Sebuah Usaha Mengurai Balige dalam Seribu Kata

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
6 November 2023 8:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan Danau Toba. Sumber: Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan Danau Toba. Sumber: Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Membincangkan Balige dalam seribu kata. Ah, sedikit sekali! Mana cukup seribu kata mengurai Balige. Melukis-ulang ornamen-ornamen Tugu Naga Baling pun tidak akan cukup. Belum lagi bandrek, pisang goreng, dan kehangatan yang dijajakan di depannya.[1] Seribu kata, mana cukup mengurai riuh rendah Lapangan Sisingamangaraja pada musim-musim tarkam.[2] Seribu kata tak cukup panjang untuk menjelaskan rute jalan santai[3] yang berakhir di kompleks kantor bupati. Belum lagi rasa gemas dan harap-harap cemas menanti hadiah yang diundi di akhir acara.
ADVERTISEMENT
Seribu kata terlalu sedikit untuk merangkai cerita, tentang anak-anak sekolah yang bergelantungan di pintu belakang motor sopo [4] yang mengangkut mereka dari Soposurung, tempat mereka belajar banyak hal—di dalam juga di luar ruang kelas—menuju simpang-simpang rumah mereka. Belum lagi mereka yang membayar ongkos lebih banyak dari yang seharusnya, hanya untuk dibawa ke titik terakhir pengantaran tanpa alasan yang jelas.
Seribu kata terlalu pendek untuk menjelaskan euforia pawai peringatan tujuh belasan setiap tahunnya. Beragam tontonan yang mencuri perhatian: mayoret perempuan yang meliuk-liuk anggun, atraksi salto siswa perguruan bela diri yang membuat puyeng orang yang menyaksikannya, deretan sepeda hias, siswa-siswi sekolah menengah yang didandani laiknya profesional seperti tentara, polisi, dokter, pilot, dan akuntan, hingga barisan pasukan pengibar bendera berbadan tegak-tinggi semampai dan berkulit gelap akibat bermandikan sinar matahari selama berbulan-bulan.
ADVERTISEMENT
Seribu kata hanya cukup untuk menulis catatan kaki bagi atmosfer perayaan natal anak-anak sekolah di gereja-gereja di Balige.[5] Tentang seorang siswa yang kepayahan mengenali teman semejanya di balik riasan tebal. Tentang gerombolan siswa yang mencuri-curi waktu keluar untuk merokok. Tentang seorang siswa yang menyatakan cinta pada siswi kelas sebelah yang sudah sekian lama ditaksirnya.
Sampai di sini, saya malah tak lagi tahu akan menulis apa tentang Balige. Seribu kata terlalu pendek sekaligus terlalu panjang. Tak tahu bagaimana akan memulai. Tak juga tahu bagaimana akan mengakhirinya. Lengkung cakrawala sepanjang mata memandang Danau Toba, hanya menegaskan hati yang tertambat di Kota Balige. Entah bagaimana orang-orang memaknai “kota” di depan namanya: sekadar ibukota Kabupaten[6], pusat pemerintahan, daerah yang bising oleh lalu-lalang kendaraan, tempat nongkrong yang bertebaran bak jamur selepas hujan, muda-mudi beserta ragam komunitasnya yang kekinian, atau kegiatan ekonomi yang berputar amat kencang. Tetapi Balige bagiku bukan semata tempat (place). Jauh melampaui itu, ia adalah ruang (space), yang rasa-rasanya tak berpangkal tak berujung. Dan aku abadi di dalamnya.
ADVERTISEMENT
***
Kadang, saya berharap jadi pelancong saja, yang menuliskan kesan-kesan tentang betapa menarik Kota Balige. Atau, saya berharap jadi perantau sukses, yang bisa mengisahkan ulang bagaimana kearifan Kota Balige membentuknya menjadi pribadi yang kukuh, memegang prinsip dalam mewujudkan cita di perantauan yang kerasnya tak kenal ampun. Tapi saya bukan keduanya. Belasan tahun saya melakoni peran sebagai pelajar di Soposurung, Balige. Setelahnya saya jadi mahasiswa di kota orang.[7] Dan kini saya masih di kota yang sama. Hidup atau hanya sekadar bertahan hidup, saya pun belum begitu yakin. Yang saya tahu, saya mencari nafkah di satu hari untuk dimakan pada hari berikutnya. Mungkin ini yang disebut nenek moyang orang Batak sebagai marhais martuduk.[8]
ADVERTISEMENT
Rasa rindu pada Balige selalu terbit tak beraturan. Sesekali saya sempatkan pulang ke sana, dan seringkali saya temui orang-tempat-rasa tak lagi sama seperti ketika saya meninggalkannya. Saya terlalu naif, tentu. Karena mengira (atau mengharapkan?) banyak hal tetap sama di kota yang terus berbenah dan bergerak maju.
Tapi saya cukup percaya diri untuk mengatakan. Bahwa Balige boleh tumbuh setinggi yang ia mau, namun tetaplah akarnya menancap di tanah yang digemburkan dengan susah payah oleh para leluhur: arif, sejuk, menjunjung tinggi adat istiadat, sopan santun, gotong royong, dan hal-hal baik lainnya.
***
ADVERTISEMENT
Pulang mungkin masih enggan mengantarkan arti, tapi pulang jangan sampai kehilangan arti. Mengingat Balige selalu membuat bahagia terbit di hati saya, sebab saya tahu kalau saya ternyata punya tempat untuk pulang.
***
Seribu kata nyatanya terlalu panjang dan terlalu pendek pada saat bersamaan. Saya gagal mencapai seribu kata. Dan saya gagal mengurai Balige dalam beberapa ratus kata yang sanggup saya tuliskan. Apa yang sedari tadi saya lakukan ternyata hanyalah meluruskan pita kaset ingatan yang kusut, sehingga saya bisa memutar kembali beberapa tembang kenangan di kepala, yang saya dengar dan rasakan sendiri.
Jika suaranya terdengar dan terasa sampai ke tempat di mana kini kau berdiri-duduk-rebahan, barangkali kita pernah berada di ruang yang sama. Semoga lekas kita berjumpa lagi, dengan atau tanpa kita sadari.
ADVERTISEMENT
Medan, Lebaran 2022
[1] Persis di depan Tugu Naga Baling, terdapat angkringan bandrek yang nyaris tak pernah sepi pelanggan. Tugu Naga Baling sendiri merupakan tugu marga Napitupulu.
[2] Kompetisi sepakbola antar kampung, ataupun antar klub dalam satu kecamatan.
[3] Jalan santai atau jalan sehat. Kerap diadakan oleh pemkab. Banyak di antara peserta, terutama dari kalangan remaja dan anak-anak, ikut hanya untuk mendapatkan hadiah yang diundi di akhir kegiatan.
[4] Angkutan umum yang membawa pulang-pergi anak-anak sekolah di Soposurung. Motor Sopo adalah istilah yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.
[5] Perayaan Natal sekolah-sekolah di Balige biasanya dilangsungkan pada sore atau malam hari di gereja-gereja yang ada di Balige. Kini, tak jarang perayaan natal sekolah diadakan di aula atau halaman sekolah pada pagi atau siang hari.
ADVERTISEMENT
[6] Kecamatan Balige merupakan ibukota Kabupaten Toba.
[7] Saya kuliah di Kota Medan sejak tahun 2017 hingga 2021.
[8] Ungkapan dalam bahasa Batak Toba yang secara literal berarti ‘mengais’ dan ‘memagut’. Merujuk pada ayam yang mengais tanah untuk mecari makanan. Ungkapan ini merupakan bentuk antropomorfisme ayam terhadap manusia, di mana makanan yang dicari-dihasilkan dalam satu hari akan dimakan habis di hari yang sama. Tidak menyimpan untuk hari kemudian.