Desa Pascapandemi

Cici Ritonga
Mahasiswa Sosiologi Agama IAKN Tarutung
Konten dari Pengguna
9 November 2021 13:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cici Ritonga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Desa. Foto: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Desa. Foto: kumparan.com
ADVERTISEMENT
COVID-19 merupakan penyakit menular yang terjadi dalam dua tahun belakangan ini dan tentunya sudah tidak asing lagi di telinga manusia. Selain tidak asing, pandemi COVID-19 menjadi masalah besar yang mengganggu manusia serta berbagai aspek dalam kehidupannya.Yang terganggu bukan hanya manusia dalam jumlah kecil melainkan hampir seluruh manusia di dunia. Berkaitan dengan hal tersebut, desa juga merasakan dampak yang disebabkan oleh COVID-19 ini.
ADVERTISEMENT
Dampaknya terhadap desa sangat jelas terlihat pada bidang sosial, ekonomi, pendidikan, maupun budaya hingga adat-istiadat. Desa yang dikenal dengan keindahan, ketentraman dan kesejukan ternyata terdampak pandemi. Pandemi di lain hal memang menjadikan masyarakat di desa semakin peduli dengan kebersihan. Mereka juga saling membantu dalam kesulitan. Tetapi jika dilihat dalam kondisi sosial sebelum pandemi, masyarakat selalu menyempatkan diri berbincang-bincang. Obrolan di lapo tuak tak pernah sepi dari gosip. Ibu-ibu berkumpul dengan teman arisannya. Pandemi mengubah semuanya itu. Aktivitas adat-istiadat di desa juga sangat terdampak.
Sebelum pandemi, susunan acara pesta pernikahan sangat runut dan lengkap. Setelah pandemi susunan acara pesta dipersingkat. Meski tidak menghilangkan "kesakralan" pesta pernikahan, pandemi membuat persiapan pesta menjadi ribet: izin dari kepala desa hingga camat, pun dari kepolisian, mesti dikantongi dulu. Pesta jadi tampak seperti pertandingan sepak bola dengan kehadiran polisi yang berjaga.
ADVERTISEMENT
Ternyata, di desa saya, banyak yang harus mengundurkan pesta pernikahan. Teman saya seharusnya menikah bulan April 2020, hingga November 2021 belum ketemu tanggal pasti untuk menikah. Pihak calon mempelai laki-laki merasa pesta pernikahan haruslah meriah.
Pandemi COVID-19 juga berdampak ke ekonomi desa. Memang tidak semua terlihat terlalu merasakan dampak negatifnya tetapi sebagian besar masyarakat di desa cukup merasakan dampak negatifnya. Keluhan masyarakat sering terdengar. Kebutuhan pokok yang mau dibeli semakin mahal, sedangkan hasil tani yang hendak dijual sering turun harga.
Diharuskannya belajar secara daring juga menambah beban orang tua. Mereka harus membeli handphone. Tiba-tiba saja adik saya mengatakan ponsel yang dipakainya selama ini tidak cukup kuat "meladeni" Zoom setiap hari. Mau tak mau orang tua harus membeli ponsel yang lebih bagus. Meski pada akhirnya adik saya lebih sering bermain game ketimbang mengerjakan tugas sekolah.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana desa bertahan menghadapi pandemi?
Desa yang indah, desa yang sejuk, desa yang bertabur sejuta keindahan. Di desa melekat kekompakan, tali persaudaraan yang erat, dan rasa kepedulian yang tinggi. Tergeruskah itu semua? Mau tidak mau desa harus beradaptasi. Beradaptasi terhadap apa? Harus menggunakan masker, iya. Selalu menjadikan hand sanitizer, tentu saja. Menjaga jarak, apalagi. Namun, tadi pagi, setelah bangun, tetangga saya menyapa sambil tersenyum: "Corona sudah pergi?"
Desa, tentu saja bukan kota. Pandemi, entah kenapa, menjadikan bapak-bapak di desa kami semakin rajin ke ladang. Hampir semua aktivitas keseharian berpindah tempat ke ladang. Dengan begitu, setidaknya, wajah desa menjadi lebih lembut. Ladang yang selama ini diisi oleh perempuan, pandemi berhasil memulangkan "anak yang hilang" kembali ke "rumah".
ADVERTISEMENT
Pandemi akan genap berusia dua tahun. Desa yang sempat terguncang perlahan-lahan mulai bergeliat. Suara gelas di warung kopi sudah mulai terdengar kembali. Bapak-bapak sudah kembali duduk bermain catur di warung. Berubahkah gosipan mereka? Sementara itu, sebagian uang untuk membeli paket internet sudah dialihkan membayar iuran arisan.
COVID-19 sepertinya sudah akan berakhir. Selama hampir dua tahun begitu banyak jejak yang ditinggalkan. Akan seperti apa rupa desa pascapandemi? Saya khawatir ladang-ladang di kampung kami akan kembali ditinggalkan anak kandungnya. Saya takut gotong-royong ala desa akan menjumpai titik terendah dengan menganggap, "Oh, ternyata beberapa pekerjaan sehari-hari sudah bisa diwakilkan ke "dunia online".
Setelah sekian lama tidak menginjak kaki di sekolah, adik saya yang duduk di sekolah menengah itu menggerutu, "Lebih enak sekolah online. Sekolah offline itu merepotkan".
ADVERTISEMENT