Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perburuan dan Kebebasan Manusia
11 Februari 2023 13:39 WIB
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perburuan, satu lagi novel Pramoedya Ananta Toer berlatar waktu pra-kemerdekaan. Bercerita tentang Raden Hardo, desertir PETA (Pembela Tanah Air)¹ yang sedang diuber-uber Jepang. Hardo, prajurit gagah berpangkat Shodanco, menjelma kere, bertahan hidup dalam pelarian, dari satu perladangan ke perladangan lain, dari satu kolong jembatan ke kolong jembatan berikut.
ADVERTISEMENT
Hardo punya keyakinan, bahwa manusia tak selamanya menang, dan tak selamanya kalah. Demikian halnya dengan Jepang yang sedang berkuasa, suatu saat, tak lama lagi, akan tumbang.
Tak perlu buru-buru menganggap Den Hardo seorang nasionalis, seorang republiken. Barangkali dia bahkan tak tahu menahu apa itu nasionalisme, atau apa itu republikanisme. Benar belaka Hardo seorang prajurit. Tapi bukan prajurit bagi sebuah bangsa atau prajurit bagi sebuah ideologi, alih-alih prajurit bagi diri sendiri, bagi kebebasan diri sendiri.
Apakah Hardo benar-benar berpikir tentang, dan lantas berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Sebelum Jepang mendarat di Hindia Belanda, Hardo telah turut mempertahankan status quo. Hardo merupakan prajurit Stadswacht Surabaya, sebuah unit pasukan bagian dari KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger)² yang dibentuk pada tahun 1940.
ADVERTISEMENT
Apa yang diperjuangkan Hardo ketika menjadi serdadu Hindia Belanda? Dan apa pula motifnya bergabung dengan PETA bentukan Jepang? Apa lagi yang mendorong Hardo berontak pada pemerintah Jepang di saat pangkatnya sudah cukup mengantarnya menjadi sosok yang dihormati di sepenjuru desa?
Tidak ada jawaban yang absolut untuk daftar pertanyaan ini. Satu-satunya cara mendekati jawabannya ialah dengan melihat Den Hardo sebagai manusia yang unik nan kompleks.
ADVERTISEMENT
Jika hanya mencomot kegagahannya melawan Jepang, kita tentu dapat menyebutnya sebagai pejuang kemerdekaan. Jika kita mencomot keberaniannya sebagai serdadu KNIL mempertahankan status quo, kita tentu boleh menyebutnya sebagai pejuang kemapanan. Jika kita ikuti kepasrahannya menempuh jalur bahaya hanya untuk mencuri-curi waktu melihat kekasihnya, kita tentu mengenalnya sebagai lelaki dengan cinta paling tulus di sepanjang Perang Dunia II.
Dan jika melihatnya secara menyeluruh dari setiap sudut, maka kita mencintai kebebasan, menghargai manusia dan kemanusiaan. Sebaliknya, jika melihat hanya dari satu sudut pandang, maka Hardo boleh jadi adalah pejuang kemerdekaan yang gigih, tapi pada saat bersamaan kita menolak untuk melihat kompleksitas kehidupan manusia di balik pilihan-pilihannya.
Makna kemerdekaan dengan demikian menjadi tunggal. Seakan-akan hanya perkara lepas dari kolonialisme Belanda atau pendudukan Jepang. Padahal, makna merdeka jelas lebih luas dari itu.
Dalam novel Perburuan yang ditulis Pram semasa jadi tahanan Belanda di Penjara Bukit Duri ini, merdeka bagi tokoh-tokohnya sangat beragam. Merdeka dari lingkaran setan judi,³ merdeka dari bayang-bayang pengkhianatan kekasih,⁴ merdeka dari kemelaratan,⁵ merdeka dari tekanan untuk berkhianat,⁶ dan bagi Den Hardo sendiri, merdeka adalah bebas pulang ke kampungnya, mengecup bibir Ningsih, tunangannya. Baginya, merdeka juga berarti kebebasan untuk memilih jalan hidup tanpa didikte oleh zaman.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri, musabab pertama yang membuat Den Hardo jadi kere adalah karena diburu Jepang pasca pemberontakannya yang gagal. Namun, di sepanjang pengembaraannya sebagai gelandangan, Den Hardo justru menemukan perspektif baru dalam memaknai kehidupan. Di tengah pelarian, Den Hardo justru menemukan kebebasannya.
“Mengembara di zaman sekarang! Alangkah sengsara!” seru Mohamad Kasim ketika mendengar Den Hardo mengaku sebagai seorang pengembara.⁷ Percakapan ini memperlihatkan, bahwa situasi di masa itu cukup sulit bagi kebanyakan orang, sehingga mengembara adalah pilihan “gila”.
Namun, sebagai kere, Den Hardo punya ruang yang luas untuk memikirkan ulang kehidupannya. Ia menjelma menjadi filsuf eksistensialisme. Menemukan dalil-dalil kenapa kehidupan di luar sana acapkali semu dan betapa sering manusia terdistraksi oleh persoalan-persoalan yang mereka ciptakan sendiri di kepala mereka.
ADVERTISEMENT
Den Hardo memahami betul dependensi eksistensi seseorang dengan eksistensi orang lain. Dengan demikian, kemandirian barangkali adalah sebuah kemustahilan. Kendati demikian, seseorang, dalam ketergantungannya dengan yang lain, tidak harus membeo pada zaman, pada apa-apa yang dikatakan oleh orang kebanyakan dalam sebuah era.
Setiap orang harus membebaskan dirinya setahap demi setahap. Inilah yang persis dilakukan oleh Den Hardo. Zaman di mana ia hidup mengatakan bahwa pengkhianatan harus diganjar dengan pancung bagi si pengkhianat. Tapi Den Hardo malah ingin menyelamatkan sisa-sisa jiwa yang belum terinfeksi virus pengkhianatan.
ADVERTISEMENT
Zaman memosisikan Hardo sebagai buruan Jepang, tapi ia malah melihat dirinya sendiri sebagai seorang pertapa. Hidup perlahan dan selaras alam. Menempuh perjalanan secara langsung menuju diri sendiri. Zaman memosisikan Hardo sebagai seorang kere, tapi ia malah melihat dirinya sendiri sebagai seorang filsuf. Mengambil jarak untuk melihat dengan jernih kecenderungan-kecenderungan manusia di masanya.
Cara Hardo melihat diri, serta batasan-batasan yang ia tetapkan pada dirinya sendirilah yang menjadikan ia manusia bebas sekalipun sedang menjadi mangsa perburuan Jepang.
Dalam novel Perburuan, Pram mengisahkan tak hanya pemberontakan serdadu PETA. Tapi juga pemberontakan seorang anak manusia terhadap zamannya.
ADVERTISEMENT
Kisah Pram tak hanya tentang perburuan terhadap seorang desertir. Tapi juga perburuan terhadap anak-anak manusia oleh diri mereka sendiri. Oleh pikiran-pikiran yang mereka cipta sendiri akibat desakan hiruk pikuk zaman mereka.
Selamanya, anak-anak manusia akan jadi target perburuan. Tapi kita tak seharusnya mati sebagai mangsa bagi opsir-opsir Jepang yang ada di kepala kita. Seperti dikatakan Raden Hardo. Kita harus lepas. Bebas. Setahap demi setahap. Pembebasan ke atas! Bukan ke bawah!
Catatan kaki:
¹ Satuan paramiliter bentukan Jepang di masa pendudukannya di Hindia Belanda (1942-1945).
² Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
³ Mohamad Kasim (Ayah Den Hardo) terjebak dalam lingkaran setan perjudian pasca kematian istrinya (Ibu Den Hardo) dan kehilangan anaknya yang diburu oleh Jepang.
ADVERTISEMENT
⁴ Karmin, sahabat Den Hardo, memilih loyal pada Jepang karena ditinggal kawin oleh kekasihnya.
⁵ Dipo, sahabat Den Hardo, tegas berjuang untuk menumbangkan kekuasaan Jepang.
⁶ Ayah Ningsih, tunangan Den Hardo, terus menerus berkhianat karena tidak sanggup dengan tekanan-tekanan yang diberikan oleh Jepang kepadanya.
⁷ Dalam adegan ini, Mohamad Kasim tidak langsung mengenali Den Hardo sebagai anaknya, pun Den Hardo tidak mau mengaku.