Konten dari Pengguna

Nilai 30 untuk Tinta

Christiaan
Penulis, editor, dan legal specialist. Saat ini bekerja sebagai staf departemen hukum perusahaan sembari bergiat di Beta Martapian Project, sebuah penerbit berbasis komunitas.
11 Februari 2025 14:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Hannah Olinger via Unsplash. https://unsplash.com/photos/a-person-writing-on-a-piece-of-paper-with-a-pen-8eSrC43qdro
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Hannah Olinger via Unsplash. https://unsplash.com/photos/a-person-writing-on-a-piece-of-paper-with-a-pen-8eSrC43qdro
ADVERTISEMENT
Dulu, semasa di sekolah menengah, saya ingat ada 2 jenis guru ketika memberikan nilai ujian: yang memberi nilai pada tinta siswa, dan yang tidak. Nilai bercetak miring yang saya maksud adalah nilai yang sengaja ditambahkan pada nilai sebenarnya, dengan alasan penghargaan pada tinta pena yang kadung keluar untuk menuliskan jawaban atas soal-soal ujian itu.
ADVERTISEMENT
Contohnya, salah seorang teman saya bahkan pernah memeroleh angka 0 untuk semua jawabannya yang keliru. Berdasarkan aturan penilaian yang berlaku, tak satupun jawaban yang ia tuliskan berhak mendapat bobot nilai. Tapi guru yang mengampu mata pelajaran kala itu lantas menggoretkan angka 30 pada kertas ujian teman saya ini.
Kendati angka 30 itu tetap saja berarti kegagalan karena masih jauh di bawah batas minimum nilai kelulusan, sikap guru saya ini cukup membekaskan kesan dalam hidup saya. Ia memberi pelajaran penting tentang arti menghargai sebuah usaha.
Ingatan akan kesan ini kembali muncul dalam pikiran saya setelah beberapa tahun belakangan saya berkecimpung dalam dunia tulis menulis. Pasalnya, di dunia tulis menulis ini pula saya kembali bertemu dengan 2 jenis manusia sebagaimana jenis guru di masa sekolah dulu: yang menghargai tinta dan yang tidak.
ADVERTISEMENT
Tulis menulis yang saya maksud di sini berlangsung dalam hubungan yang transaksional. Saya menulis untuk kemudian mendapat imbalan atas tulisan saya. Entah itu berupa honorarium, publisitas, barang, dan sebagainya. Maka, yang saya maksud sebagai orang yang tidak menghargai tinta adalah mereka yang tidak mampu (dan/atau tidak mau?) menunjukkan penghargaan terhadap suatu karya tulisan. Sebaliknya, mereka yang menghargai tinta adalah mereka yang mampu dan mau memberikan penghargaan sepadan terhadap sebuah tulisan.
Ketidakmampuan dan ketidakmauan menghargai tinta itu ditunjukkan dengan tidak adanya iktikad baik untuk menganggap kerja-kerja kepenulisan sebagai pekerjaan yang menguras tenaga, waktu, dan biaya, sehingga ada saja pihak yang mengharapkan benefit dari tulisan orang lain, namun ogah-ogahan memberikan imbalan sepadan untuk tulisan itu.
ADVERTISEMENT
Saya memandang hal ini sebagai gejala dari belum mapannya industri kepenulisan. Masih banyak orang yang melihat kegiatan menulis bukan sebagai pekerjaan. Pada dasarnya, semua orang memang menulis. Tapi tidak semua orang menulis untuk menghasilkan uang. Sebagian orang menulis secara serius dan terencana, dengan harapan bisa punya pemasukan dari apa yang ditulisnya.
Karena paradigma “semua orang menulis” inilah barangkali masih banyak orang menolak untuk melihat kegiatan menulis sebagai sebuah pekerjaan.
Entah kenapa, saya menangkap sinisme semacam ini dari orang-orang yang enggan menghargai kerja-kerja penulisan.
Padahal, pertama, adalah lumrah orang mengupah orang lain untuk mengerjakan hal-hal yang dianggap bersifat mendasar, tidak butuh keterampilan khusus untuk mengerjakannya. Misalnya, memotong rumput di pekarangan, atau membetulkan wastafel yang mampet. Jadi, kalau Anda menganggap menulis adalah pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan khusus, dan Anda mengharapkan orang lain untuk menuliskan sesuatu untuk Anda, maka Anda patut memberikan apresiasi, bukan? Terutama honorarium, dengan asumsi yang saya sudah jelaskan sebelumnya bahwa sebagian orang menulis untuk menghasilkan uang.
ADVERTISEMENT
Kedua, nyatanya menulis itu bukan persoalan gampang. Tidak semua orang mampu menuliskan apa yang Anda inginkan. Tidak semua orang bisa merumuskan ide-ide dalam kepada Anda ke dalam sebuah tulisan yang baik. Jadi, dugaan saya, sinisme itu sebenarnya didasari oleh mentalitas ‘mendang-mending’, alih-alih keyakinan pada anggapan bahwa semua orang bisa menulis. Buat apa membayar mahal-mahal penulis kalau bisa memanfaatkan orang lain (penulis dan bukan penulis) untuk menulis (tanpa diupah)? Begitulah mungkin isi kepala mereka yang tidak menghargai kerja-kerja kepenulisan itu.
Industri kepenulisan
Foto: Thom Milkovic via Unsplash. https://unsplash.com/photos/person-using-black-typewriter-FTNGfpYCpGM
Industri kepenulisan tidak akan mencapai kemapanan jika hanya berproses satu arah. Pihak yang membutuhkan jasa kepenulisan akan cenderung menganggap remeh ketika pihak yang menyediakan jasa kepenulisan tidak menawarkan (branding) jasanya secara serius. Alhasil, tak jarang kerja-kerja kepenulisan berangkat hanya dari percakapan warung kopi, seperti:
ADVERTISEMENT
Kalau kita membayangkan sebuah industri kepenulisan yang baik, selayaknya percakapan ini sudah bisa beberapa langkah lebih maju, menjadi:
Manakala pembicaraan sudah sampai pada tahap seperti di atas, barulah kita cukup percaya diri mengatakan bahwa dunia tulis menulis punya dimensi industri. Kenyataannya, masih banyak orang yang seakan menghindari obrolan semacam itu. Dihindari oleh orang yang hendak menggunakan jasa kepenulisan, atau bahkan oleh penulis itu sendiri.
Saya tak bermaksud melakukan generalisasi. Tingkat kemapanan dimensi industri dalam dunia kepenulisan memang berbeda-beda. Di beberapa kota-kota besar, misalnya, industri kepenulisan bisa jadi sudah lebih mapan karena adanya kebutuhan lintas industri. Hal ini dapat kita lihat dari bermunculannya platform tempat di mana para penyedia dan pengguna jasa kepenulisan berinteraksi. Sementara itu, di tempat-tempat lain di negeri ini, menulis sebagai pekerjaan masih dipandang sebelah mata.
ADVERTISEMENT
Jika kita menginginkan adanya dimensi industri yang baik dalam dunia tulis menulis, barangkali hal berikut ini bisa kita pertimbangkan bersama.
Kalau kamu seorang penulis. Tawarkan (branding) dirimu dan keterampilanmu dengan serius. Ciptakan nilai jual. Buat orang lain mengerti. Tingkatkan keterampilan dan pastikan keterampilan itu “diakui” dalam industri. Inilah yang saya juga sedang lakukan. Boleh saja saya merasa sudah cukup berpengalaman dalam dunia kepenulisan. Boleh saja saya merasa sudah mahir menulis untuk diri sendiri, dan untuk orang lain. Tapi ketika orang lain hendak menggunakan saya untuk menulis bagi mereka, dan meminta saya menunjukkan “lisensi” saya sebagai seorang penulis, maka saya harus bisa menunjukkannya.
Lisensi dalam hal ini nyatanya tak lagi sekadar persoalan rekam jejak kekaryaan, melainkan semacam sertifikasi yang sengaja dibangun dalam tatanan industri. Sertifikasi, lisensi, dan entah bagaimana lagi orang menyebutnya, mutlak diperlukan dalam aspek industri, sekalipun kita punya keyakinan tersendiri bahwa hal-hal semacam itu tak selalu menjamin bahwa seseorang bisa mengerjakan sesuatu dengan baik.
ADVERTISEMENT
Kalau kamu pengguna jasa kepenulisan. Belajarlah menghargai tinta seorang penulis, seperti seorang guru menilai lembar ujian seorang siswa yang jawabannya salah semua.