Perubahan Iklim Adalah Dosa Manusia

Cicin Yulianti
Mahasiswa S1 Jurnalistik Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
18 Desember 2020 11:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cicin Yulianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekeringan akibat perubahan iklim. Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekeringan akibat perubahan iklim. Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian terbaru dari Universitas East Anglia mengungkap bahwa tanggapan global terhadap pandemi Covid-19 telah mendorong penurunan emisi CO2 tahunan terbesar 7% sejak Perang Dunia Kedua (BBC Indonesia, 13/12/2020).
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut menjadi kabar baik bagi semua orang yang mendengarnya. Terlebih jika penurunan emisi karbon tersebut mengalami penurunan sebesar 2,4 miliar ton. Artinya, penuruanan tersebut mengalahkan rekor yang pernah terjadi pada perang dunia kedua. Di mana akibat perang tersebut emisi berkurang sebesar 1 miliar ton.
Walaupun menjadi kabar baik, tetapi tetap saja alasan penurunan emisi tersebut disebabkan oleh Covid-19. Tak ada yang bisa benar-benar dibanggakan karena lagi-lagi penurunannya disebabkan oleh musibah, bukan inisiatif dari manusia. Deretan langkah yang diambil dalam menyikapi Covid-19 seperti lockdown dan pembatasan kegiatan di luar rumah setidaknya mengurangi penggunaan kendaraan yang menghasilkan CO2.
Akan tetapi, kita jangan sampai terlena dengan kabar baik tersebut. Direktur Institut Lingkungan Stanford Woods, Chris Field mengatakan jika peningkatan emisi ini akan terus terjadi setelah Covid-19 usai.
ADVERTISEMENT
Adapun laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) semakin menegur kita bahwa dunia akan aman jika pada tahun 2100 kenaikan suhu di bumi tidak melebihi 2 derajat. Maka dari itu, bukan hanya peneliti saja yang harus bekerja memetakan kondisi bumi ke depannya akan seperti apa, tetapi semua manusia yang hidup di bumi ini harus sama-sama peduli tanpa terkecuali. Terlebih, pengaruh dari peningkatan emisi dari tahun-tahun sebelumnya sangat kita rasakan secara langsung, misalnya perubahan iklim (climate change).
Kita Cegah, Maka Mereka Musnah
Perubahan iklim menjadi wacana yang ditakuti oleh manusia sepanjang mereka hidup. Bagaimana tidak, perubahan iklim akan berdampak pada banyak sekali sektor seperti pertanian, ekonomi, dan yang jelas lingkungan. Laporan dari The Lancet Countdown on Health and Climate Change mengatakan jika perubahan iklim ini sangat berdampak pada masalah kesehatan juga. Hal tersebut bisa memperburuk masalah kesehatan di samping Covid-19 masih belum mereda.
ADVERTISEMENT
Untuk menangkis keterpurukkan yang tidak bisa dibayangkan, terlebih saat ini masih banyak orang yang abai terhadap masalah perubahan iklim, maka harus ada penguatan di beberapa sektor. Sebenarnya, Indonesia sendiri sudah bergabung dalam Perjanjian Iklim Paris pada tahun 2015. Dalam perjanjian tersebut, Indonesia berkomitmen dengan negara yang ikut serta untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Skenario yang dicanangkan berdasar business as usual atau secara mandiri, Indonesia harus menurunkan sebesar 29%. Sedangkan dengan bantuan internasional, Indonesia harus mampu menurunkan sebesar 41%. Angka tersebut cukup berat bagi Indonesia jika melihat populasi masyarakat yang padat dan waktu pelaksanaan diberi tenggar hingga tahun 2030.
Di samping itu, banyak aktivitas manusia yang menyakiti kondisi lapisan ozon bumi seperti penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil. Timbal balik bagi lingkungan dari penggunaan kendaraan tersebut bisa menimbulkan banyak polutan dan karbon berlari-larian di udara. Tentunya, kita tidak bisa terus hidup menghirup polutan dalam jumlah yang besar.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan makhluk bumi lain yang secara tidak langsung terasakiti atas dasar dosa manusia. Bayangkan, ketika panas bumi meningkat, burung-burung harus beradaptasi dengan suhu tersebut. Walaupun penelitian dari University of Illinois menyebutkan bahwa burung bisa menerima perubahan iklim di wilayah tropis, tetap saja mejaga kestabilan suhu di habitat mereka masih menjadi tanggung jawab manusia.
Sebagai makhluk yang memilki akal, setidaknya kita bisa memahami betul dampak-dampak dari perubahan iklim tersebut. Hal yang paling dekat dan cukup mudah kita lakukan adalah dengan mencegah. Salah satu praktiknya bisa kita terapkan pada penggunaan kendaraan. Saat kita berniat untuk bepergian seorang diri, maka akan lebih baik jika menggunakan kendaraan umum. Di mana dengan satu kendaaraan umum yang menampung 30 orang, maka potensi polusi yang bisa diakibatkan dari 30 orang jika berkendaraan seorang diri bisa dicegah.
ADVERTISEMENT
Tentunya, akan lebih baik lagi jika mayarakat Indonesia mencoba menerapkan gaya hidup bike to work, khususnya bagi mereka yang jarak rumah dan tempat kerjanya dekat.
Kenali Kebijakan Iklim
Kebijakan atau instrumen yang mengatur secara khusus tentang iklim di Indonesia terdapat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Undang-Undang tersebut menyebutkan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan serta mewajibkan dilakukannya mitigasi dan dapatasi terhadap perubahan iklim. Hal tersebut menandakan bahwa Indonesia seharusnya sudah harus bersiap dan berlatih dalam menghadapi perubahan iklim.
Kita sudah tahu dengan adanya Perjanjian Paris tahun 2015 menunjukkan betapa pentingnya menyikapi masalah iklim. Perjanjian tersebut menjadi kunci yang kuat dalam menggiringkan penduduk global untuk semakin peka terhadap masalah iklim. Lalu muncul pertanyaan sebagai respons dari keikutsertaan Indonesia pada perjanjian tersebut, sudah sejauh mana Indonesia mencoba menyentuh masalah perihal iklim?
ADVERTISEMENT
Klakson yang memberi tanda tentang urgensi kebijakan iklim ini belum terdengar jelas oleh masyarakat Indonesia. Beberapa pihak seperti pemerintah, lembaga legislatif atau pengamat lingkungan mungkin sudah dari jauh hari membicarakan perihal hal ini, namun untuk sebagian masyarakat awam, apakah sudah sampai secara menyeluruh? Walaupun memang, ada UNDP yang sejak dini ini sudah mulai membantu pendanaan iklim. Akan tetapi, sosialisasi soal kebijakan iklim ini seharusnya terus digencarkan kepada masyarakat sebagai awareness bagi mereka.
Janji bukanlah sekadar janji, terlebih Perjanjian Paris ini berskala internasional. Hal yang tidak kalah penting juga adalah soal kehidupan kita ke depannya. Perjanjian bisa saja hanya tertulis di atas kertas dan selintas dilirik oleh pemerintah karena lebih sibuk mengurusi urusan lain. Namun jika pelaksanaan isi dari perjanjian itu belum juga dilakukan secara signifikan, maka harus menunda sampai kapan? Terlebih jumlah penduduk akan terus meningkat dan hal ini berpengaruh pada penggunaan emisi yang akan semakin tinggi pula. Maka dari itu perlu ada tindakan tegas dan darurat karena permasalahan lingkungan ini sangat berdampak untuk jangka waktu yang sangat panjang.
ADVERTISEMENT