Sebuah Kedai Kopi dan Lelaki Tampan yang Susah Ditemukan

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2023 13:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu cerpen dalam buku Sebuah Kedai Kopi dan Lelaki Tampan yang Susah Ditemukan. Sumber gambar: Dok. pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu cerpen dalam buku Sebuah Kedai Kopi dan Lelaki Tampan yang Susah Ditemukan. Sumber gambar: Dok. pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seulas senyum tergambar di wajah saya kala membaca cerpen berjudul The Blue Love karya Diana Srimilana Saragih. Ada satu adegan dalam cerita itu di mana seorang perempuan adu jotos dengan seorang laki-laki. Sampai berdarah-darah.
ADVERTISEMENT
Sepintas mungkin tak ada yang istimewa dari adegan semacam itu. Apalagi kalau ia memang ditulis sebagai cerita action atau pertarungan perebutan kekuasaan di masa-masa kerajaan-kerajaan di masa lampau misalnya. Tapi The Blue Love bukan cerita silat. Dan ia ditulis di abad 21.
Setelah saya pikir-pikir, hal yang paling mungkin membuat saya tersenyum saat membaca cerita itu adalah bahwa perkelahian yang berdarah-darah itu diinisiasi oleh seorang perempuan. Sesuatu yang jarang saya temui dalam bacaan-bacaan saya: perempuan mengambil inisiatif berdasarkan ketegasan pilihan-pilihannya.
Itulah yang dilakukan oleh perempuan dalam cerita The Blue Love ini. Tak sedikit pun ia menutupi pikiran dan perasaannya. Tak juga malu-malu mengambil tindakan sebagai lanjutan dari berpikir dan merasa itu.
ADVERTISEMENT
***
Cerita The Blue Love bersanding dengan sebelas cerita lainnya dalam sebuah omnibook berjudul "Sebuah Kedai Kopi dan Lelaki Tampan yang Susah Ditemukan". Buku ini terbit pada Agustus 2023 oleh Penerbit Pustaka Egaliter. Pengarangnya, Diana Srimilana Saragih, juga adalah seorang jurnalis cum sutradara.
Sebelas lagi cerita dalam buku ini tidak berbeda jauh dengan The Blue Love yang saya sebutkan sebelumnya. Detail-detail perasaan perempuan dieksplorasi dengan cukup baik, baik melalui sudut pandang orang pertama maupun sudut pandang orang ketiga.
Intinya, pada setiap cerita, pembaca pasti bertemu dengan perempuan dan perempuan-perempuan yang bukan sekadar figuran atau pelengkap sebuah cerita. Perempuan-perempuan itu sedemikian dekat, dan karakternya bakal membekas pada pembaca.
Kendati demikian, perempuan-perempuan ini kelihatannya tak berniat membalikkan posisi mapan tokoh laki-laki, dari pusat-pusat penceritaan menjadi sekadar figuran. Sebuah asumsi yang sebelumnya sulit saya abaikan saat hendak membaca buku ini. Mengingat penulisnya adalah seorang perempuan yang saya ketahui frontal soal diskriminasi dan peminggiran perempuan, ditambah anggapan-anggapan bahwa tongkrongan orang-orang yang nyastra selama ini tidak lebih dari sekadar laki-laki penjahat kelamin misoginis.
ADVERTISEMENT
Asumsi tersebut runtuh. Laki-laki tetap muncul dalam cerita. Tak sekadar pelengkap tentu. Baik perempuan maupun laki-laki dimunculkan sebagai sosok-sosok yang utuh dan setara. Sampai di titik inilah saya berani simpulkan kalau buku ini adalah sebentuk perlawanan yang asyik alih-alih sebuah proyek balas dendam.
***
Tema-tema setiap cerita dalam buku ini saya kira tak terlepas dari latar belakang kepenulisan si pengarang.
Perempuan yang tertindas. Perempuan yang berupaya melepaskan diri dari ketertindasan. Perempuan yang menyiasati ketertindasan. Perempuan yang melawan konstruksi sosial. Dan seterusnya.
Sedikit-banyaknya pastilah ini tema yang juga digeluti si pengarang sebagai jurnalis. Maka tak heran jika Anda menemui cerita-cerita dalam buku ini layaknya sebuah naskah berita yang tak lolos sensor kebijakan redaksi karena terlalu berisiko jika diterbitkan.
ADVERTISEMENT
Tapi ini pulalah yang membuat banyak cerita dalam buku ini nyaris tak menyisakan ruang tafsir bagi pembaca. Jika bahan-bahan ceritanya adalah hasil penggalian berita yang ternyata tak dimuat gegara swasensor, maka tatkala diolah menjadi karya fiksi, pengarang cenderung punya intensi untuk membuat hasil in-depth reporting itu kelihatan sejelas mungkin.
Akibatnya, gagasan pengarang sampai kepada pembaca dengan begitu lugas--kalau tak mau dikatakan reportatif. Tanpa muluk-muluk, tanpa metafora-metafora, tanpa cerita-cerita puzzle. Inilah yang saya maksud dengan "nyaris tidak adanya ruang tafsir" dalam cerita-cerita Diana Saragih.
Dalam ungkapan saya, cerita pendek semacam ini jadi lebih mirip potongan-potongan novel alih-alih cerita pendek. Ya, tentu ada banyak definisi untuk kedua bentuk prosa ini.
Tapi kita bolehlah sepakat bahwa hal mendasar yang membedakan keduanya adalah bahwa cerita pendek, karena pendek, cenderung tak membeberkan semua seluk beluk kehidupan tokoh-tokohnya. Sehingga pembaca butuh waktu buat berpikir, tentang siapa sebenarnya melakukan apa sehingga mengakibatkan apa.
ADVERTISEMENT
Sementara novel, karena panjang, menampilkan tokohnya secara lebih lengkap, karena memang punya banyak ruang untuk menceritakan tetek bengek kehidupan para tokohnya. Dengan demikian, seorang novelis bisa menjaga rasa penasaran pembaca dengan meng-kentang-kan (kentang = kenak tanggung) alias menggantung cerita di akhir setiap bab. Tapi seorang cerpenis harus mahir menjaga rasa penasaran pembacanya di setiap paragraf.
Cerita-cerita dalam "Sebuah Kedai Kopi dan Lelaki Tampan yang Susah Ditemukan" kurang berhasil menjaga rasa penasaran pembaca dengan tidak memberi ruang tafsir yang cukup karena bangunan cerita yang solid dan penyampaian yang lugas. Namun cukup berhasil menjaga rasa penasaran itu dengan fokus pada karakter dan gaya bercerita yang intens.
Buku kumpulan cerpen "Sebuah Kedai Kopi dan Lelaki Tampan yang Susah Ditemukan" karya Diana Srimilana Saragih. Sumber gambar: Dok.pribadi.
Begitulah dia, "Sebuah Kedai Kopi dan Lelaki Tampan yang Susah Ditemukan". Bacaan menarik dan khas bagi para penikmat cerita pendek. Selamat membaca!
ADVERTISEMENT