Gender dan Harta Waris dalam Budaya Batak

Christin Natalia Tambunan
Mahasiswi UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
17 Desember 2020 14:31 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christin Natalia Tambunan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Simanjuntak, Siregar, Tambunan, Simbolon, Nainggolan, Panjaitan, dan Simorangkir mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Itu adalah beberapa marga yang ada dalam Suku Batak. Berdasarkan Wikipedia, Suku Batak saat ini menempati suku bangsa dengan populasi terbanyak ketiga di Indonesia setelah Suku Jawa dan Suku Sunda. Tak heran jika sering kita jumpai masyarakat Suku Batak di berbagai wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Batak terkenal dengan budayanya yang patrilineal serta adat istiadatnya yang kental dan masih berlangsung sampai saat ini. Dalam budaya Batak, laki-laki dianggap paling penting dalam setiap aspek kehidupan, hal inilah yang mengakibatkan kesenjangan gender dalam masyarakat.
Sumber data dari https://www.hipwee.com/wedding/memahami-11-langkah-rumit-nan-panjang-dalam-prosesi-nikah-adat-batak-toba-yang-sakral-dan-sarat-doa/
Laki-laki dalam budaya Batak menempati urutan pertama atau bisa dikatakan yang paling mendominasi, sedangkan perempuan berada di bawahnya. Hal ini dapat terlihat dari garis keturunan atau biasa disebut marga, yang hanya diwariskan kepada laki-laki, jadi apabila dalam suatu keluarga terdapat perempuan, garis keturunan akan berhenti pada anak perempuan tersebut dengan kata lain tidak ada yang meneruskan. Apapun keputusan dari laki-laki biasanya dalam masyarakat Batak hal tersebut harus diikuti oleh perempuan.
Dalam budaya Batak biasanya anak laki-laki yang lebih diprioritaskan, misalnya saja dalam hal pendidikan, pasti anak laki-laki yang lebih diperhatikan dan diharapkan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, karena suatu saat nanti laki-laki akan menjadi pemimpin dalam keluarga. Sedangkan anak perempuan biasanya tidak diberikan pendidikan lebih tinggi dari laki-laki karena menganggap, “untuk apa di sekolahkan tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya di dapur.” Hal ini tentunya sangat disayangkan karena perempuan juga memiliki kesempatan dan potensi dalam dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan keturunan, pembagian harta waris dalam budaya Batak biasanya diberikan kepada anak laki-laki bahkan lebih banyak, sedangkan anak perempuan mendapatkan sedikit atau bisa dikatakan tidak mendapat sama sekali. Ini tentunya menimbulkan rasa iri satu sama lain dan memicu pertengkaran dalam keluarga. Perempuan dalam hal harta waris tidak memiliki kuasa atau posisinya lemah. Namun hal ini berlaku sebelum keluarnya Tap MPRS No.11 Tahun 1960 dan putusan Mahkamah Agung No.179K/Sip/1961 yang menyatakan persamaan hak anak laki-laki dan perempuan dalam hal warisan.
Seiring perubahan zaman tentunya masyarakat Batak sudah banyak yang meninggalkan “versi” lama atau aturan dalam permasalahan gender maupun dalam pembagian harta waris. Seperti yang bisa dilihat saat ini bahwa para perempuan sudah mendapatkan pendidikan yang layak, karena dalam istilah adat pernikahan Batak, perempuan akan dibeli dan apabila makin tinggi pendidikan dan karirnya maka semakin mahal pula perempuan tersebut. Kini masyarakat Batak memang sudah mulai menerapkannya secara adil, akan tetapi apabila melihat ke daerah pedalaman atau masyarakat yang belum mengenal aturan hukum sepenuhnya, dalam pembagian harta waris masih menggunakan sistem adat yang mana laki-laki akan mewarisi sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Besar harapan masyarakat Batak khususnya wanita agar tetap adil mengenai hal apapun dalam keluarga. Semestinya saat ini sudah tidak ada lagi kesenjangan gender, dan menganggap bahwa laki-laki dan perempuan sama derajatnya. Karena menurut saya, laki-laki dan perempuan diciptakan sederajat dan bertugas untuk saling melengkapi.