Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perihal Membaca (1)
26 Januari 2022 10:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Makin hari, kecenderungan membaca saya pada tahun-tahun sebelumnya makin tampak sebagai sebuah ketidakmungkinan. Begini ceritanya.
ADVERTISEMENT
Selama tahun-tahun perkuliahan, saya sangat intens membaca. Pun saya punya prinsip untuk tak sekali-kali menelantarkan buku dalam kondisi terbaca setengah. Harus saya baca utuh, dari kata demi kata di sampul depan, sampai blurb di sampul belakang. Itu pun tak boleh berlama-lama. Kalau bisa, sehari sudah tuntas. Gila? Ya, setidaknya bagi saya yang sekarang, saya yang dulu memanglah orang gila dalam hal membaca.
Saya meminjam buku dari perpustakaan kampus. Membeli buku dari pasar buku bekas, atau buku baru dari Gramedia kalau lagi pura-pura tak kenal sama kantong sendiri. Saya juga meminjam buku dari teman-teman saya. Sebagian kembali, sebagian tidak. Dan—yang hari-hari ini sudah jarang dilakoni orang—saya menyewa buku dari taman bacaan. Spirit Books & Coffee, demikian taman bacaan langganan saya itu dinamai oleh pemiliknya.
ADVERTISEMENT
Masih jernih di ingatan saya, saat di mana saya bersama seorang teman saya, mengunjungi taman bacaan itu untuk kali pertama. Saya jadi cukup sering berkunjung sejak saat itu. Dengan menyetor uang sebesar seratus ribu rupiah, saya pun jadi anggota taman bacaan itu. Bermodal keanggotaan itu, saya bisa menyewa buku dengan biaya yang tergolong murah. Lima ribu rupiah untuk empat hari, tujuh ribu rupiah untuk enam hari, dan seterusnya, dan seterusnya. Buku-buku di taman bacaan itu sebenarnya tetap bisa dirental tanpa harus jadi anggota. Bedanya, mereka yang bukan anggota harus menitipkan sejumlah uang (sesuai harga buku yang dirental) sebagai jaminan kalau-kalau buku tak kembali. Saat mengembalikan buku, uang jaminan bisa diambil kembali.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang menarik dari saat-saat di mana saya kerap merental buku adalah masa sewa. Jika buku yang saya rental punya batas empat hari untuk satu kali penyewaan, maka hanya empat hari itulah waktu yang saya miliki untuk melahap habis buku tersebut. Jika tak sanggup menghabisinya dalam empat hari, tentu tinggal memperpanjang masa penyewaan. Namun sudah jelas, butuh uang untuk itu. Dan bagi saya saat itu, janganlah saya sampai mengeluarkan uang hanya karena kemalasan, atau ketidaktelatenan saya mengatur waktu buat membaca.
Waktu baca yang disediakan oleh taman bacaan itu untuk satu kali rental tentulah sudah pantas. Dengan asumsi, penyewa mau dan mampu mengatur waktu untuk membaca. Jadi, penyewa lebih baik mempertimbangkan ketersediaan waktunya terlebih dahulu, daripada “membuang” uang untuk buku yang tak dibacanya. Lebih-kurang, begitulah cara mainnya yang ideal.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, cara main ideal itu tak sepenuhnya saya ikuti. Misalnya saja, ketika tugas-tugas kampus berjejer menunggu untuk diselesaikan, saya masih saja berani menyewa novel George Orwell dan Seno Gumira Ajidarma sekaligus. Tugas kampus saya selesai. Mata saya mengantuk. Saat hendak tidur, saya teringat uang yang sudah saya gelontorkan untuk rental novel tadi sore. Haruskah saya mengembalikan novel itu tanpa saya membacanya hingga tamat? Tidak! Maka jadilah semalaman suntuk mata saya berhadapan dengan teks ratusan halaman.
Benar bahwa situasi “memaksa” saya untuk membaca dan menyelesaikan bacaan dalam batas waktu tertentu. Namun saya tak berbohong kala mengatakan bahwa saya sangat menikmati detik demi detik yang mengantar saya memasuki berbagai macam dunia di dalam teks-teks tersebut. Dan justru, ujung malam hingga pangkal pagi menjadi waktu paling tepat menyambangi beragam dunia di belantara teks-teks tersebut.
ADVERTISEMENT
Membaca adalah keterampilan
Dulu saya adalah pembaca yang membaca di mana saja. Tak harus memantas-mantaskan diri—mencari tempat tenang dan menyiapkan segelas kopi—ketika hendak membaca. Saya membaca dalam berbagai posisi; duduk, berdiri, tiduran, telentang, tengkurap, dan sebagainya. Saya juga membaca dalam beragam situasi; saat kuliah yang membosankan, saat buang air besar (saya paling suka membaca sajak-sajak Rendra), saat kebaktian di Gereja, saat makan bakmi di pinggir jalan, saat menepi karena kehujanan (saya paling suka membaca cerpen-cerpen Anton Chekhov), dan seterusnya, dan seterusnya.
Apabila Anda dapat membayangkan kebalikan dari kebiasaan-kebiasaan di atas, begitulah saya sekarang. Membaca hanya jika berada di tempat yang tenang, dan harus dalam posisi yang nyaman. Padahal sudah jelas dua hal tersebut sangat langka, kecuali saya memutuskan untuk tinggal di tengah hutan sendirian. Dengan keharusan-keharusan yang saya cipta itu, intensitas membaca saya sudah barang tentu berkurang secara signifikan. Saya berubah perlahan-lahan. Dari “pembaca gila” menjadi “pembaca ala kadarnya”.
ADVERTISEMENT
Dulu, membaca ibarat pekerjaan sehari-hari, dan saat menutup buku menjadi waktu senggang di mana saya mengerjakan hal-hal lain selain membaca. Sekarang, membaca justru menjadi sesuatu yang saya lakukan pada waktu senggang.
Perubahan kebiasaan membaca, yang pada gilirannya mengurangi intensitas membaca saya, akhirnya berakibat pada ketahanan serta ketabahan saya ketika berhadapan dengan teks. Rasanya ingin cepat-cepat mengalihkan pandang dari buku yang sedang saya pegang. Sampai di situ, saya kian yakin, membaca memang adalah sebuah keterampilan. Harus dibentuk, diasah, dan dipelihara.
Sama seperti seorang binaragawan yang harus senantiasa menyambangi pusat kebugaran, latihan dalam porsi-porsi tertentu untuk menjaga otot-ototnya tidak mengendur. Demikianlah seorang pembaca harus tetap menjaga otot-otot matanya, agar tak lekas menyerah saat berhadapan dengan teks. Caranya? Terus membaca. Tetap menjadi “pembaca gila”.
ADVERTISEMENT