Konten dari Pengguna

Agama, Keluarga, Kami Berdua

Cindy Afiffatus Syafi
Mahasiswa aktif Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya
30 November 2021 13:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cindy Afiffatus Syafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/
ADVERTISEMENT
Namaku Riza Febrianti atau biasanya dipanggil Riza. Perempuan karier selama dua tahun terakhir. Aku tiga bersaudara yang hanya hidup dengan ibuku semenjak ditinggal Ayah meninggal dunia. Kini aku menjadi tulang punggung keluargaku. Aku selalu ingat pesan ayah kepadaku, untuk mencari pasangan yang seiman.
ADVERTISEMENT
Achmad Dani Alghifari adalah pria yang menemaniku semenjak 2018 lalu. Dia biasa dipanggil Dani. Pria beparas tampan dan juga penyayang. Ya, kami telah berpacaran selama tiga tahun lamanya. Selama tiga tahun tidak ada kejelasan dalam hubungan dan hanya berjalan di tempat saja.
Suatu hari ketika di kantor, aku bertemu dengan sahabat kantorku yang akan dilamar oleh pasangannya. Mereka baru saja menjalin hubungan kurang lebih enam bulan lamanya. Tampak sekali aku kalah jauh dengannya. Aku menjalin hubungan dengan pria yang aku cintai lebih lama darinya tetapi hanya jalan di tempat saja.
“Hai, Riza. Aku mau dilamar dengan Tino. Aku cemas dan gerogi banget,” ujar Chelsea kepadaku dengan wajah penuh bahagia.
“Cie.. ada yang mau dilamar nih. Lagian baru pacaran 6 bulan main lamar aja si kamu. Buru-buru amat jadi pasangan,” jawabku.
ADVERTISEMENT
“Apaan sih, itu adalah hal yang bagus tau. Aku sama Tino itu tidak mau pacaran lama-lama yang penting ada kemajuan dan kejelasan. Tidak seperti lu sama Dani, pacaran tiga tahun tapi enggak dilamar-lamar,” ketus Chelsea kepadaku.
“Ihh apaan sih. Aku sama Dani itu mau kerja dulu nanti kalau udah sukses baru insyaAllah dilamar kalau emang jodohnya ya hahaha,” jawabku.
Aku dan Dani dipisahkan oleh suatu hal yang besar yang lebih dari restu orang tua. Keyakinan dan kepercayaan kami berbeda, itulah yang menjadi penghalang cintaku dengannya. Namun, aku dengannya tidak pernah memikirkan hal itu selama tiga tahun bersamanya. Ketika hendak merayakan tiga tahun anniversary di suatu café hits di Jakarta, aku tidak pernah berpikir hal itu akan terjadi.
ADVERTISEMENT
“Aku ada hadiah untuk kamu, sayang,” ujarku sambil menyodorkan hadiah kepada Dani.
“Wah.. apa itu. Boleh dibuka sekarang?” jawabnya.
“Iya tidak apa-apa dibuka saja. Maaf ya aku hanya bisa kasih itu ke kamu,” kataku.
“Ih.. tidak apa-apa aku sangat berterima kasih sama kamu sayang, love you,” Jawab Dani.
“Iya sama-sama. Love you too sayang,” ujarku.
“Wah… bagus sekali jam tangannya,” jawabnya dengan gembira.
“Aku juga punya hadiah buat kamu nih. Tutup mata ya agar jadi kejutan hehe,” ujarnya kepadaku yang membuat penasaran.
Aku segera menutup mataku yang tidak sabar ingin tahu hadiah apa yang diberikan untukku dihari jadian tiga tahun ini.
“Satu.. dua.. tiga.. buka mata,” ketus Dani sambil menyodorkan kotak cincin di atas meja.
ADVERTISEMENT
“Apa ini sayang?” tanyaku.
Ternyata benar, Dani memberikan aku cincin dan dia melamarku pada malam itu. Apakah aku harus menolak atau bahkan menerimanya? Lantas siapakah yang akan mengalah akan hal ini?
“Dani?? Apakah kamu tidak sadar akan hal ini? kita enggak mungkin bisa bersatu dalam ikatan pernikahan. Agama telah menghalangi cinta kita. Sadarlah,” tegasku.
“Iya sayang aku mengerti. Kita sudah tiga tahun lamanya, apakah mau jalan di tepat saja? Lihat Chelsea dan Toni baru pacaran enam bulan sudah dilamar aja. Sedangkan kita?” pungkasnya.
Seketika aku ingat pesan almarhum ayahku. Dani tidak seiman denganku. Pilihan yang sangat berat dalam hidupku. Aku tidak bisa memilih antara keluarga atau kekasihku. Aku menyayangi keduanya. Dani telah aku anggap menjadi rumah keduaku. Keesokan harinya sebelum berangkat ke kantor, seperti biasa aku sarapan bersama ibuku dan juga sudara-saudaraku. Wajahku tampak murung dan tidak semangat seperti biasnya. Hal itu menjadikan ibuku curiga denganku. Apakah aku memiliki sebuah permasalahan yang besar?
ADVERTISEMENT
“Riza.. apakah kamu baik-baik saja Nak?” tanya ibuku.
“Semalam Dani melamarku Bu,” jawabku dengan nada pelan.
“Apa? Dani melamarmu? Ingatlah pesan Ayah, Nak. Carilah pasangan hidup yang seiman denganmu,” tegas Ibuku.
Semua orang yang ada di ruang makan tampak kebingungan dengan ucapanku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku memutuskan untuk mengakhiri sarapanku dan segera bergegas keluar untuk berangkat ke kantor. Pada hari itu Dani tidak menjemputku ke rumah. Setelah pulang dari café dia juga tidak menghubungiku sama sekali seperti hilang ditelan bumi.
Sesampainya di kantor, aku bertemu dengannya. Aku tampak masih sangat kesal dengannya. Selalu saja kepikiran kejadian pada malam hari itu. Aku dengannya tidak bertegur sapa selama di kantor. Semua orang di kantor tampak kebingungan. Sikapku dengan Dani sangat berbeda dan tidak seperti biasanya.
ADVERTISEMENT
“Riza.. kamu baik-baik saja kan? Apa lagi bertengkar dengan Dani? Cerita dong. Kok kamu sama Dani diam tidak seperti biasanya sih,” tanya Chelsea penasaran kepadaku.
“Semalam aku sama Dani pergi ke café untuk merayakan anniversary hubunganku dengannya. Dani melamarku. Kamu tau kan Chels penghalang terbesar dalam hubungan aku dengan Dani,” jelasku tampak sedih.
“Apa? Terus kamu terima atau tolak?” ketus Chelsea.
“Aku enggak memberi jawaban apa pun itu Chels, seketika aku langsung lari keluar,” tegasku.
Suatu malam aku berpikir bahwa aku harus menyelesaikan permasalahan ini untuk mendapatkan titik terang. Aku segera menghubungi Dani untuk mengajak bertemu di taman.
“Hai, aku kira kamu masih marah denganku?” ujar Dani kepadaku.
“Kita perlu bicara serius mengenai kejadian kemarin. Aku tidak bisa menerima lamaranmu Dan. Sampai kapanpun selama masih berbeda agama, aku tidak bisa menerima kamu untuk menjadi pasangan hidupku. Aku ingat pesan Ayah untuk mencari pasangan hidup yang seiman denganku. Kita putus mulai sekarang juga,” tegasku dengan mata berkaca-kaca.
ADVERTISEMENT
“APA? Kita pasti menemukan jalan keluarnya sayang. Aku juga ingin hubungan kita ini jalan,” ujarnya.
“Jalan keluar dalam hubungan kita adalah siapa yang mau mengalah dalam hal ini? Tolong kamu sadar akan hal itu. Apa kamu bisa menjawab pertanyaanku siapakah yang akan mengalah?” jawabku.
Dani tidak bisa menjawab dan memberikan kepastian denganku. Meskipun itu adalah hal yang sangat terberat dalam hidupku aku harus memutuskan mana yang terbaik untukku. Aku memutuskan untuk memilih keluargaku saja. Meskipun Dani telah aku anggap sebagai rumah kedua bagiku, yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi dan yang melindungiku setiap harinya aku harus mengikhlaskannya. Aku percaya dengan ketentuan Tuhan. Jikalau memang aku berjodoh dengannya, pasti Tuhan akan mengembalikan dia denganku.
ADVERTISEMENT