Konten dari Pengguna

Polemik Pengenaan Pajak Pada THR: Benarkah Beban Masyarakat Meningkat?

Chusnul Khuluq
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN (PKN STAN) Prodi D4 Manajemen Keuangan Negara
13 Maret 2025 9:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chusnul Khuluq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
"Gambar 1. Ilustrasi THR Cair. (Sumber: Penulis)"
zoom-in-whitePerbesar
"Gambar 1. Ilustrasi THR Cair. (Sumber: Penulis)"
ADVERTISEMENT
Masyarakat ramai menantikan pencairan Tunjangan Hari Raya (THR). Namun, banyak yang belum mengetahui jika potongan pajak akan lebih besar karena penambahan pendapatan berupa THR ini. Keluhan pun bermunculan, menuding kebijakan ini semakin menekan daya beli. Namun, apakah benar pemerintah menaikkan pajak? Ataukah ini sekadar perubahan sistem yang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat?
ADVERTISEMENT
Perubahan yang Mendasari Polemik
Sejak 1 Januari 2024, pemerintah menerapkan metode perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan Tarif Efektif Rata-rata (TER). Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 (PP 58/2023) serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 (PMK 168/2023). Metode ini membagi perhitungan pajak menjadi dua: tarif efektif bulanan untuk pegawai tetap dan tarif efektif harian untuk pegawai tidak tetap.
Jika dibandingkan dengan metode lama, memang ada perbedaan mendasar. Sebelumnya, PPh 21 dihitung dua kali terpisah untuk gaji dan THR. Dengan TER, keduanya dijumlahkan terlebih dahulu sebelum dikalikan dengan tarif yang lebih tinggi. Hasilnya? Potongan pajak THR terlihat lebih besar. Namun, apakah ini berarti beban pajak secara keseluruhan meningkat?
ADVERTISEMENT
Kenapa Potongan Pajak THR Terlihat Lebih Besar?
Beberapa faktor membuat potongan pajak pada THR tahun ini terasa lebih besar:
1. Metode Perhitungan yang Berubah: Kini, gaji dan THR dijumlahkan lebih dulu sebelum dikenakan pajak. Ini berbeda dengan metode lama yang menghitungnya secara terpisah.
2. Tarif TER yang Lebih Tinggi: Karena dihitung sebagai penghasilan tahunan rata-rata, penghasilan THR dapat mendorong pegawai masuk ke lapisan pajak yang lebih tinggi.
3. Penghasilan Bruto yang Lebih Besar: Saat menerima THR, penghasilan bruto meningkat, sehingga pajak yang dipotong pun otomatis lebih besar.
Sekilas, sistem ini tampak kurang menguntungkan bagi pegawai. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, benarkah pegawai membayar lebih banyak pajak daripada sebelumnya?
Tidak Ada Peningkatan Beban Pajak?
ADVERTISEMENT
Pemerintah menegaskan bahwa penerapan TER tidak menambah beban pajak tahunan. Meskipun potongan pada bulan THR lebih besar, pada bulan Desember pemberi kerja akan menghitung ulang pajak terutang dengan tarif normal dan mengurangkan pajak yang telah dibayarkan dari Januari hingga November. Dengan kata lain, pajak yang dibayarkan selama setahun tetap sama, hanya saja distribusi pemotongannya berubah.
Namun, di sinilah letak permasalahannya. Kebanyakan pegawai tidak terlalu memikirkan pajak tahunan secara akumulatif. Yang dirasakan adalah potongan bulanan—dan ketika pemotongan terasa lebih besar pada saat menerima THR, wajar jika muncul keluhan.
Kesederhanaan atau Beban Tersembunyi?
Pemerintah mengklaim bahwa sistem ini dibuat untuk menyederhanakan proses perhitungan pajak dan menghindari beban berat di akhir tahun. Namun, perlu diakui bahwa penerapan TER juga dapat menciptakan kesan bahwa beban pajak meningkat. Masyarakat mungkin tidak peduli bahwa mereka akan “dikompensasi” pada bulan Desember, karena yang mereka rasakan adalah pengurangan langsung saat THR diterima.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, sistem ini lebih menguntungkan bagi pemberi kerja karena mengurangi kompleksitas administrasi dalam penghitungan pajak. Namun, apakah kepraktisan ini sebanding dengan keresahan yang timbul di kalangan pekerja? Apakah kebijakan ini cukup dikomunikasikan dengan baik agar tidak menimbulkan kesalahpahaman?
Meningkatkan Literasi Pajak
Ketika kebijakan pajak berubah, komunikasi yang jelas kepada masyarakat sangat penting. Sayangnya, banyak pekerja yang tidak memahami sistem perpajakan secara mendalam, sehingga perubahan seperti ini justru menimbulkan kebingungan dan kecemasan.
Masyarakat harus lebih aktif dalam memahami bagaimana pajak mereka dihitung, sementara pemerintah dan pemberi kerja perlu lebih transparan dalam menyampaikan dampak perubahan kebijakan. Jika tidak, kebijakan yang sejatinya netral ini justru akan terus dianggap sebagai tambahan beban oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, polemik pajak THR ini bukan sekadar soal angka, tetapi juga soal kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan yang adil dan transparan. Sudahkah pemerintah dan pemberi kerja memastikan bahwa setiap pegawai memahami bahwa potongan pajak lebih besar pada THR bukan berarti beban pajak tahunan meningkat? Jika belum, maka tugas kita semua adalah memperjuangkan transparansi dan literasi pajak yang lebih baik di Indonesia.