news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Dampak Pemberlakuan TER: Menyebabkan Lebih Potong PPH 21?

Chusnul Khuluq
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN (PKN STAN) Prodi D4 Manajemen Keuangan Negara
12 Maret 2025 9:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chusnul Khuluq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
"Gambar 1. Ilustrasi Mengenal Apa Itu Tarif Efektif Rata-rata. (Sumber: DJP)"
zoom-in-whitePerbesar
"Gambar 1. Ilustrasi Mengenal Apa Itu Tarif Efektif Rata-rata. (Sumber: DJP)"
ADVERTISEMENT
Penerapan Tarif Efektif Rata-rata (TER) dalam pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang mulai berlaku sejak Januari 2024 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 (PP 58/2023) membawa berbagai perubahan signifikan bagi pemberi kerja dan pegawai. Salah satu dampak yang paling mencolok adalah potensi terjadinya lebih potong pajak pada pegawai, yang kemudian berdampak pada lebih bayar bagi pemberi kerja. Fenomena ini telah menjadi topik hangat di berbagai diskusi perpajakan, termasuk dalam layanan helpdesk Direktorat Jenderal Pajak.
ADVERTISEMENT
Tantangan dalam Implementasi TER
Penerapan TER yang dihitung berdasarkan penghasilan bruto pegawai pada setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, berpotensi menimbulkan kelebihan pemotongan pajak. Hal ini terutama terjadi pada pegawai yang menerima tambahan penghasilan pada bulan-bulan tertentu, seperti tunjangan hari raya (THR) atau bonus tahunan. Sebagai contoh, pegawai dengan penghasilan tetap Rp4.500.000 per bulan yang menerima THR di bulan April akan memiliki penghasilan bruto Rp9.000.000 pada bulan tersebut. Akibatnya, pemotongan PPh Pasal 21 pada bulan April lebih besar dibandingkan jumlah yang seharusnya dihitung berdasarkan total penghasilan tahunan.
Situasi ini menimbulkan kebingungan di kalangan pemberi kerja. Banyak yang mempertanyakan apakah mereka telah melakukan kesalahan dalam perhitungan pajak sebelumnya atau apakah ada mekanisme tertentu yang harus dilakukan untuk menyesuaikan pemotongan yang telah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Solusi yang Ditawarkan Regulasi
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 (PMK 168/2023) telah memberikan pedoman mengenai cara menangani kelebihan pemotongan pajak. Pasal 21 dari peraturan ini mengatur bahwa kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 harus dikembalikan kepada pegawai paling lambat akhir bulan setelah masa pajak terakhir. Bukti potong 1721-A1 yang diterima pegawai akan mencantumkan jumlah kelebihan pemotongan pada kolom 23, yang menunjukkan bahwa pegawai tersebut berhak menerima pengembalian dari pemberi kerja.
Selain itu, bagi pemberi kerja, kelebihan bayar yang muncul dalam SPT PPh Pasal 21 dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi perusahaan dalam mengelola arus kas terkait kewajiban perpajakan mereka. Namun, agar mekanisme ini berjalan dengan lancar, diperlukan pemahaman yang baik dari pihak pemberi kerja mengenai proses penghitungan dan pelaporan pajak.
ADVERTISEMENT
Kesiapan Pemberi Kerja dan Pegawai
Meskipun regulasi telah memberikan solusi teknis, implementasi TER tetap memerlukan kesiapan baik dari pemberi kerja maupun pegawai. Pemberi kerja harus memastikan bahwa sistem payroll mereka telah diperbarui untuk mengakomodasi mekanisme pengembalian lebih potong, sementara pegawai harus memahami bagaimana cara melaporkan pemotongan pajak mereka dengan benar dalam SPT Tahunan.
Di sisi lain, komunikasi yang jelas antara perusahaan dan pegawai sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pelaporan pajak. Pegawai yang memperoleh pengembalian pajak dari pemberi kerja harus memastikan bahwa mereka tidak kembali mengklaim lebih bayar saat melaporkan SPT Tahunan mereka. Hal ini dapat dihindari dengan mencocokkan nilai yang tercantum dalam bukti potong 1721-A1 pada kolom yang sesuai di SPT Tahunan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Penerapan TER dalam pemotongan PPh Pasal 21 merupakan langkah reformasi yang bertujuan untuk menyederhanakan dan meningkatkan kepatuhan pajak. Namun, seperti halnya setiap perubahan regulasi, penerapannya memerlukan adaptasi dari semua pihak terkait. Diperlukan sosialisasi yang lebih masif agar wajib pajak memahami implikasi aturan ini secara menyeluruh. Dengan pemahaman yang baik dan implementasi yang tepat, sistem ini dapat berjalan secara efektif tanpa menimbulkan beban administratif yang berlebihan bagi pemberi kerja maupun pegawai.