Jangan Benci Lagi Ya..

Cindy Afiffatus Syafi
Mahasiswa aktif Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya
Konten dari Pengguna
29 November 2021 20:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cindy Afiffatus Syafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Namaku Diana Kurnia Toni, teman-teman memanggilku Diana, atau Dian. Cerita ini dimulai saat aku duduk di bangku kelas X SMA. Sejak awal masuk sekolah aku selalu duduk di kursi paling depan. Suatu hari teman sekelasku bernama Doni duduk di tempat yang biasanya aku tempati. Mulai dari itu aku merasa benci kepadanya. Aku kalah cepat dengannya. Akhirnya aku duduk di belakangnya atau di kursi nomor dua. Pada saat perkenalan yang ditunjuk oleh guruku dan tiba giliranku, aku menyebutkan nama lengkapku. Kemudian guruku pun menanggapinya.
ADVERTISEMENT
“Kenapa nama dia belakangnya Toni? Ayo Mas Doni depannya dijawab,” ujar guruku.
“Tidak tahu, Pak. Sepertinya itu nama Ayahnya,” jawab Doni.
“Loh.. kok tahu? Pernah main ke rumahnya ya,” jawab guruku.
“Ciee…,” sorak teman-teman satu kelas.
Setelah kejadian itu aku semakin benci dengannya. Ditambah lagi teman-teman selalu menjodohkanku dengan Doni. Semenjak kejadian itu, aku mulai menghindar darinya. Aku tidak mau di belakang, depan, samping, bahkan tidak mau berbicara dengannya. Sekolah sudah hampir satu semester. Lama-lama aku mendapatkan banyak teman yang cukup akrab. Kami memiliki tradisi yakni pada jam istirahat pertama selalu memakan bekal masing-masing di depan kelas. Tidak semuanya ikut makan bersama, bahkan laki-lakinya hanya Doni yang ikut bergabung makan dengan perempuan.
ADVERTISEMENT
“Diana tinggal saja, dia kalau makan lama!” ujar Doni sambil menunjukku.
“Apa?? Aku kalau mengunyah makanan itu tiga puluh dua kali. Tidak bisa seperti kamu yang sekali masuk langsung telan,” ujarku kesal.
Hari sekolah berikutnya, aku terkena musibah. Gawai yang dibelikan orang tuaku hilang di kolam renang. Aku tidak bermain hp sendirian dan sangat merasa kesepian. Untungnya aku memiliki teman-teman yang baik dan sangat peduli denganku, Melin namanya. Dia sering kali meminjamkan gawainya kepadaku. Bisa dibilang gawainya untuk kami berdua. Suatu ketika pada jam istirahat kedua, gawai Melin hilang setelah aku tinggal di atas mejaku. Dan aku panik pada saat itu.
“Teman-teman, ada yang tahu gawai di atas mejaku tidak?” ujarku kepada teman satu kelas.
ADVERTISEMENT
“Tidak tahu Dian. Terakhir kamu letakkan di mana gawainya?” tanya temanku.
“Aku letakkan di sini di atas mejaku, aku tadi ke belakang sebentar. Ayolah kembalikan gawai aku habis hilang, kan tidak mungkin aku menghilangkan gawai Melin juga,” jawabku dengan nada sedih.
“Melin kamu minta ganti rugi saja ke Dian. Gawaimu hilang di tangannya, makanya lain kali Dian tidak perlu dikasih pinjam gawai saja,” ketus Doni.
“Jangan-jangan kamu ya Don sembunyikan gawai Melin. Kembalikan dong,” tegasku.
“Kamu jangan memfitnah ya. Kamu ada bukti apa berbicara seperti itu!” sahut Doni.
Aku tidak menanggapi perdebatan yang tidak penting dengannya. Aku dan teman-teman berusaha mencari di dalam kelas. Akan tetapi, hasilnya pun nihil. Aku dan teman-temanku tidak menemukannya sama sekali. Aku semakin panik dan sedih, tidak tahu lagi aku akan menjadi apa setelah menghilangkan dua gawai sekaligus. Namun, gerak-gerik Doni tampak mencurigakan. Dan siapa lagi kalau bukan Doni yang selalu bikin masalah denganku.
ADVERTISEMENT
“Doni!! Kamu kan yang menyembunyikan gawai Melin. Kamu dari tadi tenang-tenang saja di pojokan. Yang lain pada mencari gawai Melin tapi kamu malah enak-enakan d ipojokan sambil main gawaimu sendiri,” ketusku.
“Ih.. buat apa aku menyembunyikan gawai Melin. Melin kan teman baikku. Tidak seperti kamu!” tegas Doni.
“Awas saja ya, kalau nanti kamu yang terbukti menyembunyikan, aku akan bicara keras dan kotor ke wajah kamu!” jawabku.
Pencarian gawai dilakukan hingga jam istirahat habis. Aku dan teman-teman tidak menemukannya. Aku tidak tahu lagi harus bilang apa kepada orang tuaku. Sahabat-sahabatku menenangkanku agar tidak menangis karena mata pelajaran selanjutnya akan segera dimulai. Tak lama kemudian..
“HAHAHA ini dia gawai Melin,” ujar Doni dengan mengeluarkan gawai dari kantong belakang celana.
ADVERTISEMENT
“Astaga.. DONI ANJING!!!!” ucapku di hadapannya penuh emosi.
Setelah kejadian itu, selama dua hari aku tidak bertegur sapa dengan Doni. Aku sangat-sangat membencinya. Akan tetapi teman-temanku selalu menjodohkanku dengannya. Setiap teman-temanku berbicara Doni di hadapanku aku tampak tidak menyukainya.
Tak terasa kelas X sudah berakhir dan beranjak menuju kelas XI. Pada kenaikan kelas terdapat kebijakan baru yakni merombak setiap kelas. Aku dan sahabat-sahabatku serta Doni akhirnya berpisah. Aku merasa agak lega setelah mengetahui tidak satu kelas dengannya. Akan tetapi, semenjak berpisah kelas dia selalu menghubungiku dengan alasan untuk meminta atau bertukar sampul buku. Aku semakin akrab dengannya, sudah tidak tampak seperti kucing dan tikus lagi. Semakin lama dia semakin mendekatiku, dan aku tidak sadar akan hal itu.
ADVERTISEMENT
Kelas XI sudah berjalan selama satu semester. Aku dan dia semakin akrab dan saling perhatian dengannya. Tidak ada angin dan hujan tiba-tiba Doni menyatakan perasaannya kepadaku melalui pesan. Aku pun kaget dan tidak terbayangkan sama sekali dan aku menerimanya. Serapat-rapatnya menutupi bangkai, pasti akan tercium juga. Akhirnya sahabat-sahabat dan juga teman-temanku mengetahui bahwa aku memiliki hubungan dengan Doni. Dan aku kini telah lulus SMA dan sampai saat ini masih bersamanya selama lima tahun lamanya. Aku dengannya berkomitmen untuk saling menjaga satu sama lain dan berusaha yang terbaik untuk hubungan kami berdua hingga kelak nanti.
********SELESAI*********