Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Layu Sebelum Berkembang
13 Oktober 2021 13:07 WIB
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin Anda pernah mendengar yang namanya Burgerlijk Wetboek (BW), atau Wetboek van Koophandel (WvK), atau Wetboek van Strafrecht (WvS)? Jika Anda tidak pernah mendengarnya, barangkali Anda pernah mendengar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)? Lantas, tahukah Anda, kalau tiga kitab undang-undang yang sebut terakhir adalah terjemahan dari tiga kitab undang-undang yang saya sebut di awal?
ADVERTISEMENT
Ya, demikianlah adanya. BW, WvK, dan WvS adalah produk hukum di masa kolonial yang masih dipakai hingga hari ini. Memang benar telah dilakukan penyesuaian di sana-sini. Namun, konsep dan paradigmanya masih tetap sama: diskriminatif, menghambat mobilitas masyarakat pribumi, dan memarginalkan masyarakat pribumi. Singkatnya, hukum kolonial bertujuan untuk melanggengkan kolonialisme itu sendiri.
Sangat wajar jika di kemudian hari, banyak orang bertanya-tanya; kenapa hukum-hukum kolonial itu masih digunakan hingga hari ini? Pertanyaan ini rupa-rupanya pernah jadi perdebatan hukum paling panas di tahun 1960-an.
Menurut Wirjono Prodjodikoro¹, Indonesia yang telah memerdekakan diri dari belenggu penjajahan Belanda, seharusnya tak lagi memakai hukum dan perundang-undangan yang dibuat di masa kolonial. Menurutnya, hukum kolonial tidak lagi sesuai dengan situasi Indonesia merdeka. Hukum kolonial bertujuan melanggengkan kekuasaan pemerintah kolonial. Sesuatu yang dilawan oleh Indonesia mati-matian. Maka menjadi paradoksal, jika Indonesia merdeka justru mewarisi hukum kolonial yang tidak sejalan dengan semangat perjuangan kemerdekaannya.
ADVERTISEMENT
Wirjono mengatakan bahwa segala peraturan warisan Belanda seharusnya tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan semangat UUD 1945. Lebih jauh, Wirjono juga menyatakan bahwa semua ketentuan BW dan WvK harus dipandang tak lagi mempunyai kekuatan hukum. Kitab undang-undang kolonial itu, paling banter bisa digunakan hanya sebagai kitab koleksi komentar tentang hukum perdata dan hukum dagang saja. Dengan kata lain, peraturan kolonial tersebut bisa digunakan hanya sebagai sumber hukum materil, bukan lagi sumber hukum formil.
Semasa menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, Wirjono selalu menyarankan kepada para hakim di pengadilan-pengadilan di seluruh Indonesia, agar, melalui putusan-putusannya, mengupayakan keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Bukan sekadar menerapkan peraturan-peraturan peninggalan kolonial.
Pada bulan September 1963, Wirjono bahkan mengirimkan surat edaran ke pengadilan-pengadilan negeri. Melalui surat itu, Wirjono menyatakan kekecewaannya akibat banyaknya hukum kolonial yang masih diterapkan dalam sidang-sidang pengadilan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sepemikiran dengan Wirjono Prodjodikoro, Sahardjo² berpendapat bahwa hukum dan perundang-undangan warisan kolonial harus segera digantikan dengan hukum yang sesuai dengan masyarakat Indonesia merdeka. Menurut Sahardjo, sudah saatnya para sarjana dan ahli hukum Indonesia menentukan ulang posisinya di tengah situasi yang baru, serta membebaskan diri dari segala bentuk perintah yang diturunkan dari hukum dan perundang-undangan kolonial.
Seruan Sahardjo ini merupakan respons terhadap pidato Presiden Soekarno dalam kongres Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia pada tahun 1961. Pada kesempatan itu, Soekarno menyampaikan keprihatinannya atas kurangnya kepekaan serta daya tanggap para yuris Indonesia pada perubahan-perubahan yang sedang terjadi. Menurut Soekarno, persoalan hukum tidak sepatutnya diselesaikan hanya dengan perspektif yang yuridis dan doktrinal semata, tapi juga harus memperhatikan implikasi-implikasi ideologi dan permasalahan sosial-politiknya. Tak ada perkembangan signifikan pasca pidato ini. Gagasan serupa justru berkembang di kampus-kampus di Amerika Serikat pada tahun 1970-an, yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai studi hukum kritis (critical legal studies).
ADVERTISEMENT
Tak berlebihan kiranya menyebut Wirjono Prodjodikoro dan Sahardjo sebagai duo penggagas hukum Indonesia yang progresif, revolusioner dan anti kolonial. Namun sayang, tak banyak yang menyambut gagasan mereka, alih-alih disebut “terlalu revolusioner”. Para hakim yang tidak mampu, dan tidak mau menuruti imbauan Wirjono, misalnya. Para hakim ini justru beranggapan, akan terjadi ketidakpastian hukum kalau hukum warisan kolonial ditinggalkan begitu saja. Wirjono pun harus menerima kekecewaan, menyaksikan hukum kolonial masih menjadi primadona di negara yang sudah merdeka.
Selain tidak mendapat sambutan, gagasan duo Sahardjo-Prodjodikoro pun lekas tenggelam karena masa jabatan mereka yang segera usai. Sahardjo tak lagi menjabat Menteri Kehakiman pada tahun 1962. Hanya setahun pasca dirinya hendak menindaklanjuti pidato Soekarno. Wirjono masih menjabat hingga tahun 1966. Namun lagi-lagi, tak banyak yang ia bisa lakukan jika tanpa dukungan. Maka gagasan mengenai hukum yang progresif, revolusioner, dan anti kolonial pun kian terlupakan.
ADVERTISEMENT
Gagasan duo Sahardjo-Prodjodikoro ternyata tak cukup hanya terlupakan, tapi juga dilupakan melalui tindakan-tindakan yang sengaja mematikan gagasan mereka. Tindakan ini mengacu pada kebijakan-kebijakan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman di era Presiden Soeharto. Begitu menjabat, Soebekti³ lantas menggalakkan dan menormalkan kembali cara berpikir yuridis-doktrinal di seluruh jajaran badan-badan peradilan.
Sejalan dengan Soebekti adalah Mochtar Kusumaatmadja,⁴ yang sejak menjabat sebagai Menteri Kehakiman, menegaskan orientasi hukum Indonesia ke arah pembangunan ekonomi. Mochtar memang masih memberikan ruang bagi pendekatan sosiologis dalam pendidikan dan kajian hukum. Namun tetap berorientasi pada pembangunan sosial-ekonomi yang mutakhir.
Pada era Presiden Soeharto, hukum dicanangkan sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dalam rangka mengondusifkan kegiatan pembangunan ekonomi orde baru. Dan gagasan ini kian matang sejak Mochtar Kusumaatmadja diangkat menjadi menteri kehakiman. Yuris yang lahir di masa orde baru pun adalah mereka yang ahli di bidang kontrak bisnis, prosedur penanaman modal, perpajakan, aktivitas perbankan, pertanahan, ketenagakerjaan, dan semacamnya.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang menarik dari Mochtar adalah modifikasinya terhadap konsep law as a tool of social engineering yang dicetuskan oleh Roscoe Pound⁵ (1870-1964). Konsep yang lahir sebagai bagian dari aliran sociological jurisprudence ini pada dasarnya berkaitan erat dengan konteks kemasyarakat yang melekat pada hukum. Dan karena berkembang di negara dengan sistem common law, konsep law as a tool of social engineering bermuara pada hukum yang dibuat oleh hakim (judge-made laws).
Mochtar yang pernah belajar di Harvard memahami betul konsep ini. Namun ia kemudian melakukan sedikit penyesuaian dengan mengusung konsep law as a tool of social engineering yang berbasis aturan-aturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga legislatif, plus berorientasi pada pembangunan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Pemikiran yang berkembang di era Mochtar Kusumaatmadja adalah pemutakhiran kitab-kitab hukum warisan kolonial, bukan pembentukan hukum dan perundang-undangan yang baru sama sekali sebagaimana digagas oleh duo Sahardjo-Prodjodikoro.
Di kemudian hari, Soebekti dan Mochtar Kusumaatmadja lebih dikenal sebagai duo yang sama-sama memiliki gagasan yang merupakan antithesis dari gagasan duo Sahardjo-Prodjodikoro.
Matinya gagasan hukum duo Sahardjo-Prodjodikoro adalah sebuah tragedi dalam upaya pengembangan hukum Indonesia. Mereka layu sebelum berkembang. Lalu dilupakan dan digantikan dengan gagasan hukum duo Soebekti-Mochtar.
Pertentangan antara dua gagasan ini baru sampai pada tahap tesis dan antitesis. Menarik kiranya mengetahui sintesis dari gagasan-gagasan ini. Mengangkat dan membicarakan kembali gagasan mereka pastilah menjadi tantangan tersendiri bagi para sarjana hukum di masa sekarang.
ADVERTISEMENT
1. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia sejak tahun 1952 s.d 1966.
2. Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak tahun 1959 s.d. 1962.
3. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia sejak tahun 1968 s.d. 1974.
4. Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak tahun 1973 s.d. 1978.
5. Akademikus hukum dari Amerika Serikat.
Referensi:
Soetandyo Wignjosoebroto. 2019. Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum di Indonesia Pada Era Pascakolonial. Jakarta: HuMa.