Sekilas Tentang Novel Panca in Dira

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
25 April 2022 14:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Novel Panca in Dira karya Robby Fibrianto Sirait. Gambar: Dok. pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Novel Panca in Dira karya Robby Fibrianto Sirait. Gambar: Dok. pribadi.
ADVERTISEMENT
Kisah ini dituturkan oleh Dira, seorang mahasiswi yang harus bekerja paruh waktu di tengah kesibukan kuliah. Tak heran, ayahnya telah meninggal dunia. Tinggal ia bersama Ibu dan adik-adiknya. Alur hidup membentuknya menjadi pribadi yang kukuh, tak ambil pusing pada “hal remeh-temeh” yang justru sedang digeluti oleh teman-teman sebayanya. Soal cinta dan perasaan, misalnya. Dengan seabrek kesibukannya, Dira tak peka mengenali seorang pria yang ternyata—menyitir Saut Situmorang—mencintainya secara membabi buta. Panca nama pria itu.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kelanjutan kisah cinta Panca yang membabi buta itu? Bagaimana pula Dira, yang lamban menyadarinya, menyikapinya? Hm, silakan Anda baca sendiri novelnya sampai tuntas. Itu tujuan menulis ulasan, kan? Biar bukunya laku, hehe.
Novel yang rilis pada tahun 2018 ini ditulis oleh Robby Fibrianto Sirait, pengarang kelahiran 1997. Berkisah tentang seorang perempuan yang berkisah tentang kisah cintanya.
Baca ulang kalimat terakhir pada paragraf di atas! Ada tiga kali pengulangan kata ‘kisah’. Dalam satu perspektif menulis, mungkin tak bagus melakukan pengulangan kata. Bisa membuat pembaca bosan. Lebih baik cari padanan yang berima, begitu kata mentor-mentor menulis. Tapi dalam perspektif lain, alih-alih bosan, pengulangan kata nyatanya bisa memberi kesan “memaksa” oleh penulis kepada pembaca. Memaksa agar pembaca terlibat langsung dalam cerita, dan dalam gagasan yang hendak disampaikan.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang dilakukan oleh pengarang Panca in Dira. Dialog yang intens membawa paksa pembaca memasuki setiap adegan. Panca, yang hadir begitu sering melalui dialog maupun surat yang dibacakan oleh Dira sang penutur pun terasa tak kalah dekat dengan pembaca.
Demikian Panca dalam secarik suratnya kepada Dira. Memanglah betul, intensi Panca, dan pengisahan novel secara keseluruhan, untuk melibatkan pembaca dalam kisahnya dengan Dira sangat mudah diendus. Panca tak henti-hentinya menegaskan eksistensinya di depan Dira yang sedari awal bersikap dingin terhadap Panca.
Melalui kehadirannya dalam dialog yang Medan kali (novel ini mengambil Kota Medan sebagai latar) dan surat-suratnya, Panca menegaskan pandangannya tentang cinta. Bahwa cinta bukan perkara transaksional. Atau sebagaimana dalam lirik-lirik lagu pop: cinta tak harus memiliki. Jika ia memutuskan mencintai seseorang, maka tak ada kewajiban bagi orang yang ia cintai untuk mencintainya balik. Cinta jenis ini biasanya menjelma menjadi cinta dalam diam.
ADVERTISEMENT
Panca pun sebenarnya demikian. Tak jarang ia bersinggungan dengan Dira, namun lebih memilih untuk meluapkan perasaannya pada catatan hariannya. Catatan harian, yang secara ajaib dan FTV banget, lantas sampai ke tangan Dira yang kemudian menjadi pertimbangan baginya untuk menerima cinta Panca.
Inilah salah satu daya tarik Panca in Dira: pengisahan yang menghadirkan kontradiksi cinta dalam diam dengan intensi yang menggebu untuk menegaskan eksistensi. Amboi! Postmodernisme kali bah!
Satu lagi yang menarik dari novel ini adalah persinggungannya dengan lingkaran aktivisme. Karakter Panca dibangun sedemikian rupa, sebagai mahasiswa cum aktivis yang teguh memegang prinsip. Kritik sosial pun disisipkan paralel dengan karakter Panca. Mungkin bukan hal baru, namun agaknya novel-novel metropop (atau bahkan teenlit!) bisa menjadi medium efektif untuk menyampaikan kritik sosial. Lihat saja, misalnya, novel "Konspirasi Alam Semesta" karya pengarang asal Bandung, Fiersa Besari. Dalam kesederhanaan novel itu, anak-anak muda bisa menemukan kembali jejak diskriminasi rezim orde baru terhadap eks tahanan politik yang dituduh simpatisan PKI.
ADVERTISEMENT
Demikianlah. Ulasan ini saya cukupkan sampai di sini. Malas kali aku nulis panjang-panjang. Tuh, saya jadi ketularan logat Medan Panca dan Dira. Yasudah. Semoga budaya apresiasi karya tetap terjaga, terasah, dan menjadi pemicu lahirnya karya-karya baru. Salam.