Aspek Hukum Internasional Perang Rusia ke Ukraina

Christofel Sanu
Tenaga Ahli Hukum Minyak Gas Bumi PT. Nusa Consultan. Indonesian Legal and Regulation On Oil and Gas Industry. Peminat masalah Geopolitik, Hukum, Sosial Budaya, Politik dan Pariwisata. Tinggal di Jakarta
Konten dari Pengguna
2 April 2022 11:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christofel Sanu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Praktisi Hukum, (Indonesia Legal and Regulation Advice On Oil and Gas Industry), Member of MMI. Tinggal di Jakarta.
Ilustrasi @Christofel.S,diolah Sendiri,/Pintu masuk ke Pengadilan Kriminal Internasional. Kredit: Robert Paul Van Beets/Shutterstock.
Sejak menginvasi, Rusia telah melanggar ketentuan hukum internasional yang sangat signifikan. Berbagai upaya dan mekanisme hukum tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan perang tersebut.
ADVERTISEMENT
Invasi yang dilakukan mengisyaratkan pesan yang kuat dan tegas: bagi setiap negara yang secara terang-terangan melanggar ketentuan hukum dan merusak tatanan dunia akan mengalami tindakan isolasi, dan sanksi, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan penyelidikan kejahatan perang oleh Mahkamah Internasional
Invasi Rusia merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Pasal 2 (4) Piagam PBB, yang melarang setiap negara untuk menggunakan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lain. Ini juga merupakan kejahatan agresi. Tindakan tersebut telah menghasilkan resolusi PBB terhadap Rusia dan pembentukan komisi penyelidikan, serta dimulainya penyelidikan yang cepat oleh Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional terhadap dugaan kejahatan perang.
Selain itu, proses gugatan terhadap Rusia telah dimulai berjalan walaupun proses hukum ini tentu tidak akan menghentikan upaya tentara Rusia, menginvasi namun mekanisme hukum ini penting dalam menyampaikan pesan ke Rusia dan seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Invasi Rusia adalah aksi perang paling luas antara negara-negara sejak akhir Perang Dunia II, dan mengancam tatanan dunia yang didirikan setelah perang itu. Invasi tersebut juga memiliki konsekuensi hukum,dan upaya menentang lembaga serta perangkat hukumnya.
Invasi itu sendiri merupakan pelanggaran tegas dan terang-terangan terhadap Pasal 2(4) Piagam PBB, yang melarang negara-negara untuk menggunakan, atau mengancam akan menggunakan, kekuatan melawan integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lain.
Larangan ini dianggap sebagai norma preemptory atau tindakan atau perkara sudah dan tidak dapat ditunda dalam hukum internasional. Rusia tidak menampik adanya larangan, namun berusaha membenarkan invasi tersebut dengan argumentasi hukum, seperti yang dilakukannya terkait invasi Rusia pada tahun 2014.
Argumen Rusia didasarkan pada Pasal 51 Piagam PBB mengatur tentang Self Defense merupakan pengecualian penggunaan senjata dari Pasal 2, ayat 4, Perserikatan Bangsa (PBB) mengizinkan suatu negara untuk bertindak dalam rangka self defense secara individual atau kolektif dikatakan sah hanya jika suatu serangan bersenjata negara berkewajiban untuk melaporkan penggunaan kekuatannya ketika mengeklaim bertindak sebagai self defense kepada dewan Keamanan (DK PBB).
ADVERTISEMENT
Dalam deklarasinya tentang "operasi militer khusus" pada 24 Februari 2022, mencatat bahaya bagi negaranya dari ekspansi NATO ke arah timur dan penempatan senjata canggih, yang, menurutnya, merupakan ancaman eksistensial yang membenarkan penggunaan kekuatan untuk membela diri.
Pintu Gerbag Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda. (Foto: Marina Riera/Human Rights Watch)
Invasi Rusia merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Pasal 2 (4) Piagam PBB, yang melarang setiap negara untuk menggunakan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lain. Ini juga merupakan kejahatan agresi. Tindakan tersebut telah menghasilkan resolusi PBB terhadap Rusia dan pembentukan komisi penyelidikan, serta dimulainya penyelidikan yang cepat oleh Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional terhadap dugaan kejahatan perang.
Selain itu, proses gugatan terhadap Rusia telah dimulai berjalan walaupun proses hukum ini tentu tidak akan menghentikan upaya tentara Rusia, menginvasi namun mekanisme hukum ini penting dalam menyampaikan pesan ke Rusia dan seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Invasi Rusia adalah aksi perang paling luas antara negara-negara sejak akhir Perang Dunia II, dan mengancam tatanan dunia yang didirikan setelah perang itu. Invasi tersebut juga memiliki konsekuensi hukum,dan upaya menentang lembaga serta perangkat hukumnya.
Invasi itu sendiri merupakan pelanggaran tegas dan terang-terangan terhadap Pasal 2(4) Piagam PBB, yang melarang negara-negara untuk menggunakan, atau mengancam akan menggunakan, kekuatan melawan integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lain.
Larangan ini dianggap sebagai norma preemptory atau tindakan atau perkara sudah dan tidak dapat ditunda dalam hukum internasional. Rusia tidak menampik adanya larangan, namun berusaha membenarkan invasi tersebut dengan argumentasi hukum, seperti yang dilakukannya terkait invasi Rusia pada tahun 2014.
Argumen Rusia didasarkan pada Pasal 51 Piagam PBB mengatur tentang Self Defense merupakan pengecualian penggunaan senjata dari Pasal 2, ayat 4, Perserikatan Bangsa (PBB) mengizinkan suatu negara untuk bertindak dalam rangka self defense secara individual atau kolektif dikatakan sah hanya jika suatu serangan bersenjata negara berkewajiban untuk melaporkan penggunaan kekuatannya ketika mengeklaim bertindak sebagai self defense kepada dewan Keamanan (DK PBB).
ADVERTISEMENT
Dalam deklarasinya tentang "operasi militer khusus" pada 24 Februari 2022, mencatat bahaya bagi negaranya dari ekspansi NATO ke arah timur dan penempatan senjata canggih, yang, menurutnya, merupakan ancaman eksistensial yang membenarkan penggunaan kekuatan untuk membela diri.
Jelas tidak ada dasar faktual untuk klaim bahwa Rusia berada di bawah ancaman nyata, yang dapat membenarkan klaim pembelaan diri, bahkan mengambil interpretasi yang paling luas dari hak ini.
Logo NATO , Presiden Rusia Vladimir Putin ( Foto by : Getty; Atlantik/17 MARET 2022)
Rusia juga mengeklaim bahwa Rusia bertindak berdasarkan hak untuk membela diri secara kolektif, dalam arti bahwa ia datang untuk membela separatis pendukung Rusia yang diduga diserang oleh pemerintah.
Di luar pertanyaan tentang dasar faktual dari klaim ini, pertahanan diri kolektif, yang memungkinkan suatu negara untuk menjawab permintaan bantuan dari negara yang diserang, hanya ada ketika permintaan datang dari negara dan bukan dari lembaga negara.
ADVERTISEMENT
Pengakuan Rusia atas dua wilayah separatis di wilayah timur Ukraina, Donetsk dan Luhansk, tidak memiliki validitas hukum dan, oleh karena itu, invasi tidak dapat dianggap sebagai tanggapan atas permintaan bantuan dari negara lain.
Selanjutnya, penggunaan kekuatan untuk membela diri tunduk pada prinsip-prinsip kebutuhan, yaitu tidak adanya cara tanpa kekerasan untuk menghilangkan ancaman, dan proporsionalitas, yaitu kekuatan yang digunakan tidak melebihi ancaman.
Tindakan Rusia jelas gagal memenuhi prinsip-prinsip ini, sebagaimana dibuktikan oleh tujuan kampanye militer yang dinyatakan, yang jauh melampaui menghilangkan ancaman nyata, dan merujuk pada tujuan demiliterisasi , mengungkapkan niat Rusia untuk menghasilkan perubahan rezim dan membawa pengaruh Rusia.
Invasi Rusia juga merupakan kejahatan agresi internasional. Selain itu, ada banyak laporan tentang pasukan Rusia yang melakukan kejahatan perang, seperti serangan yang disengaja terhadap warga sipil, penggunaan kekuatan yang tidak proporsional, dan penggunaan senjata terlarang.
ADVERTISEMENT
Ukraina juga dapat meminta negara-negara lain untuk bergabung dalam upayanya untuk mempertahankan diri, dan penggunaan kekuatan melawan serangan Rusia oleh negara-negara lain akan diizinkan di bawah hak kolektif untuk membela diri.
Pada saat yang sama, hukum konflik bersenjata berlaku sama untuk kedua belah pihak yang berkonflik, sehingga pasukan harus mematuhinya, meskipun merek pihak yang jadi korban agresi
Invasi tersebut merupakan pelanggaran nyata dan otentik terhadap komitmen Rusia di bawah Memorandum Budapest tahun 1994 untuk menghormati perbatasan yang ada dan integritas teritorial dan untuk menahan diri dari mengancam atau menggunakan kekuatan untuk melawannya.
Ditandatangani sebagai bagian dari bergabungnya dengan Nuclear Non-proliferation Treaty (NPT) tahun 1968, dan persetujuannya untuk membongkar setiap senjata nuklir yang tersisa di wilayahnya setelah runtuhnya Uni Soviet (pada saat itu, persediaan yang terbesar ketiga di dunia).
Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tahun 1968 (Foto : NPT Map Kemlu.go.id)
Memorandum tersebut juga ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Inggris. Pihak Ukraina menghubungi Dewan Keamanan dengan permintaan mendesak untuk konsultasi, sesuai dengan Pasal 6, dari memorandum, untuk membahas tindakan mendesak yang ditujukan untuk Deeskalasi dan langkah-langkah untuk menjamin keamanan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengumuman Rusia tentang peningkatan tingkat siaga pasukan strategisnya, termasuk yang menggunakan senjata nuklir, bertentangan dengan pernyataan bersama 3 Januari 2022 yang diterbitkan bersama dengan anggota tetap Dewan Keamanan lainnya, di mana mereka menyerukan menghindari perlombaan senjata nuklir dan perang, dan menyatakan bahwa perang seperti itu tidak boleh dilakukan.
Tindakan Pelanggaran Rusia bertentangan beberapa aspek dan mekanisme hukum internasional di antaranya;
Mekanisme Pertama, terdiri dari badan-badan PBB. Seperti yang diharapkan, pada 25 Februari, Rusia memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan yang mengutuk invasi tersebut.
Penandatanganan Piagam PBB di San Francisco, 26 Juni 1945.(United Nations)
Ini adalah pertama kalinya dalam empat puluh tahun Dewan Keamanan mengambil langkah seperti itu, yang sesuai dengan Resolusi 377 Majelis Umum tahun 1950, yang dikenal sebagai “bersatu untuk perdamaian.”
ADVERTISEMENT
Resolusi ini memberi wewenang kepada Majelis Umum untuk merancang rekomendasi bagi anggota PBB mengenai tindakan kolektif, termasuk penggunaan kekuatan, dalam kasus di mana Dewan Keamanan gagal melaksanakan tanggung jawab utama perdamaian dan keamanan internasional karena kurangnya kekuatan suara di antara anggota tetap. anggota.
Selanjutnya, pada tanggal 2 Maret, Majelis Umum, dengan dukungan luas dari 141 negara, termasuk Israel, mengadopsi sebuah Resolusi untuk mengutuk keras invasi Rusia dan menyerukannya untuk menarik pasukannya.

Hanya lima negara yang menentang resolusi tersebut.

Selain itu, pada 4 Maret, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengutuk pelanggaran hak asasi manusia dan membentuk komisi penyelidikan untuk memeriksa pelanggaran ini dan dugaan kejahatan perang. Resolusi itu disahkan dengan mayoritas 32 (termasuk Uni Emirat Arab dan Qatar) dengan dua menentang (Rusia dan Eritrea) dan 13 abstain (termasuk Tiongkok dan India). Ukraina dan Rusia bukan merupakan anggota Mahkamah Pidana Internasional, namun pada tahun 2015, memberikan pernyataan ad hoc yang menerima yurisdiksi pengadilan di wilayahnya mulai tanggal 21 November, 2013.
Ruang sidang Gerbag Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda. (Foto: Marina Riera/Human Rights Watch)
Pada bulan Desember 2020, mantan jaksa menyelidiki terhadap potensi kejahatan perang yang dilakukan selama pencaplokan Semenanjung Krimea dan pertempuran di wilayahnya timur pada tahun 2014, tetapi menyerahkan keputusan kepada Jaksa Penuntut yang baru
ADVERTISEMENT
Pada 28 Februari, Jaksa Karim Khan mengingatkan situasinya, ia maksud untuk melanjutkan penyelidikan sesegera mungkin, yang akan mencakup dugaan kejahatan perang yang dilakukan selama pertempuran saat ini.
Untuk memungkinkan penyelidikan segera dimulai, tanpa menunggu persetujuan dari ruang Praperadilan, 39 negara anggota, yang dipimpin oleh Inggris, membuat rekomendasi resmi kepada Jaksa untuk membuka penyelidikan.
Selanjutnya, Jaksa mengumumkan bahwa tim penyelidik dikirim ke Ukraina untuk mengumpulkan bukti. Penyelidikan tidak akan mengacu pada invasi itu sendiri (kejahatan agresi) karena, seperti yang dijelaskan oleh Jaksa, pengadilan tidak dapat menjalankan yurisdiksi atas kejahatan ini karena Ukraina dan Rusia bukan anggota Pengadilan.
Mekanisme Ketiga adalah proses pengadilan internasional lainnya di antaranya Pada tanggal 26 Februari, Ukraina mengajukan pengaduan terhadap Rusia ke Mahkamah Internasional, dan meminta tindakan sementara .
ADVERTISEMENT
Yurisdiksi Mahkamah Internasional bergantung pada persetujuan dari negara-negara yang terlibat untuk mengajukan perkara di hadapannya.
Persetujuan dalam kasus ini didasarkan pada Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, yang konteksnya Pengadilan memiliki yurisdiksi atas Rusia dan Ukraina, mengingat tuduhan Rusia bahwa Ukraina melakukan genosida di wilayah separatis. Ukraina menuduh Rusia mendistorsi konsep genosida dan tuduhan palsu, serta merencanakan aksi genosida terhadap rakyat Ukraina
Pengadilan mengadakan dengar pendapat mengenai permintaan tindakan sementara sesegera mungkin.
Pengaduan sempat tertunda yang diajukan ke Pengadilan oleh terhadap Rusia pada tahun 2017 untuk diskriminasi etnis terhadap Ukraina di Krimea berdasarkan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, dan untuk mendanai organisasi teror di wilayah Donbas (di bawah Konvensi PBB Menentang Pendanaan Teror).
ADVERTISEMENT
Selain itu, pada 28 Februari, Ukraina meminta Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa untuk mengambil tindakan sementara yang mendesak terhadap Rusia.
Kemudian pada tanggal 1 Maret, Pengadilan menginstruksikan Rusia untuk menahan diri dari menyerang warga sipil dan objek sipil, untuk memastikan keamanan tim medis di daerah yang diserang atau dikepung, dan untuk melaporkan pelaksanaan instruksi tersebut.
Proses Pengadilan sudah berjalan dalam beberapa pengaduan lain yang tertunda oleh Ukraina terhadap Rusia, dan pada Januari 2021 memutuskan bahwa pengaduan tentang pelanggaran sistematis hak asasi manusia di Semenanjung Krimea dapat diterima dan akan didengar berdasarkan kemampuannya.
Jelas mekanisme hukum ini tentunya tidak akan menghentikan upaya tentara Rusia, tetapi yang paling penting adalah isyarat yang dikirim ke Rusia dan seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Bahwa Invasi adalah kasus pelanggaran yang nyata mencolok terhadap prinsip-prinsip dasar hukum internasional, yang merusak tatanan dunia yang didirikan setelah Perang Dunia II.
Tekanan badan hukum internasional terhadap Rusia, melalui proses hukum, dan sanksi yang belum pernah dikenakan pada Rusia,bahkan terhadap negara-negara sekutunya seperti Tiongkok yang berupaya menahan diri untuk tidak memberikan suara dan menentang resolusi yang mengutuk tindakan invasi Rusia, dan tindakan isolasi sebagai akibat hukum bagi negara-negara yang memutuskan untuk melanggar semua aturan, dalam hal menggunakan kekuatan supernya.

Sikap Indonesia

Pada kasus ini Indonesia mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari negara demokratis, dan maju. Jika Indonesia dapat memainkan peran yang berguna dalam menyelesaikan perselisihan, maka ada baiknya untuk terlibat aktif dan penting bagi Indonesia untuk tidak dianggap menyetujui agresi Rusia, jika hanya terkesan pasif saja ditambah dengan hubungan adanya hubungan Pemerintah Indonesia terutama terkait investasi strategis Indonesia dengan Rusia dan sekutunya Tiongkok dan Amerika Serikat, Indonesia sebagai negara tanpa hak hukum dan agresif, dapat menempatkan Indonesia di sisi sejarah penting Dewan Keamanan PBB. Selain itu, perilaku Invasi agresif Rusia tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai berdirinya Negara, jika mengacu pada Agresi Militer Belanda terhadap negara merdeka RI atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947.
ADVERTISEMENT
Menyikapi langkah Presiden Rusia, Presiden Indonesia, menyampaikan sikap melalui akun Ywitter beliau, agar kedua negara yang bertikai menghentikan tindakan mereka sebagaimana pada cuitan beliau.
“Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia.” akun twitter Presiden RI @Jokowi
“Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia.”
Dua kalimat ringkas itu terbit langsung lewat akun Twitter Presiden, hanya beberapa jam setelah rentetan serangan awal invasi militer Rusia di sebagian kota besar kota di Ukraina pada 24 Februari lalu. Pesan tersebut terasa samar mengingat Presiden tidak menjelaskan untuk siapa pesan tersebut disampaikan.
Beberapa jam setelah, hanya dua menit sebelum berganti hari, giliran Kementerian Luar Negeri yang memberikan pernyataan yang sedikit lebih tegas. Lembaga di bawah serangan militer terhadap membahayakan dan mengancam keselamatan dunia.
“Oleh karenanya, Serangan militer tidak dapat diterima. Serangan juga sangat membahayakan keselamatan rakyat dan mengancam perdamaian serta stabilitas kawasan dan dunia.”
ADVERTISEMENT
pernyataan Menteri Luar Negeri ini lebih berani menyebut “serangan militer” walaupun tetap tidak menyebut negara mana yang menyerang. Presiden dan Menteri Luar Negeri sama-sama tak menyebut negara Rusia di dalam ucapan mereka.
Belakangan, Pemerintah Indonesia mendukung Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berisi pengecaman dan menuntut penghentian invasi militer Rusia. Sebanyak 141 negara menyetujui resolusi tersebut, termasuk Indonesia.
Apakah pada akhirnya pernyataan dukungan pemerintah RI terhadap Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan tuntutan penghentian invasi militer Rusia juga mencakup sanksi isolasi ekonomi terhadap Rusia dari dunia luar? sampai saat ini masih sangat sumir, walaupun di media khususnya netizen yang dianggap sebagai buzzer pemerintah menempatkan diri sebagai pendukung tindakan Rusia Bersama Sekutunya Tiongkok dan Iran.
ADVERTISEMENT