Tantangan Pemenuhan HAM Masa Kini

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
19 Agustus 2022 11:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi Kamisan Medan. Sumber: Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Kamisan Medan. Sumber: Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
Pemenuhan (to fulfill) sebagai satu dari tiga kewajiban negara dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) adalah sesuatu yang jarang saya bicarakan. Dalam berbagai kesempatan, saya lebih sering menyinggung dua kewajiban lainnya: menghormati (to respect) dan melindungi (to protect). Bagi saya, pemenuhan hanya isapan jempol belaka kalau penghormatan dan pelindungan saja belum mampu dilakukan oleh negara. Inilah tantangan pertama yang kita hadapi dalam pemenuhan HAM.
ADVERTISEMENT
Pemenuhan HAM oleh negara boleh jadi tidak begitu mendesak, ketika hak-hak asasi yang melekat dalam diri setiap manusia tidak diusik oleh negara. Sebut saja hak atas kebebasan berpendapat (freedom of speech) sebagai contoh. Hak asasi ini bisa saja tak butuh pemenuhan oleh negara. Warga bisa menikmatinya dengan damai kalau saja tidak ada regulasi dengan pasal karet yang membungkam kebebasan berpendapat seperti UU ITE.
Cukup memastikan tidak ada regulasi opresif macam pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE, hak atas kebebasan berpendapat sudah terpenuhi dengan sendirinya. Kalaupun negara ingin bertindak lebih, dalam rangka pemenuhan HAM, maka yang seharusnya dilakukan adalah dengan menjamin bahwa tak seorang pun dapat dipidana karena menikmati haknya. Misalnya, dengan mengesahkan regulasi Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), dalam rangka memastikan setiap warga negara tidak bisa digugat maupun dipidana karena tindakannya yang termasuk dalam partisipasi publik.
ADVERTISEMENT
Tantangan kedua, tidak ada political will para pemangku kebijakan yang punya posisi strategis untuk melakukan pemenuhan HAM. Tak bisa dimungkiri, upaya pemenuhan HAM tidak bisa lepas dari proses-proses politik yang berlangsung di lembaga legislatif, eksekutif hingga yudikatif pada setiap tingkatan. Misalnya, dalam hal pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, diperlukan regulasi yang lebih implementatif. Di level kabupaten/kota, maka diperlukan sebuah peraturan daerah yang mampu mengakomodir kebutuhan para penyandang disabilitas di masing-masing kabupaten/kota yang bersangkutan. Dalam rangka menggodok regulasi tersebut, di situlah dibutuhkan political will para pemangku kebijakan, khususnya pemerintah daerah setempat beserta legislatifnya. Ketiadaan political will dari pemangku kewajiban hanya akan membuat upaya pemenuhan HAM berhenti di tataran ide.
Tantangan ketiga, demokrasi prosedural. Proses policy-making di Indonesia acapkali terjebak dalam demokrasi prosedural alih-alih menerapkan demokrasi substansial. Bahkan tak jarang, kebijakan yang seolah-olah demokratis (pseudo-democracy) itu justru merusak demokrasi. Penulis cum jurnalis Sindhunata suatu kali memberi ungkapan yang tepat untuk situasi semacam ini: melumpuhkan demokrasi dengan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Demokrasi prosedural mengesankan demokrasi semata-mata soal keterwakilan dalam pembuatan kebijakan, namun pada saat bersamaan tidak benar-benar menyerap aspirasi masyarakat. Karena menempatkan keterwakilan seolah-olah satu-satunya prasyarat demokrasi, demokrasi prosedural justru terjebak pada paradigma ‘politik keterwakilan’ alih-alih ‘keterwakilan politik’. Proses penyerapan aspirasi rakyat dalam proses pembuatan kebijakan dijadikan sebagai syarat formal belaka. Bukan dalam rangka melibatkan publik secara bermakna (meaningful participation).
Tantangan keempat, abusive constitutionalism. Istilah ini ditawarkan oleh David Landau, akademikus hukum dari Florida State University. Landau merumuskan abusive constitutionalism sebagai penggunaan mekanisme perubahan konstitusi—amandemen maupun penggantian—untuk membuat negara lebih tidak demokratis dari sebelumnya. Di Indonesia, ancaman ini sempat terendus dengan adanya wacana amandemen konstitusi untuk menambah masa jabatan presiden. Dari yang sebelumnya dibatasi hanya sampai 2 (dua) periode, menjadi 3 (tiga) periode.
ADVERTISEMENT
Sekalipun pembatasan masa jabatan presiden merupakan buah reformasi yang diperjuangkan dengan berdarah-darah, para pendengung wacana presiden 3 periode tetap saja mereka-reka alasan untuk meloloskan usulannya. Mulai dari kondisi perekonomian, sampai situasi keterbelahan masyarakat akibat perbedaan pandangan politik. Alasan-alasan tesebut dibingkai sedemikian rupa agar opsi amandemen tampak sebagai satu-satunya pilihan yang masuk akal.
Ancaman abusive constitutionalism ini kian nyata tatkala Presiden Joko Widodo lebih banyak memberi penegasan bahwa dirinya akan tunduk pada konstitusi. Padahal, persoalannya bukan tunduk atau tidak pada konstitusi, melainkan adanya upaya menggunakan mekanisme amandemen konstitusi untuk meloloskan ide yang mengkhianati demokrasi. Jargon “tunduk pada konstitusi” nyatanya bisa sangat berbahaya jika kita—masyarakat sipil tidak cukup kritis untuk mengenali bahaya abusive constitutionalism yang pada gilirannya akan berdampak buruk bagi pemenuhan HAM.
ADVERTISEMENT
Tantang kelima, pelemahan gerakan masyarakat sipil dengan cara-cara sistematis. Beberapa cara tersebut antara lain dengan “mengisap” individu-individu dari kelompok intelektual masuk ke dalam lingkar kekuasaan. Pola ini menandakan upaya pelemahan gerakan karena individu intelektual yang tadinya kritis hampir selalu jadi bungkam begitu menjadi bagian dari kekuasaan. Upaya lainnya adalah dengan menebar ancaman dan teror terhadap para Pembela HAM. Mulai dari ancaman digital, kriminalisasi, hingga penyerangan secara fisik. Situasai ini diperparah dengan jaminan pelindungan hukum bagi Pembela HAM yang belum optimal. Tantangan ini harus kita hadapi dengan berani. Lawan!