Permendikbudristek PPKS: Langkah Progresif Hadapi Kekerasan Seksual di Kampus

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
12 November 2021 19:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Dari tahun ke tahun, persoalan kekerasan seksual di lingkungan kampus tak ada habisnya. Masalah ini kian mendapat sorotan setelah mereka yang pernah jadi korban memutuskan untuk bicara. Tak hanya itu, respons para pemangku kepentingan pun membuat persoalan ini sangat mendesak untuk dibicarakan secara kritis dan ditemukan solusinya.
ADVERTISEMENT
Pembicaraan kritis ini pada faktanya telah dilakukan secara intens beberapa tahun belakangan. Sulistyowati Irianto misalnya, merupakan akademikus ilmu hukum dari Universitas Indonesia yang giat menulis tentang kekerasan seksual di kampus, serta langkah apa yang dapat diambil untuk mencegah maupun menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk memahami tindak kekerasan seksual di kampus pada intinya akan sampai pada kesimpulan bahwa kampus tidak boleh memberi ruang bagi pelaku kekerasan seksual.
Mempersempit ruang gerak para predator seksual di lingkungan kampus tentu membutuhkan regulasi, di samping dukungan sumber daya manusia pada tataran implementasi, juga kesadaran dan kepekaan seluruh warga kampus. Belakangan, upaya mempersempit ruang gerak predator seksual itu telah dimanifestasikan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS). Tak ayal, regulasi ini disambut gembira oleh banyak pihak yang selama ini berjuang mendorong kebijakan anti kekerasan seksual di kampus.
ADVERTISEMENT
Kegembiraan ini memang tak mengherankan. Regulasi dari kementerian yang dipimpin oleh Nadiem Makarim ini kini diharapkan bisa melindungi para korban kekerasan seksual di lingkungan kampus dalam memperjuangkan keadilan. Dalam hal ini, Permendikbudristek PPKS terbilang responsif, sebab ketiadaan jaminan perlindungan korban selama ini merupakan alasan banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang terendap, dan akhirnya dilupakan bersamaan dengan lulusnya para korban dari kampus mereka.
Pengendapan kasus ini seringkali terjadi karena para korban tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Tidak ada lembaga yang kredibel sebagai pusat pengaduan. Tidak ada pula mekanisme dan prosedur yang jelas yang bisa ditempuh para korban. Dan tidak ada jaminan perlindungan korban. Maka, adalah wajar jika korban berpikir sepuluh kali saat hendak melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kalau korban melapor tapi tak ditanggapi? Kekeliruan pemahaman sebagian masyarakat tentu membuat korban yang kadung membuka diri rentan mengalami perundungan yang justru menambah beban trauma korban. Kekeliruan dalam hal ini mengacu pada anggapan-anggapan umum bahwa kekerasan seksual dipicu oleh cara berbusana korban, bahwa korban menjadi korban karena menggoda lebih dulu, bahwa korban bisa saja menikmati kekerasan seksual yang dialaminya, bahwa korban seharusnya melawan, dan sebagainya.
Bukannya mendapat perlindungan dan pendampingan, korban justru kerap terbebani oleh anggapan-anggapan keliru tersebut di atas. Seakan-akan korban adalah satu-satunya pihak yang harus membuktikan bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual. Sementara di lain tempat, terduga pelaku tidak diberi beban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kekerasan seksual. Peletakan beban pembuktian yang tidak ideal ini dengan sendirinya memperparah ketimpangan relasi kuasa yang sedari awal meliputi tindak kekerasan seksual di kampus.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kalau laporan korban ditanggapi? Apakah pelaku akan mendapat sanksi? Jika ya, sanksi apa? Sanggupkah memberi efek jera? Lalu siapa yang bertanggung jawab dalam proses pemulihan korban? Pertanyaan-pertanyaan ini juga tentu semakin membuat korban enggan membeberkan kasus kekerasan seksual yang menimpanya.
Dengan adanya ketimpangan relasi kuasa, ditambah rentetan anggapan keliru tentang kekerasan seksual, maka hal pertama yang harus diperoleh korban adalah jaminan perlindungan dan pendampingan, bukan tatapan sinis dan skeptis.
Stigma yang melekat pada diri korban tentu tak mungkin hilang begitu saja. Itulah kenapa regulasi yang bersifat afirmatif sangat dibutuhkan sebagai dasar hukum bagi korban dalam memperjuangkan keadilan. Menurut saya, kebutuhan akan regulasi yang afirmatif ini sedikit-banyak telah terjawab dengan dikeluarkannya Permendikbudristek PPKS. Mengherankan jika kemudian ada pihak yang menolaknya.
ADVERTISEMENT
Mereka yang selama ini mengikuti kasus-kasus kekerasan seksual di kampus pasti melihat Permendikbudristek PPKS sebagai regulasi yang responsif, dan benar-benar tumbuh dari bawah serta lingkungan yang sungguh-sungguh memerlukan regulasi tersebut. Menolak Permendikbudristek PPKS dengan alasan-alasan abstrak semisal moralitas adalah tindakan yang keliru. Regulasi ini berangkat dari kasus konkret, dan dengan demikian menyasar kasus-kasus konkret tersebut secara spesifik.
Permendikbudristek PPKS sebagai langkah awal yang progresif dalam mengatasi kekerasan seksual di kampus tidak boleh menyerah pada penolakan yang nyata-nyata membelokkan urgensi pembentukan regulasi ini. Sekalipun penolakan terhadap Permendikbudristek PPKS datang dari kelompok yang merasa dirinya sebagai mayoritas dalam komposisi masyarakat Indonesia, regulasi ini harus tetap dipertahankan. Mempertahankan regulasi ini bisa jadi perwujudan dari demokrasi liberatif yang memberi ruang bagi kelompok-kelompok minoritas dan rentan. Dengan demikian, demokrasi yang berlangsung adalah yang mengutamakan ide-ide pembebasan dan proses deliberasi, alih-alih demokrasi yang melulu mengedepankan legitimasi berdasar suara mayoritas.
ADVERTISEMENT