Perempuan dan Mata Runcing Pendidikan

Cici Yuli Wartuti
Secretary Of The Algebra International Islamic Boarding School (IIBS) - Hukum Perdata Islam (HK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
Konten dari Pengguna
21 Juli 2021 16:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cici Yuli Wartuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang tokoh besar mazhab filsafat Stoa yang populer pada abad ke-4 SM, Marcus Tullius Cicero, pernah mengungkapkan sebuah kalimat yang sangat mengagumkan:
ADVERTISEMENT
Jika kita pahami, sungguh ungkapan Cicero tersebut melampaui zamannya. Bagaimanapun, masa lalu takkan pernah bisa kita pisahkan dari masa kini yang sedang berlangsung, bagaikan satu kesatuan yang saling mengikat, tidak akan pernah ada kekinian tanpa kelampauan.
Sebagai pendahuluan maksud, tulisan ini bukan untuk mengomentari kekeliruan ataupun kebenaran sejarah, karena saya teramat mafhum akan potensi keilmuan saya dalam bidang sejarah. Tegasnya, saya bukan sejarawan yang benar-benar ahli di bidangnya. Barangkali mengenai vero testis temporum dan lux veritatis, biarlah diungkap oleh para sejarawan negeri ini. Kendati bagaimanapun, jika memang terdapat kekeliruan dalam penulisan sejarah, maka lambat laun akan terbongkar juga. Secara singkatnya, suatu saat harus dibongkar, semoga masih ada orang-orang yang merasa mempunyai tanggung jawab moril untuk memenuhi panggilan sejarah dan menaruh perhatian baik tentang sejarah.
ADVERTISEMENT
Saat ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk menilik kembali ranah pendidikan perempuan pada masa dahulu. Konon, dalam kurun waktu beberapa dasawarsa yang telah berlalu, pendidikan di Indonesia hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki dan kaum perempuan bangsawan. Bukankah kita mengenal Rohana Kudus dan Dewi Sartika sebagai perempuan yang telah memberikan aksi konkret di ranah pendidikan untuk kaum perempuan? Pada zamannya, kaum perempuan hanya dipandang sebagai seonggok daging yang harus ahli di sumur, dapur dan kasur.
Sumber Photo : pixabay.com
Meski pemerintah Belanda secara resmi telah meminta maaf atas kekerasan brutal yang terjadi di Indonesia selama masa penjajahan berlangsung, namun "vita memoriae" yang terkandung dalam ungkapan Cicero tersebut takkan mungkin hilang dalam benak kita. Seluruh penjuru Indonesia menjadi saksi atas tindakan biadab antek-antek Belanda terhadap perempuan. Belum lagi para serdadu Jepang yang bahkan lebih tidak manusiawi, mereka kerap memperkosa gadis-gadis Indonesia sebagai pemuas nafsu, bahkan terkadang gadis baik-baik masuk dalam lokalisasi para serdadu Jepang kala itu. meskipun kita hanya bisa mendapatkan berita dari kabar-kabar angin atau sekadar membaca buku-buku sejarah, akan tetapi begitulah perempuan, bagaikan satu tubuh yang tak terpisahkan, yang sampai hari ini masih membuat darah kita mendidih jika sesekali terlintas di kepala.
ADVERTISEMENT
Di tengah zaman yang dulunya begitu buta terhadap dunia tulis dan dunia baca, lahirlah seorang srikandi Indonesia berdarah Minang pada tahun 20 Desember 1884, ialah Roehana Koeddoes (EBI : Ruhana Kuddus).
Tercatat, di usianya yang masih belia, 12 tahun, Ruhana telah mengajar membaca dan menulis untuk teman-teman sekampungnya. Pada tanggal 1 Februari 1911, ia telah memimpin sebuah organisasi yang bernama "Kerajinan Amai Setia" yang kemudian diresmikan menjadi nama sekolahnya. Dan, pada tahun-tahun berikutnya, ia memimpin beberapa surat kabar. Selama hidupnya, beliau dikenal sebagai wartawan yang vokal memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama sekali di bidang pendidikan perempuan.
Ruhana Kuddus pernah berkata:
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan lain, beliau mengungkapkan sebuah keteladanan yang sudah seharusnya kita contoh sebagai generasi muda, yaitu semangat berbagi ilmu dan tidak kikir atas ilmu yang telah dimiliki :
Selanjutnya kita juga mengenal srikandi Indonesia kelahiran tanah Pasundan, seorang pelopor emansipasi perempuan, pejuang pendidikan bagi kaum perempuan, yaitu Dewi Sartika. Sebuah langkah kecil yang pada akhirnya berdampak sangat besar yang telah diambil oleh Dewi Sartika, di usianya yang masih 10 tahun ia telah berhasil mengajar tulis-baca para pelayannya. Pada tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika dengan gagah berani mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama "Sakola Isteri" dengan 60 orang perempuan sebagai murid-muridnya yang pertama. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, sekolah yang telah beliau dirikan semakin maju dan berkembang dengan pesat, karena murid-muridnya menyebar ke segenap pelosok tanah Pasundan.
ADVERTISEMENT
Saya yakin, sebenarnya begitu banyak perempuan yang juga melakukan perjuangan yang sama seperti Ruhana Kuddus dan Dewi Sartika, hanya saja mereka tidak dicatat oleh sejarah ataupun tidak adanya media kala itu yang meliput keberadaan mereka. Namun, biarpun demikian, kita tentu saja harus mengucapkan banyak terima kasih pada pahlawan yang telah berbaik hati menancapkan mata runcing pendidikan untuk perempuan. Sebab, mereka adalah orang-orang yang berani vokal untuk memajukan perempuan, mengingat situasi yang rasanya sangat mencekam pada masa dahulu, bukan suatu hal yang mudah untuk memperjuangkan hak perempuan.
Jika kita sebagai perempuan mampu berdiri dan duduk tenang mengenyam pendidikan pada saat ini, maka sudah seharusnya kita bisa memaknai napak tilas yang telah terjadi, atau sesuatu yang telah diperjuangkan itu ternyata berbuah manis. tercatat di Gender Development Index (GDI), partisipasi perempuan dalam pendidikan semakin mendapatkan momentumnya, semakin hari pelaksanaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan dan jumlah pendapatan sedikit demi sedikit membuahkan hasil.
ADVERTISEMENT
Terkadang saya berpikir, jika saja dulu tak satupun perempuan Indonesia ingin berbagi ilmu, barangkali hari ini kita masih terkungkung disebabkan oleh tidak meratanya pendidikan. Betapa mata runcing pendidikan memang sangat membantu perempuan untuk terus berkiprah, dengannya perempuan mampu mengembangkan sayap.
Di ujung tulisan ini, saya teringat akan pernyataan Silas Papare;
Maka, sudah seyogyanya kita tak lupa diri untuk tetap memperjuangkan hakikat yang telah diajarkan oleh sejarah, menjadikan sejarah sebagai "magistra vitae" atau "the teacher of life", sebuah perjuangan yang seharusnya tidak pernah berhenti.
Menjadi perempuan terdidik dan berpendidikan adalah tonggak estafet yang harus kita perjuangkan dan kembangkan, dengannya akan lahir sebuah peradaban, generasi-generasi yang melek intelektual.
ADVERTISEMENT
Berbagai alasan, rasanya sudah tidak pantas untuk kita kumandangkan sebagai bentuk rasa malas untuk menambah wawasan. Jikapun kita tidak mampu berpendidikan formal secara tinggi, maka saya ingin kita sadar bahwa ilmu tidak hanya bisa kita dapatkan dari bersekolah formal, kita bisa cerdas dari berbagai pintu. Internet bisa kita manfaatkan untuk banyak hal. Tidak ada alasan yang tepat untuk kita berhenti menjadi orang yang terdidik, mata runcing selalu mampu menembus celah-celah yang tak terlihat ataupun yang terlihat, begitulah pendidikan.
Terima kasih telah mampir dan membaca, semoga bermanfaat.
Salam Hormat, Cici Yuli Wartuti.