, kalau-kalau terjadi peristiwa yang tak diinginkan. Ya, setidaknya dia punya tempat pengaduan. Dorongan-dorongan semacam ini jelas tak begitu terasa jika dia tinggal di Kota Medan.
ADVERTISEMENT
Kawan saya ini juga bercerita tentang susahnya mencari daging babi. Hasrat untuk menyantap daging babi tak bisa dipenuhi dengan segera. Maka tak heran kalau kawan saya ini mengalami homesick di saat-saat dia tak bisa memenuhi hasratnya makan daging babi. Lagi-lagi, hal yang tak saya rasakan sama sekali di Kota Medan, di mana asap babi panggang bisa dengan mudah lolos ke jalan raya.
Belakangan, saya merasakan hal yang sama ketika tinggal beberapa waktu di Jakarta. Hal-hal yang bisa saya dapatkan dengan mudah di Medan, tidak semudah itu saya dapatkan di Jakarta. Hal ini lantas mendorong saya untuk mencari tempat-tempat di mana saya bisa feel at home: mencari tongkrongan orang batak, mencari makanan batak, beribadah ke gereja batak, dan seterusnya. Singkatnya, saya merindu pada Kota Medan karena apa-apa yang tadinya saya rasa sangat aksesibel di sana, tidak lagi saya rasakan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Ketika saya bilang saya rindu Medan, itu artinya saya merindukannya secara utuh. Saya, merindukannya bukan sebagai orang batak, tapi sebagai Orang Medan. Nah, inilah yang saya maksud sebagai lapisan kangen. Saat tinggal di Medan sebagai perantau, yang saya kangenin adalah kampung saya di Toba. Kala saya berada di Jakarta, saya malah rindu pada Medan. Begitulah saya menyadarinya. Lapisan identitas saya tersingkap beriringan dengan lapisan kangen saya.
Pasca dari Jakarta, saya merantau lagi ke Kota Jambi. Di kota ini, saya kembali merasakan lapisan identitas saya “dikuliti”. Tiap berkenalan dengan orang-orang lokal dan memperkenalkan diri sebagai Orang Medan, seringkali mereka menyebut marga-marga dari etnis yang beragam, seperti Mandailing, Karo, Nias, hingga Melayu dan Jawa. Dan saya menangkap kesan bagaimana mereka mengidentifikasi entitas yang bermacam-macam ini sebagai “satu”, yaitu Orang Medan!
ADVERTISEMENT
Perbincangan seperti inilah yang kemudian menyentil kesadaran saya akan lapisan identitas. Di satu sisi, hal ini memang dapat dikatakan sebagai simplifikasi. Ngapain juga ribet memahami komposisi penduduk sebuah kota.
Di sisi lain, hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat memandang kota sebagai sebuah identitas kolektif warganya. Saya merasa tersentil justru karena saya merasa bahwa saat tinggal di Medan, saya cenderung mengidentifikasi diri dengan cara yang sektarian. Sesuatu yang malah usang, tidak berlaku ketika saya keluar Medan.
Kesadaran identitas semacam ini saya pikir bisa jadi lecut bagi warga sebuah kota. Agar selalu mengingatkan diri untuk mengaktivasi ruang di mana mereka tinggal. Tak pelak, selalu ada persoalan sistemik yang membayang-bayangi sebuah kota. Tapi memelihara pesimisme juga adalah pekerjaan yang sia-sia.
ADVERTISEMENT
Kalimat terakhir di atas mengarah ke mana? Ya, sejauh yang saya amati, di kota-kota di Indonesia selalu saja muncul narasi negatif. Kota Medan misalnya, yang terkenal—dan semakin dikenalkan dengan para akamsi-nya yang doyan nyabu. Sampai-sampai material besi fasilitas publik dimaling demi membeli narkotika a.k.a. mompa. Lihat juga Jogja, yang beberapa tahun belakangan mulai di-deromantisasi dengan persoalan klitih, sampah, krisis air, marginalisasi, dan sebagainya.
Perspektif kritis jelas diperlukan. Masalah sistemik harus diselesaikan sampai ke akarnya. Tapi melulu menarasikan sebuah kota sebagai Gotham City—merujuk pada kotanya Batman yang dilingkupi kejahatan, adalah becandaan yang makin ke sini makin tidak lucu. Alegori sebagai kritik semacam ini tetap dibutuhkan. Tapi dengan kesadaran identitas sebagai warga kota, sudah selayaknya terus diimbangi dengan advokasi dan aktivasi ruang.
ADVERTISEMENT
Demikianlah, kangen di lapisan tertentu selaras dengan kesadaran identitas di lapisan tertentu pula. Bisa menikmati setiap lapis kerinduan ini adalah berkah, sebab dengan begitu, kita pun menyadari lapisan-lapisan identitas kita. Kalau sudah sadar memangnya kenapa? Kalau saya sih jadi lebih bersyukur dan berusaha selalu menghargai sesama.